AIA-4

650 54 8
                                    

"Sorry...."

Nuca perlahan menggerakkan tangan ke samping tubuh. Dia menunduk, melihat ekspresi Tenica yang kembali serius. Dia mundur satu langkah lalu menggaruk tengkuk. "Mau minum kopi?" tawarnya sambil menggerakkan tangan ke arah restoran.

Pandangan Tenica tertuju ke Nuca. "Maaf, tapi saya ada kerjaan lain." Dia berjalan menuju sudut depan restoran lalu bersandar. Kepalanya tertunduk, ingat kejadian barusan saat kehilangan Basro. "Aaah!" Tenica menghentakkan kaki.

Menurut Tenica kesempatan seperti itu langkah. Besok, jika dia menunggu belum tentu ada Basro. "Huh...." Dia mengusap wajah lantas mendongak mencoba menenangkan diri.

Diam-diam, Nuca memperhatikan. Dia menahan tawa melihat wanita itu kembali frustrasi yang justru terlihat lucu. "Ada yang bisa gue bantu?" tanyanya seraya mendekat.

Tenica mendongak, menatap Nuca yang berada di depannya. Refleks dia bergeser, merasa posisinya tidak nyaman. "Enggak kok."

"Tapi, kenapa kelihatannya gelisah?"

"Saya kehilangan Basro," jawab Tenica sambil menatap ke arah salon. "Kak Henna ingin sekali di-make up sama dia. Tapi...."

Pandangan Nuca tertuju ke bangunan berlantai dua dengan tulisan Basro di bagian atas. "Oh, Henna pengen di salon itu?"

"Iya, tapi susah," jawab Tenica. "Harusnya saya barusan bisa ngejar Basro, tapi...." Dia ingat tindakan Nuca yang menghadangnya.

"Sorry...." Nuca tahu, Tenica pasti menyalahkannya.

Tenica menggeleng pelan. "Nggak apa-apa," jawabnya. "Oh, ya, Kak Henna ada langganan salon lain?"

"Emm. Nggak tahu."

Memang Tenica tidak seharusnya berharap ke Nuca. Lelaki mana tahu urusan begituan. "Em, misalnya keinginan Kak Henna nggak terwujud, dia nggak apa-apa, kan?"

Nuca tersenyum samar. "Kita bicara di dalam."

"Di sini saja."

"Udah, ayo!" Nuca menarik tangan Tenica dan mengajaknya ke dalam restoran.

Pandangan Tenica tertuju ke genggaman Nuca. Lelaki itu sepertinya memang mudah skinship dengan orang lain. Dia mencoba menarik tangannya karena tidak nyaman, tapi Nuca mengeratkan genggaman.

"Ngobrol di sini, kan, lebih enak!" Nuca baru melepaskan genggaman setelah duduk di bagian tengah.

Tenica duduk di hadapan Nuca dan menatap serius. "Bisa kasih tahu saya?"

Nuca tidak menjawab. Dia mengambil buku menu yang tergeletak lalu membaca menu. "Lo pesen apa?"

"Saya nggak pesan."

"Kalau gitu gue juga enggak." Nuca menutup buku itu tepat saat pelayan datang.

Tenica melirik ke samping. Si pelayan tampak terusik dengan ucapan Nuca. "Saya sudah pesan. Anda pesan saja."

"Maaf, Mbak. Nggak jadi," jawab Nuca.

"Kalau tidak memesan, dilarang duduk di sini, Pak."

Bahu Tenica merosot, enggan sekali ada perdebatan. Akhirnya dia mengambil buku menu dan menunjuk caffelatte. Setelah itu dia meletakkan buku menu dan membuang muka.

Nuca tersenyum melihat tindakan Tenica. "Americano sama choco lavacake."

"Baik, Pak!" Pelayan mencatat pesanan dua orang itu lantas menjauh.

Tenica kembali menatap Nuca. "Jadi, bisa beri tahu saya? Soal Kak Henna."

"Emm...." Nuca tampak mengingat. "Henna dari kecil dimanja. Kalau keinginannya nggak tercapai, dia kayak hyena. Haumm...." Nuca menggerrakkan jemari seolah mencakar.

All in AllWhere stories live. Discover now