PROLOG

101 52 15
                                    

Namaku Windy Cantika, aku pernah dengar dari satu orang tentang namaku ini ada sebagian orang yang memanggilku dengan nama Windy saja, dan dia adalah salah satunya.

Dia bilang, namaku hampir mirip dengan nama angin dalam bahasa inggris.

Dia pernah bertanya, mengapa orang tuaku memberikan nama itu kepadaku. Namun aku hanya tertawa sambil menggelengkan kepalaku.

Dia tampak berpikir saat itu. Aku sebenarnya tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan.

Namun, setelah aku melihat dia berfikir, aku melihatnya tersenyum bangga sembari menatapku.

“Windy, yaa?” Dia bergumam pelan sambil mematul mantulkan jari telunjuknya di dagu. “Wind itu artinya angin.” Ada jeda di kalimat itu “Nama itu biasanya berhubungan erat banget sama ke pribadian yang punya. Mungkin aja lo adalah seseorang yang mudah melupakan sesuatu, seperti masalah... mungkin.”

Aku hanya tesenyum tipis mendengar leluconan itu keluar dari mulutnya. Memang ku akui. Dia kerap sering mengucapkan kata kata manis, yang walau ku akui. Tidak banyak bukti kebenarannya.

“Siapa bilang? Gue nggak gitu tuh.” Sahutku sumbang. Mempercepat langkah meninggalkan halaman depan rumahku yang bisa dibilang kecil, juga bisa dibilang luas. Hanya saja tidak ada bunga di halaman itu. Bisa di bilang aku adalah orang yang sangat malas untuk, menanam apapun yang biasanya suka di tanam oleh, gadis gadis seumuranku.

Senyumku entah mengapa selalu timbul jika mengingat kenangan itu.

Entahhlah. Aku cukup kesulitan mengucapkan perasaanku jika aku berada di sampingnya. Aku sulit berkata tentang apa yang aku rasakan saat itu. Aku tersenyum lebar, nyaris tertawa pada saat melihat figura foto yang terpampang tepat di depan pintu kamarku. Disitu menampakkan fotoku dan fotonya.

Kami sempat berfoto waktu itu, pada saat dia baru saja membeli camera baru, yang katanya, adalah sebuah kamera yang sangat dia mimpi-mimpikan.

Dia bilang aku adalah orang pertama yang berfoto di kameranya itu. Aku hanya tersenyum miring sambil memutar bola mataku. Ucapannya itu terlalu terdengar lebay bagi pendengaranku.

Disitu menampakkan aku yang sedang tersenyum kecil sambil menutup mata. Sedangkan dia terlihat menatapku sambil membuat wajahnya kelihatan konyol.

Dan itu berhasil. Aku tertawa saat itu, pada saat melihat hasil cetakan foto kami berdua. Dan pada saat itulah aku melihat dia tersenyum kecil, terkesan tulus melihatku.

Wajahnya terlihat aneh pada saat seperti itu, aku merasa dia seperti berubah menjadi bukan dia yang aku kenal.

Saat itu dia menatapku lama, sampai membuat aku, gelagapan dan segera menghentikan tawaku, lantas kembali dengan wajah datar yang biasanya ku pasang.

“Lo cantik kalau lagi ketawa.” katanya. Aku segera berdehem dan berbalik badan. Pipiku terasa panas. Mungkin saja sudah merah, aku takut dia melihat wajahku saat itu. Lantas segera melesat pergi begitu saja meninggalkannya karena malu.

Setidaknya itu..

Sisa-sisa ingatanku bersama dengannya.

Dalam diam aku termagu menatap sebuah rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya dari atas balkon rumahku.

Sudah terlalu banyak perubahan dari rumah itu.

Enam tahun sudah berlalu. Bagaimana keadaanmu saat ini?

Apakah pernah sekali saja merindukanku?

Aku merindukanmu Aldy Mahendra.

_______

Jangan lupa vote dan share😤😤

Memori [COMPLETED]Where stories live. Discover now