Bab 15 Lantai Empat

22 8 15
                                    

Joel masih berkelana mencari pembimbing dua sampai ke atap kantor. Refami dibelakangnya selalu menyemangati meski dengan ogah-ogahan karena mulai kelaparan.

"Ke lantai empat, yuk," ajak Joel seperti mendapatkan wangsit.

Mereka sudah naik-turun lift empat puluh kali hari ini tapi belum puas, masih akan mencoba dengan sisa semangat sebesar lidi-lidian. Terdengar suara ketukan sepatu diiringi alunan tembang lawas dari salah satu ruangan saat kedua sejoli itu keluar dari lift.

Refami melangkah perlahan, pura-pura lewat tak sengaja. Ternyata seorang laki-laki berkepala bundar seperti bola bekel dengan perut buncit tengah menari-nari seorang diri di dalam ruangan rapat. Tanpa sadar, perempuan yang berniat pura-pura lewat itu malah menonton sampai tuntas di depan pintu.

"Halo, selamat siang, Dek. Ada yang bisa saya bantu?" Laki-laki berusia empat puluh tahunan itu tersenyum lebar dan terlihat menggemaskan dengan kepalanya yang licin seperti perosotan kutu.

Bukannya menjawab, Refami malah melongo seperti kena gendam.

"Saya sedang mencari pembimbing dua untuk skripsi saya, Pak." Tiba-tiba Joel muncul dihadapan mereka.

Laki-laki berkacamata itu menghela napas pelan, mengatur sirkulasi oksigen seusai berolahraga seorang diri di ruang rapat saat jam istirahat.

"Kebetulan slot bimbingan saya kosong satu, coba mana proposalnya?" Pria itu menarik salah satu kursi.

Joel dengan sigap mengeluarkan proposal skripsinya yang sudah lelah berkelana sejak pagi, tapi tak laku-laku. Dalam hitungan menit, mereka berdua tenggelam dalam perbincangan mengenai geofisika dan metode-metode perhitungan cadangan hidrokarbon.

Sejak percakapan hari itu dengan para pembimbing, Refami dan Joel mengerjakan skripsi dengan jiwa penuh tekanan. Mereka mengolah data dengan empat orang bimbingan skripsi lain dari berbagai universitas di ruang rapat yang sangat luas.

Hari mulai petang, para pejuang wisuda sudah mulai berguguran dan mengucapkan salam perpisahan, termasuk Refami dan Joel. Parkiran gedung eksplorasi mulai senggang. Motor-motor lain mulai berkelana ke arah pulang. Pandangan mereka berdua seketika terkesiap memerhatikan pria dewasa memakai helm keroppi berwarna hijau cerah.

Pria itu berbadan sintal dengan kepala sangat bulat. 

"Pulang, Pak?" sapa Joel.

"Eh, iya Dek Joel dan Dek Refami," jawab beliau dengan penuh kedamaian.

Joel dan Refami tak kuasa menahan tawa karena melihat pemandangan ini. 

***

Satu bulan telah berlalu, resmi sudah Refami mengusir penghuni kamar aslinya, Joel. Rasa tak enak hati, apa lagi gunjingan tetangga--meski tak terdengar sama sekali, tetap saja membuat tak nyaman.

"Pak, saya mau bicara sesuatu sama Bapak," ucap Refami saat keluarga itu baru saja menyelesaikan makan malam bersama.

Pak Darmawan menaruh gelas kaca di atas meja, kemudian pandangannya fokus melihat Refami.

"Ngomong ya, ngomong aja. Biasanya juga gitu," jawabnya sambil tersenyum.

"Pak, Bu, aku mau cari kosan besok. Aku nggak enak tinggal di rumah ini terus. Takut ada omongan aneh-aneh dari luar," jelas Refami serius.

"Kirain mau ngomong apa kamu," timpal beliau sambil melihat ke arah Ibu Khadijah--istrinya.

Refami sudah menduga jawaban seperti ini keluar dari mulut Pak Darmawan.

"Pak, tapi saya--"

"Sudahlah, Mi. Kan kamu dari kampung, saya juga dari kampung, sama-sama menolong apa salahnya? Lagian kalo kamu di sana diculik, diperkosa, terus dibunuh gimana? Emang sih, nggak ada yang menjamin keselamatan seseorang, tapi kan, kalo di sini seenggaknya kamu tinggal mikirin skripsi kamu. Nggak usah mikirin hal lain," jelas Pak Darmawan panjang lebar.

