37. Atma Tanpa Daksa

23.4K 4.9K 252
                                    

Acasha di buat panik usai membuka mata, menduga akan berada di rumah sakit justru pemikiran salah. Sebelum benar-benar terpejam tidak sanggup menanggung sesak, Acasha sempat mendengar teriakan marah Silver.

Keajaiban apalagi yang di alaminya. Mengubah posisi berbaring menjadi duduk, baru kali ini Acasha merasakan di pinggir pantai dalam keadaan sendirian.

Penampilannya bahkan sungguhan aneh. Gaun panjang biru muda melekat di badan, hampir menutupi seluruh kaki.

Di atas batu karang Acasha merangkak sambil mengangkat sedikit gaunnya, menyadari terdapat cermin putih di ujung batu. Di depan sana beberapa langkah jika Acasha ceroboh maka Acasha yakin akan terjun ke laut.

Tanpa peduli cermin milik siapa, tiba di dekat cermin Acasha sontak membekap mulut.

Rupa ini, di kehidupannya dulu sebagai Acasha Siavani.

Tidak ada sosok pendek anak perempuan atau sosok remaja berumur enam belas tahun, padahal sebentar lagi berulang tahun. Namun, sayangnya dia lebih dulu menjemput ajal karena tertimbun tanah longsor.

Acasha lebih terlihat layaknya perempuan dewasa, bukan remaja kekanak-kanakan bertingkah ala berandalan.

"Ini, aku." Acasha meraba-raba pipi. Kepanikan semakin bertambah, kalau yang terjadi padanya mimpi, kapan dia terbangun? Acasha mendadak merindukan orang-orang yang selama ini bersamanya.

Menggigit sudut bibir, Acasha menahan tak berteriak mengumpat. Grace sialan! Ingin sekali Acasha mengubur Grace sebatas leher.

"Narasea ...."

Acasha terlonjak kaget, tepukan lembut di puncak kepala membuat Acasha menegang secara bersamaan seseorang duduk di sampingnya.

Dia ... laki-laki.

Garis wajah mengingatkan Acasha pada Cleo.

Acasha tidak berani menoleh sekedar melalui pantulan cermin mereka saling tatap.

Bola mata itu berwarna biru, persis seperti Acasha sekarang. Anehnya Acasha merasa familiar.

"Aku tidak keberatan menjalani tiap kehidupan di selimuti kutukan, Narasea." Dia menatap lekat Acasha.

Acasha terdiam sebentar.

"Aku bukan Narasea, tapi Acasha Siavani." Acasha menyahut serak. "Kamu siapa? Agaknya di tempat ini hanya kamu satu-satunya yang dapat ditanyai."

Pria itu tersenyum tipis.

"Aku, Hazel." Sebelah tangan menyentuh cermin. "Seharusnya kamu tidak mengikuti reinkarnasi kami, Sea."

Bukan kah dia keras kepala. Acasha diam-diam mendengarkan. Narasea? Nama itu belakangan sering sampai ke telinganya.

"Ayah selalu menyebut nama itu setiap kambuh." Acasha bergumam tanpa sadar.

"Jangan mengatakan dia Ayah kalau wujudmu di sisiku enam ratus tahun lalu." Hazel menoleh. "Dia memang pantas mendapatkan konsekuensi yang dia perbuat di masa lalu." Hazel melanjutkan lirih.

Netra biru itu menunjukkan kesedihan mendalam, seakan-akan jika Acasha memaksanya meminta penjelasan, Hazel lebih dulu menangis.

Acasha mengantupkan bibir rapat dengan jantung berdebar tak nyaman terlebih Hazel meraih tangan kanannya.

"Kamu tau, aku sebatas atma tanpa daksa ... saat aku melihat kalian berkumpul, rasanya itu sangat menyakitkan." Kepala Hazel tertunduk. "Apa kalian sungguhan tidak sadar jika kalian kehilangan satu orang?" tanyanya.

