Bab 32 Tertekan

17 8 12
                                    

Angin berembus menyegarkan tubuh yang mulai jompo. Refami duduk di gazebo sambil melihat ikan-ikan bergerombol ke sana, ke mari. Terkadang mereka memamerkan moncong yang tengah menyeruput air kolam yang tidak jernih. Anak-anak seusia SMP dan SMA berlalu-lalang sambil sedikit membungkukkan badan saat melewati Refami. Para santri kebanggaan, decak Refami dalam batin.

Nenek Refami adalah pendiri dan pemimpin pondok pesantren ini sejak tahun 1973. Beliau sekarang tengah mengajar di dalam madrasah bersama puluhan santri perempuan dan laki-laki dengan kitab kifayatul atqiya. Suaranya lantang dan tegas. Ciri khas beliau memang seperti itu meski perawakannya tidak terlalu tinggi, tapi berbadan besar dengan mata sipit.

"Refami," panggil seseorang setelah tiga puluh menit berlalu. Santri yang berada di madrasah berhamburan keluar memeluk kitab kuning. Mereka mempercepat langkahnya tatkala melewati Refami yang bengong saja menikmati angin sore di gazebo pesantren.

"Umi," jawab Refami riang. Dia menyunggingkan senyum pada perempuan yang sudah berusia enam puluh lima tahun itu, seraya memakai sandal dan berlari ke arahnya tanpa ragu.

Mereka terakhir bertemu pada acara pernikahan sepupunya beberapa bulan yang lalu. "Yuk, masuk ke rumah," ajak beliau sambil membawa kitab di tangan kanan.

Refami memasuki bangunan rumah tua dengan gaya 1980-an. Rumah neneknya lumayan luas dengan dikelilingi pagar besi bercampur semen di bagian depan. Kemudian dua jendela kayu yang menggangtung di bagian depan, ruang tamu dan ruang tengah yang luas--agar santri bisa mengaji di dalam dengan leluasa. Kemudian kamar mandi serta dapur di bagian paling belakang dengan ubin berwarna hitam.

Refami duduk di sofa berbahan kulit berwarna hitam. Dia merasakan sejuk di ruangan tersebut. Tak berselang lama, seorang perempuan berusia dua puluh dua tahun dengan mengais seorang bayi datang mengetuk pintu. Ketukannya melambat saat Refami membukakan pintu untuknya.

"Umi ada, Teh?" tanyanya penuh hormat.

Refami mengangguk, mempersilakan masuk. "Bentar ya, Umi lagi di belakang." Refami memberi isyarat bahwa neneknya tengah berada di toilet.

Pertemuan perempuan muda ini dengan neneknya berlangsung hangat dan ceria. Dia menceritakan keluarga dan kebaikan-kebaikan suaminya. 

Jadi, si tamu ini adalah alumni santri neneknya. Perawakannya tinggi, besar, berkulit putih dan agak gemuk. Dia menikah saat berusia dua puluh tahun saat seorang laki-laki matang datang meminta jodoh ke pondok pesantren ini. Setelah perjalanan panjang akhirnya dialah yang Umi serahkan pada si laki-laki.

Awalnya sang perempuan menolak habis-habisan, bahkan sampai kabur dari pondok. Meski akhirnya mereka melangsungkan akad.

Refami hanya menyimak sambil sesekali meminum teh manis hangat di atas meja dengan keripik pisang.

Pertemuan mereka berakhir saat azan ashar berkumandang. Perempuan gagah itu menyandarkan tubuh gempalnya pada punggung kursi sambil menatap langit-langit bercorak ukiran khas zaman dahulu. "Kamu gimana, Mi? Udah ada laki-laki yang cocok terus mau nikahin kamu?" tanya Umi tiba-tiba.

Refami sontak menoleh, keripik pisang yang sedang dikunyahnya mengantre panjang berhamburan di tenggorokan, menyembur kembali keluar bersamaan dengan batuk mengenaskan berkali-kali.

"Umi, kok, nanya gitu?" Dengan wajah yang merah seperti kepiting rebus, Refami tak terima dengan serangan mendadak.

Wanita dengan hidung pesek dan memakai kacamata bening itu mendengkus. Lebih banyak diam dari pada harus menghujani cucunya dengan banyak teori. "Nggak, Umi cuman pengen kamu jangan jadi perempuan egois."

Refami sudah malas dengan bahasan yang menjurus ke arah laki-laki atau pernikahan. Jodoh didapat tak semudah membeli bakso goreng di etalase camilan atau makaroni basah di deretan jajanan SD. 

