44. Pilar Yang Sudah Retak

22.9K 5K 267
                                    

Acasha memasuki dapur luas itu dengan langkah hati-hati. Takut membangunkan penghuni rumah, sekedar jam tidur waktu istirahat paling lama bagi para pekerja Natapraja.

"Ay... ayah." Acasha menahan diri tidak berteriak. Menghampiri riang pria berumur tiga puluh tahun tersebut yang duduk di depan meja pantry.

Kelopak mata terbuka, menoleh dengan senyuman tipis. Kedua tangan sebelumnya di jadikan bantalan, kini terulur mengusap rambut hitam Acasha.

"Aku kira Ayah lembur."

"Batal lembur. Katanya seseorang nangis."

Acasha cemberut sambil mendudukkan diri di samping Luka. Tatapannya mengamati lekat-lekat Luka, ada yang janggal.

"Ayah, baik-baik aja, kan?" Acasha bertanya lirih. Luka diam, tidak menjawab apapun.

Keduanya berada dalam keheningan lama.

Acasha menelan ludah. Jika dulu Luka sering bermimpi buruk, tapi setelah Acasha memaafkannya Luka bilang tidak pernah mimpi buruk lagi. Itu pun Acasha menanyakan harus tidak menimbulkan kecurigaan.

Menduga semuanya sudah selesai begitu saja justru salah. Ternyata banyak tidak Acasha ketahui, hampir tiga tahun belakangan ini Luka berusaha menyakiti dirinya sendiri semakin parah.

Tak boleh ada benda tajam di letakkan sembarangan. Jangan memegang sesuatu yang dapat menghilangkan nyawa. Luka bahkan di biarkan tak menjadi penerus klan, kalau pun memang terjadi. Kemungkinan besar klan Natapraja berhenti di generasi kesembilan pada masa sekarang.

Luka mendengar, nyaris membunuh orang itu yang lancang mengatur keluarganya.

"Ayah ...." Acasha mencengkeram lengan kiri Luka, ekspresi berubah serius. "Ayah harus bertahan. Ayah wajib hidup untuk delapan puluh tahun ke depan. Ayah pasti mau, kan. Lihat cucu-cucu Ayah!"

Luka tertawa.

"Jangan ngawur."

"Aku nggak bercanda."

Jelas sekali Acasha tampak menunggu jawaban.

"Gue gak yakin." Luka meneguk minuman sodanya kemudian, tanpa memandangi sang lawan bicara Luka meneruskan. "Pilar yang udah retak tinggal menunggu waktu runtuh."

Iris kelabu Luka menunjukkan kehampaan. "Ibaratnya pilar itu nyawa gue, intinya cepat atau lambat gue bakal mati."

Bagaimana ini? Apa yang perlu Acasha lakukan agar Luka mencintai kehidupannya.

Acasha sungguhan tidak tahu, tiap Luka kambuh akan ada di mana Acasha merasa bersalah. Namun, di sisi lain saat bersamaan lubuk hatinya malah puas.

Bukan kah dia terlihat jahat. Lamunan Acasha buyar oleh usapan Luka di rambutnya kembali.

"Kenapa?"

Acasha agak pucat, keringat dingin mulai mengalir di balik punggung dengan jantung berdebar tak nyaman.

"Kalau Narasea yang minta Ayah menghargai kehidupan ... apa Ayah akan patuh? Lalu, menganggap kata kematian itu sesuatu yang mengerikan," ujarnya pelan.

"Lo yang minta atau Narasea?" sahut Luka, mengetuk gemas puncak kepala Acasha dengan bibir menyunggingkan senyuman. Kebiasaan Silver entah sejak kapan menular.

"Dua-duanya!" Acasha tanpa sadar meninggikan nada suara disusul bangkit dari bangku.

Luka menahan napas.

"Kakek dan Nenek bisa hilang akal terus-terusan ditampar kenyataan, lihat anaknya sendiri yang berusaha mati." Acasha mengusap wajah frustasi.

Pada akhirnya Acasha berlari keluar dapur meninggalkan Luka yang gagal mencegah, tangan Luka hendak meraih pergelangan Acasha menggantung di udara.

The Secret Behind The Story [END]Where stories live. Discover now