67. Segalanya Masih Sama?

13.1K 2.7K 556
                                    

Pada akhirnya, Silver memeluk Acasha. Tentu saja memakai syarat. Acasha tidak boleh posisi membaring harus duduk. Sama sekali tak keberatan, Acasha menerima saja.

Tangan Acasha melingkar di punggung Silver dengan pipi menempel di dada. Dekapannya erat, Silver sempat protes bahkan kini beralih meminta dilepaskan.

Acasha mengabaikan. "Rusuk aku cedera. Jangan banyak gerak." Acasha mengeluh, diam-diam bibir yang tidak lagi pucat itu menyunggingkan senyuman licik karena mengetahui Silver patuh kemudian.

Kamar perawatan Acasha, berada di lantai atas gedung rumah sakit berubah hening. Jika sebelumnya terdengar berisik.

Silver bungkam. Matanya melirik ke bawah, secara perlahan tangan kanan Silver terangkat lalu mengusap rambut halus Acasha.

Enggak boleh hilang lagi. Gue khawatir.

Silver membatin, tidak sampai bicara. Dia terlalu malu.

"Kayaknya Ayah jadi pemandu, pas di pinggiran kota waktu itu, ya?" Acasha berbisik.

"Kok bisa, Ayah. Tau aku ada di sana?" Sebenarnya Acasha tidak memerlukan jawaban, sebab pada dasarnya tugas Silver ialah menemukan. Selama Acasha masih bernapas, sejauh apapun Acasha pergi takdirnya dan Silver tetap bersentuhan.

Silver mengerjap. "Gue cuma nebak. Lagian tempat itu cocok buat lo." Pengakuan Silver tertangkap asal-asalan, namun Acasha tersinggung.

Acasha beringsut, otomatis pelukan yang berlangsung lebih dari lima menit tersebut terlepas. Acasha bersedekap, ekspresinya masam.

"Aku sakit hati."

"..."

"Biar sakit hatinya berkurang, minta maaf dulu."

"..."

"Oke, kalau nggak mau."

Silver kebingungan sesaat, belum sempat Silver membuka mulut gumaman Acasha mengantarkan Silver kedua kali diam. Silver sontak menoleh ke belakang mengikuti arah pandang Acasha.

"Ayah." Acasha tertegun akan kedatangan dua orang memasuki ruangan, salah satunya duduk di kursi roda begitu pun pakaian yang di kenakan serupa dengannya. Mendadak, Acasha kesulitan menyapa.

Gagal mengendalikan diri, sepasang tangan Acasha di atas paha gemetaran.

Segalanya masih sama.

Tidak ada yang berubah.

Tetap jadi diri kamu, Acasha.

Kamu memang menyaksikan kilas balik dengan identitas Narasea, tapi kamu tetap tidak mengingatnya bahkan secuil pun.

Berarti tidak ada yang berubah sama sekali.

Acasha mengingat tiap perkataan Hazel. Ya, segalanya masih sama. Luka nampak arogan sekaligus kejam cuma di masa lalu, lagi pula di masa itu Luka dipanggil sebagai Lukara.

Sementara sekarang Luka tidak arogan. Luka bertindak layaknya mesin pembunuh hanya pada orang yang pantas dia eliminasi dari dunia. Luka membunuh selalu memakai alasan.

Lamunan Acasha buyar ketika merasakan lengannya di sentuh, Acasha memandangi lurus. Entah sejak kapan Silver sudah menyeret mundur kursi dan posisinya digantikan Luka.

Sayangnya, bayangan-bayangan kekejaman Luka terus memenuhi pikiran, maka detik selanjutnya... Acasha menepis lalu tangannya berakhir menampar pipi putih Luka.

Gemala terbelalak secara bersamaan Silver menahan napas.

"Ay... ayah." Acasha tergagap dengan mata berkedip linglung, jari-jari Acasha barusan selesai mendarat di wajah Luka bertambah tremor. "Ak---"

"Kenapa lo takut?" Pertanyaan Luka tepat sasaran, nada suaranya tidak menunjukkan kemarahan usai di sambut kurang baik.