"Jangan bahas ini lagi, ya. Kamu bilang gini udah empat kali loh, Mi," Bu Khadijah menimpali.

Refami mulai putus asa sekarang, entah bagaimana caranya membalas semua kebaikan keluarga ini.

"Kalo skripsi kalian udah selesai, nanti kita datang ke rumahmu di Ciamis, Mi." Bu Khadijah membuat Refami kebingungan.

"Aku bisa pulang sendiri, Bu. Ada bus langganan, kok. Semoga aku nggak dimutilasi di jalan," jawab Refami.

Satu ruangan itu terkekeh.

"Rencananya kita mau lamar kamu, Mi. Nanti abis wisuda kalian cari kerja, terus nikah, deh," papar Bu Khadijah dengan senyum menggoda.

Ruangan itu penuh sorakan halus, Refami enggan memandang balik wajah Bu Khadijah, Pak Darmawan, adik-adik Joel, terutama kekasihnya. Betapa Tuhan melancarkan urusan jodoh dengan mulusnya, seperti paha bayi.

Pagi telah datang, Refami sudah selesai membenahi diri dan sarapan di depan televisi lantai dua seorang diri. 

"Mi, ayo," ajak Joel tiba-tiba. Dia naik ke atas tanpa suara. Seperti biasa, dia masih sibuk membenarkan poni.

"Udahlah, Joel." Refami tak tahan dengan keribetan laki-laki dihadapannya. Dengan jurus naga api, Refami memukul bokong Joel dengan sekali hentakan. Tanpa diduga, dia terjatuh.

"Sakit banget, aku nggak bisa bangun, Mi." Wajah Joel berubah menjadi pucat.

Posisinya yang terbaring di lantai seperti kesulitan untuk bangkit, hanya poni saja yang kuat bertengger setelah diolesi lem kayu agar tak berpindah haluan.

"Tolong, Mi," raung Joel.

Refami memerhatikan lekat-lekat lelaki yang dia terka sedang bercanda.

"Kalo kamu mencium ini, niscaya akan kuat selama seribu tahun, Kisanak." Refami membuka kaus kaki miliknya yang sudah terpasang rapi. Dikibas-kibaskannya ke arah hidung Joel sambil mengucap mantra.

"Empat kali empat enam belas, sempat tidak sempat harus dibalas," Refami mengucapkannya sembilan kali sambil terus mengusap-usap wajah Joel dengan kaus kaki usang. Tanpa sadar lelaki lemah itu ada di ambang kematian karena bau kaus kaki.

"Mi, tolong tarik. Pinggang aku encok!" Joel berteriak saking kesal pada perempuan gila di depannya.

Refami dengan jiwa pahlawan yang berkobar-kobar menarik sekuat tenaga lelaki jompo itu.

"Hobi kamu nambah, Joel?" tanya Refami sinis.

"Nambah apaan lagi, sih?" Wajah Joel meringis menahan encok di pinggang kanannya. 

"Selain menata poni lebih lama dari menata hidup, sekarang kamu jompo dengan hobi encok," jelas Refami dengan gaya detektif.

Joel hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar celotehan Refami. Dia sedang merasakan sakit ngilu luar biasa di saat-saat tertentu di area persendiannya.

Joel meraih obat yang ada di samping televisi dengan sigap. Dia membeli obat pegal beberapa hari lalu di apotek saat jalan pulang dari Remigas.

"Sampe kapan sih, minum obat itu terus?" tanya Refami sembari memasang ulang kaus kaki.

"Kalo nggak diminum kesiksa aku, Mi. Sepanjang hari pegel-pegel," jelas Joel sambil mengisi gelas kaca dengan air putih di dispenser, lalu menenggak obat dua butir secepat siput berlari.

Orang tua Joel tak mengetahui hal ini, bahwa anak pertama mereka selalu encok di bagian pinggang dan terkadang di area panggul.

"Semangat, Joel. Aku juga biasanya gitu kalo mau dateng bulan. Pada pegel di sana-sini. Nanti juga ilang sendiri," tukas Refami sambil menyambar tas berisi laptop dan berkas skripsi.

Refami tersenyum tanpa merasa bersalah sama sekali. 

***

Terima kasih telah mendukung karyaku, ya. Berkah Rambut Bondol juga on going di Karya Karsa. Mm sudah sampai Bab 26, lhoo.
Jangan sungkan berkunjung 🙈♥️

Oh iya, jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komen, ya. Hatur nuhun 🔥🔥

Berkah Rambut BondolWhere stories live. Discover now