66. Merindukan Kalian

13.5K 2.8K 378
                                    

"Lo tau nggak kalau sekarang harga pintu itu mahal, jadi jangan asal dobrak." Iyan berujar ketus. Kedatangan Kallen dengan kehebohan kecil sungguhan mengusik tidurnya.

Meraih kacamata, Iyan setengah berbaring menatap lempeng Kallen menghampiri tergesa Cleo di meja kerja, tengah membaca buku tebal. Bagi orang yang tidak suka membaca buku sejenis filsafat hanya dibuat mual melihat lembaran kertas di bolak-balik Cleo.

"Luka udah sadar." Raut wajah Kallen gagal menutupi kepanikan, alih-alih perasaan lega pria itu justru gentar. Bukan tanpa alasan, baginya situasi kini tidak memungkinkan Luka mengetahui yang sebenarnya.

Bahwa ada seseorang yang hilang. Luka pasti cepat memahami keganjilan terjadi di sekelilingnya.

Cleo mendongak kaget. "Kapan?" tanyanya. Cleo beranjak, mengambil stetoskop dan penlight di meja steril tidak terlalu jauh.

"Sekitaran sepuluh menit yang lalu." Secara bersamaan Kallen menghentikan tangan Cleo hendak mengambil benda lain, identik peralatan dokter. Di samping kiri Kallen, sudah berdiri Iyan dengan air muka kelewat serius.

"Jangan ke ruangan Luka." Iyan memperingati. "Masih ada dokter lain, jam praktik lo udah berakhir terus jadwal operasi baru besok pagi, kan?"

Cleo menghela napas. "Luka nggak suka diperiksa orang lain, lo pasti tau itu."

"Gue sempat bicara sama Tante Gemala, kalau Luka sadar dari koma lalu Acasha belum juga ketemu, kami sepakat merahasiakan." Pria bergelar sebagai bintang ibukota tersebut mengungkapkan berbisik. Jika pembicaraan ini terdengar oleh orang yang salah, maka segalanya akan lebih rumit.

Anggukan Cleo detik ketiga telah menyimpulkan setujuan.

"Kita bertiga harus pulang biar Luka enggak curiga."

"Ini udah jam setengah dua belas, Luka mustahil punya pemikiran kita kumpul di gedung yang sama."

Kallen sontak menertawai jawaban Iyan. Cleo berdecak, paham keduanya bakal berakhir berdebat.

Dia terlalu malas melerai. Belum sempat Cleo kembali ke kursi, pintu ruangannya untuk kedua kali didobrak, bedanya di tendang keras pakai kaki.

"Gue tau dugong ada di mana! Gue benar-benar yakin!" Silver berseru, penampilannya tampak kacau. Paling membuat Cleo sedikit geli adalah alas kaki Silver masih berupa sandal rumahan.

"Perasaan main tebak-tebakannya selesai tadi sore." Iyan menguap tidak berminat menanggapi.

"Anjing!" Silver menghardik yang bikin ketiganya terperangah kemudian.

Tanpa perlu lama-lama, Silver menyambar tangan kanan Kallen, menyeretnya keluar ruangan. Menulikan telinga Kallen yang menuntut penjelasan.

Iyan ikut menyusul meninggalkan Cleo sendirian, batin Cleo berharap keyakinan Silver benar adanya.

***

Kallen dan Iyan mengekor di belakang dengan penerangan senter di ponsel masing-masing. Kallen mengigit ujung bibir, menahan diri tidak mengumpati Silver berjalan memimpin di depan sana.

Ilalang harus mereka lewati, tanah becek setelah terkena guyuran hujan, intinya tidak ada kata baik berada di pinggiran ibukota. Beberapa tahun silam bangunan semipermanennya sudah di paksa hancur lebur oleh para pemerintahan.

"Astaga, jangan lari-lari, kampret!" Pekikan tertahan Iyan mengantarkan Kallen tadinya membungkuk mengusap sisi sepatunya, mendongak penasaran. Menatap punggung Silver yang mulai jauh tertelan gelapnya malam. "Sepatu lo itu udah kotor banget jadi sia-sia di bersihin."

"Sepatunya pilihan Kalana."

"Wah, bucin sekali anda."

Kallen melirik tajam di balas Iyan cengiran tengil. Kemungkinan keduanya tetap berdiri diam, menunggu saja Silver mengubrak-abrik pinggiran kota hingga puas, namun teriakan Silver entah menit ke berapa berhasil mengagetkan.

The Secret Behind The Story [END]Where stories live. Discover now