Gemala tertawa menepuk lembut pundak anak tunggalnya. "Aca nggak takut sama kamu." Jawaban Gemala tak membuat Luka mengalihkan tatapan. Jelas sekali dia menunggu Acasha yang berbicara.

Acasha tertohok. Takut? Acasha tidak mengatakan apapun, tapi sebagai gantinya dia kembali bergeser mendekat ke sisi brankar. Entah bagaimana caranya Luka mampu paham maksudnya, ikut mencodongkan tubuh.

Acasha menempatkan dagu ke bahu Luka dengan mata terpejam. Kelegaan muncul dalam dirinya, bahwa Luka baik-baik saja.

"Kaki lo masih sakit?"

"Jadi, itu. Ayah?"

Berarti yang berjam-jam di sisi ranjangnya bukan lah Silver, melainkan Luka. Selama itu pula Acasha sempat beberapa kali sadar untuk sebentar.

Respon Luka cuma mengangguk. Luka yang pendiam memang hal teramat biasa, namun Acasha termasuk orang-orang yang mengenal Luka sudah lama, tentu merasa ganjil.

"Aku mana takut sama, Ayah." Acasha mengungkapkan lirih. Takut dikit, kalau Ayah udah nunjukin sisi sadisnya pas mau bunuh orang. Ucapan Acasha berlanjut sekedar di batin. "Maaf, aku nggak sengaja."

"Bagus. Gue nggak bisa marah sama lo." Sebelah telapak tangan Luka menempel di dahi Acasha. "Kulit lo udah hangat. Nggak dingin lagi."

Interaksi keduanya di saksikan Silver dan Gemala.




***


"Jangan khawatir. Cuma anjing liar yang gigit kaki lo, jadi nggak harus di amputasi." Iyan tersenyum menyebalkan, mengacak brutal rambut Acasha hingga super berantakan.

"Kangen, Aca!" Iyan tidak sempat menarik Acasha ke dekapan karena tiba-tiba badannya di dorong yang hampir menimpa Silver tengah duduk di ujung balkon sembari meneguk minuman kaleng.

Silver mengumpat kejam yang bikin semua orang di sekelilingnya bakal di buat tuli.

Acasha berdecak, niatnya bersantai di balkon luas kamar perawatan menikmati udara segar di malam hari langsung hancur.

"Kalau fan Ayah lihat sikap bar-bar Ayah kaya gini, mereka bisa kena serangan jantung." Acasha mendelik gemas terhadap Kallen. "Ngomong-ngomong soal pernikahan Ayah sa--"

"Hilang selama dua puluh tujuh hari, terus kami temukan di pinggiran kota. Seharusnya kami sekarang mendengar penjelasan, kan?" Kallen menyela, raut wajah terkesan serius.

Acasha mendongak terkejut. Benar kah hampir satu bulan, padahal Acasha menduga hanya beberapa hari bersama Hazel.

"Aku di culik."

"Sehebat apa penculik itu sampai-sampai gue dan yang lainnya gagal mendeteksi keberadaan lo?"

"..."

"Jawab, Aca."

"..."

"Atau jangan-jangan Iyan bilang lo diculik jurik, itu emang benar adanya."

Nama yang ikut disebut berdecak sebal, secara tidak langsung Kallen mengingatkan kejadian dia teler di kelab malam. Celetukan Iyan kala itu, Cleo ambil kesempatan merekam lewat ponsel hingga detik ini sebagai bahan hiburan Cleo.

"Iya, aku emang diculik jurik. Jurik tampan." Perkataan Acasha berhasil mengantarkan kelima orang yang menanti terperangah.

"Berhenti bercanda!" Kallen menggertak, bergerak spontan menendang meja yang menjadi pemisah jarak antaranya dengan Acasha.

Kebetulan sebelah kaki Acasha berbalut perban sedang selonjoran di sana.






****





Fyi, Ramaikan komentarnya, secepatnya aku update :)

Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

The Secret Behind The Story [END]Where stories live. Discover now