"Hazel, jangan nangis!" Acasha sontak khawatir mendapati sepasang bahu tersebut bergetar. "Maaf, tapi aku nggak paham maksud kamu." Seumur hidup baru kali ini Acasha menemukan seorang pria terisak menyedihkan di depannya.

Hazel meremas jari-jari Acasha sambil mendongak.

"Seharusnya aku yang meminta maaf. aku minta maaf untuk kesalahan di masa lalu. Aku minta maaf kamu yang kecewa karena aku memutuskan bungkam atau saat kamu memohon bantuan, aku justru membuang muka. Maaf," ujar Hazel serak.

Hazel tersenyum pahit.

"Aku bersedia mewakili mereka. Di reinkarnasi pertama ini mereka sama sekali tidak mengingat kehidupan lalu, jadi aku harap ka--"

"Hazel." Acasha menyela. "Bisa kamu diam? Aku tegas, kan, aku bukan Narasea tapi Acasha Siavani ... aku akui, nama itu pernah aku dengar dari penjual aksesoris bahkan salah satu orang yang aku kenali selalu memanggil nama Narasea kalau dirinya kambuh."

Hazel menggeleng lemah.

"Sebenarnya aku sudah menduga kamu tidak akan percaya, Sea."  Genggaman tangannya makin mengerat. "Aku benar-benar berkata jujur. Tolong, percaya!" Hazel memelas penuh harap.

***

Acasha melangkah perlahan, memandangi punggung tegap itu yang berjalan memimpin di depan sana.

"Narasea." Acasha bergumam sambil memegang dada kirinya, kelopak mata Acasha berubah sendu. "Mustahil." Acasha hendak tertawa menganggap ucapan Hazel lelucon, namun bagaimana dadanya malah sesak menyebut nama itu.

Ada begitu banyak emosi Acasha rasakan.

"Hazel."

Acasha memanggil sambil berlari menghampiri agak kesusahan karena mengenakan gaun setelah berhasil mendahului, Acasha lalu merentangan tangan.

"Tadi aku bilang, kan, aku pernah bertemu penjual aksesoris dia kasih aku kartu tarot terus mulai bicara persis kaya kamu sebelumnya. Paling aku ingat, delapan bintang keberuntungan."

"Kamu masih belum percaya?"

Acasha terperangah.

"Mereka di sekelilingmu dan itu termasuk kamu sendiri, Sea." Hazel berbalik, menghadap pantai. Acasha menyadari Hazel menolak melihatnya. "Dulu, kamu sangat kami hormati."

Acasha berdecak. "Kenapa delapan bintang keberuntungan harus retak jika salah satunya ada yang kalian hormati?"

"Lihat di jari manis tangan kiri kamu." Hazel melirik yang di maksudnya.

Acasha mematuhi, menunjukkan di depan muka Hazel acuh tak acuh Hazel tampak terkejut karenanya.

"Ini bekas luka terus keloid." Mata Acasha memicing. "Kok bisa kamu tau aku punya bekas luka di jari manis?"

Hazel tersenyum, bukan senyum menyedihkan yang Acasha artikan beberapa menit lalu melainkan kini tulus.

"Bekas luka itu persis membentuk cincin melingkar, kan? Dari reaksi kamu, selama ini kamu benar-benar tidak sadar ya?" Hazel menurunkan tangan Acasha.

Acasha berkedip linglung.

"Hah?!"

"Cincin pertunangan."

Bahu Acasha merosot. "Hazel, aku mau pulang." Acasha berujar lesu, tenaganya terkuras habis oleh kejutan-kejutan Hazel berikan.

"Aku punya firasat, aku akan jantungan jika kamu menyebut sosok yang berani melingkarkan cincin di jari manisku."

Hazel tertawa pelan.

"Kamu, percaya?"

"Aku mencoba percaya. Sama sekali nggak menganggap mimpi apalagi dongeng." Acasha mendongak. "Sebelum itu, aku ingin mendengar langsung dari mulut kamu enam orang lainnya."


****

Daksa: tubuh
Atma: jiwa

Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

The Secret Behind The Story [END]Where stories live. Discover now