"Egois?" Refami mengulangi kata-kata neneknya.

"Egois pada orang tua dan anakmu nanti," jawab neneknya dengan wajah sangar.

Saat Refami hendak membela diri dengan memasang kuda-kuda jurus ulat buah naik pucuk mangga, perempuan tua itu melanjutkan kalimatnya. "Lihat Umi sekarang. Usia enam puluh lima tahun sudah punya cicit, melihat semua anak menikah dan bisa memenuhi keinginan orang tua umi sebelum mereka semua meninggalkan dunia.

"Apa sih, yang membuat kamu terlalu pilih-pilih Refami?" Nadanya mulai meninggi, kedua alis mulai merapat.

Refami terdiam beberapa saat, karena salah bicara satu kalimat saja bisa memantik perang dingin terjadi. 

"Jadi gini, Mi." Refami melipat plastik keripik pisang yang sejak tadi dia nikmati. Disimpan baik di tengah-tengah meja kayu yang dilindungi oleh taplak kain bergambar burung elang.

"Aku itu nggak pilih-pilih, Mi. Jodohnya aja belum dateng. Kalo jodoh udah dateng mah, aku udah punya cucu kali sekarang," jawab Refami sambil memasang wajah sangat ramah, agar tak kena amuk neneknya.

Umi membenarkan posisi duduknya menjadi bersila di atas sofa. "Kamu lihat santri Umi yang datang tadi?" tanya neneknya diiringi dengan anggukan Refami. "Itu dia nolak abis-abisan pas Umi mau jodohin dia sama laki-laki yang minta jodoh ke sini waktu itu. Tapi, sekarang dia bahagia.

Gimana menurut kamu?" Level pertanyaannya kian naik, kini Refami harus memberikan pandangan juga. Padahal dia kini tengah malas berpikir.

"Alhamdulillah, Mi. Rezeki dia. Tapi, aku nggak mau kalo dijodoh-jodohin." Refami memberi penekanan di akhir kalimat. Karena bisa saja suatu hari datang seorang laki-laki bujang atau duda datang ke pondok ini lagi dan meminta jodoh pada neneknya ini. Jika santri perempuan masih setara remaja, pastilah Refami yang maju sebagai kandidat.

Di tengah perbincangan, datang Bu Dina dan bibinya yang memerankan antagonis dalam drama. "Nah, omelin aja Mi, si Refami itu. Ngeyel banget anaknya susah dikasih tahu. Seneng kali dia bikin orang tuanya sakit kepala!" Bu Dina berbicara dengan emosi yang kentara.

"Mau jadi perawan tua kali dia!" timpal bibinya yang sejak tadi di samping Bu Dina.

Refami hanya bisa diam, merasakan sakit di ulu hati karena kalimat-kalimat yang keluar dari mulut orang terdekatnya.

"Denger kamu? Itu Mama suka sakit kepalanya katanya mikirin kamu." Nenek yang terpantik emosi mulai ikut memojokkan Refami.

"Dia mana peduli, dia kan mikir--" 

"Oke, semuanya diem dulu!" Refami memotong semua kalimat yang sedang berlangsung.

"Gini ..., " Refami mulai bernegosiasi mendadak--karena telinganya sudah mulai melepuh saking panasnya, "aku akan menikah dengan orang yang sudah aku kenal. Tolong garis bawahi, yang sudah aku kenal. Minimal lima tahun. Kalo dia dateng nih." Refami menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimat.

"Terus ngajak nikah lusa, aku sanggupin dah tuh nikah lusa tanpa tapi-tapi!" Api di atas kepala perempuan itu berkobar-kobar. Masa bodo jika kalimatnya tersebut diaminkan oleh para malaikat.

Sore itu langit-langit rumah neneknya menjadi saksi akan janji Refami dan intimidasi dari pihak keluarga. Mereka tak sedikit pun mengerti kondisi perempuan itu. Jika boleh memilih, dia ingin menikah secepatnya dengan laki-laki yang dia cintai dan berakhir hidup bahagia. Tapi, jalannya sekarang begitu rumit.

***

Halo pembaca setia. 😍
Berkah Rambut Bondol di Karya Karsa sudah tamat, lho.
Bagi kalian yang mau baca-baca tanpa iklan dan ekspres sampai selesai, bisa banget, dong!

Nggak perlu repot install aplikasi. Bisa di web aja www.karyakarsa.com terus cari akun aku @fitriaanoorm atau Fitria Noormala

Ditunggu yaaa ♥️🔥

Berkah Rambut BondolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang