AIA-5

611 53 5
                                    

Jam makan siang, Tenica menuju toko pakaian milik Henna. Dia bertemu dengan karyawan Henna dan diminta untuk menunggu. Tenica sekarang duduk di sofa sambil membuka tablet dan melihat kebaya yang bisa disewa oleh Henna.

"Gue nggak telat?"

Pandangan Tenica teralih. Dia mendapati Nuca mengenakan kemeja putih dan celana berwarna hitam. Kali ini lelaki itu tidak mengenakan jas seperti kemarin. Namun, penampilan Nuca tetap terlihat menawan.

"Enggak kok," jawab Tenica sambil kembali menunduk.

Nuca mendekat dan duduk di samping Tenica. "Henna ke mana?"

Tenica mengangkat bahu. "Saya diminta menunggu."

"Ck! Katanya dia di sini," geram Nuca lantas beranjak. Dia menuju lantai dua dan melihat Henna yang duduk di sofa sambil memakan cemilan. "Kenapa Tenica lo suruh nunggu? Padahal, lo nggak sibuk."

Henna menoleh. Dia mendengus mendapati Nuca yang belum apa-apa sudah marah-marah. "Iya, bentar lagi gue temuin."

Nuca berbalik dan menuju lantai satu. Dia melihat Tenica yang mengusap perut sambil mengernyit. Lantas dia mendekat dan melihat keringat sebiji jagung keluar dari pelipis Tenica. "Lo nggak apa-apa?" tanyanya sambil mengusap pelipis Tenica.

Tenica menoleh lalu refleks bergeser ke samping. Dia mengusap pelipisnya yang terdapat keringat, lantas buru-buru mengambil tisu. "Nggak apa-apa kok."

"Tapi, wajah lo pucet."

"Cuma agak sakit perut aja," jawab Tenica lalu mengusap keningnya dengan tisu.

Nuca mengembuskan napas panjang. Henna kadang keterlaluan. Tenica sudah menunggu sambil menahan sakit, tapi Henna justru masih bersantai. "Henna ada di atas."

"Ha?" Tenica kaget mendengar jawaban itu.

"Ayo!" Nuca menarik tangan Tenica, tapi wanita itu segera berkelit.

Tenica berdiri sambil menyampirkan tas di pundak. Setelah itu dia menggerakkan tangan meminta Nuca berjalan lebih dulu. Kali ini Nuca menurut. Dia berjalan lebih dulu dan segera diikuti Tenica.

Begitu sampai ruangan, Tenica melihat Henna duduk di sofa. Wanita itu menoleh sekilas dan kembali sibuk menatap ponsel. "Siang, Kak," sapanya lalu duduk di seberang Henna.

Henna meletakkan ponsel dan menatap Tenica. "Gimana? Bisa semua?"

Tenica menarik napas panjang. "Kami belum bisa menemui Basro, tapi akan kami usahakan," jawabnya. "Oh, ya, soal Best Bride ada beberapa kebaya yang bisa dipesan untuk tanggal sembilan September." Dia membuka tablet dan menunjukkan ke Henna.

Nuca duduk di samping Henna dan agak menariknya agar duduk tegak. Saat Henna menurut, dia mengusap punggung wanita itu menenangkan. "Pilih baju dulu. Udah nggak ada waktu."

Henna menerima tablet dari Tenica dan melihat beberapa kebaya sederhana. Hingga perhatiannya tertuju ke salah satu kebaya. "Gue pilih ini." Dia menunjukkan tablet itu Tenica.

Mata Tenica memicing. Dia menatap Henna, merasa wanita itu salah pilih. Kata Liv, kebaya yang tersedia cukup banyak. Namun, dia hanya boleh memfoto lima gambar. Nanti, jika datang ke butik bisa memilih kebaya lain.

Di antara foto kebaya yang diambil, Tenica tidak menyangka jika Henna memilih kebaya warna kuning. Sebenarnya bagus, tidak masalah juga dengan warna kuning. Karena Liv memfoto gambarnya, bukan kebaya langsung, entah kenapa warna kuningnya cerah hampir mendekati kuning neon.

"Emang ada yang salah sama pilihan gue?" tanya Henna melihat ekspresi Tenica.

"Oh, enggak!" Tenica menggeleng pelan. "Kebaya klasik, tapi tetap bagus." Dia mencatat di notesbook-nya jika Henna memilih warna kuning.

All in AllWhere stories live. Discover now