AIA-10

529 40 4
                                    

"Tamu undangannya nggak jadi seratus orang. Lima puluh orang aja!"

Kalimat yang diucapkan dengan cepat itu sempat membuat Tenica blank sesaat. "Sebentar, maksudnya?"

"Tamunya lima puluh orang!"

Tenica menjauhkan ponsel dan melihat nama Henna. Dia kembali mendekatkan benda itu di telinga dan mencoba konsentrasi. "Kak Henna bisa ulangi?"

"Tamu undangannya nanti. Cukup lima puluh orang," ujar Henna tak sabaran. "Masih bisa diganti, kan?"

"Ya. Masih bisa kok, Kak."

"Ya udah, gue cuma mau ngasih tahu itu." Setelah itu sambungan terputus.

Tenica menurunkan ponsel dan mendapati Nuca yang memperhatikannya. Seketika dia ingat apa yang dia lihat tadi pagi. Sedangkan Nuca sekarang tampak biasa saja. Apa mungkin lelaki itu tidak tahu?

"Kenapa? Kok kaget gitu?" Nuca mendekat dan memperhatikan Tenica yang masih menatapnya. "Wajah gue nggak berubah, kan?"

"Ada masalah, Mbak?"

Pandangan Tenica teralih ke Feji yang menatapnya khawatir. Dia mengembuskan napas dan menggeleng pelan. "Enggak kok."

"Oh, ya udah," jawab Feji. "Gue sama Ican udah diskusi. Kayaknya tempat ini bakal cocok, sih."

"Oke!" Tenica mengangguk lalu menatap Nuca. Dia mengernyit karena lelaki itu hanya diam dan tidak memberi tahu sesuatu. Padahal, jumlah tamu undangan sangat penting dibicarakan kepada pihak perencana.

"Gue rasa lo aneh!" Nuca geleng-geleng.

Tenica menggaruk belakang kepala. "Barusan Kak Henna telepon."

"Oh, ya? Dia mau ke sini?"

"Bukan...." Tenica buru-buru menggerakan tangan. "Dia bilang tamu undangannya lima puluh orang."

Ekspresi Nuca seketika berubah. Sebelum akhirnya dia mencoba tersenyum. "Ya udah, nggak apa-apa. Gue nggak suka terlalu banyak tamu."

Tenica menggeleng tidak percaya. Dilihat dari tingkahnya, Nuca bukan tipe orang yang malu dan tidak nyaman dengan banyak orang. Apa mungkin dia hanya menutupinya?

"Loh? Tamu undangannya ganti?" tanya Ican sambil mendekat.

"Iya. Lima puluh orang." Tenica bergeser ke Ican. "Kenapa? Bakal terkesan kosong?"

"Iyalah." Ican mengedarkan pandang. "Gue udah rencanain bagian depan buat keluarga sedangkan di tengah buat calon tunangan. Depannya bakal ada kursi yang hadap ke mereka. Terus sebelah kanan belakang tempat makan, sebelah kiri buat foto."

Tenica mengangguk. "Ya udah, lebih berjarak nggak apa-apa."

"Sayang, dong. Kesannya kosong," ujar Ican.

"Nggak apa-apa." Nuca menimpali. "Emang ada ruangan yang lebih kecil dari ini? Lagian, ruangan yang luas lebih enak."

Ican menatap lelaki berkemeja marun itu. "Kalau gitu nanti saya beri figura untuk foto," ujarnya. "Gimana?"

"Bagus, tuh!" Tenica mengangguk. "Boleh minta fotomu sama Henna? Nanti biar diatur sama tim saya."

"Emm...." Nuca menggaruk kepala. "Adanya foto-foto lama. Gue sempetin foto dulu, deh. Nanti kirim ke kalian."

"Rencananya kami juga bakal bikin video buat ditampilin di layar." Feji ikut menimpali. "Kakak sudah ada video atau belum?"

Nuca tersenyum kecut. "Belum."

"Ya sudah, nanti saya bikinin yang sederhana," ujar Feji.

Tenica memperhatikan ekspresi Nuca yang tidak bersemangat. "Jadi, gimana dengan tempat ini?"

All in AllWhere stories live. Discover now