Bab 45 Syarat Menikah

16 3 0
                                    

Pagi sekali, saat langit tengah mendung-mendungnya. Refami di dapur seorang diri tengah menikmati teh manis panas yang masih berasap dengan beberapa kudapan. Lama sekali dia tidak keluar rumah pagi-pagi hanya untuk membeli aneka ragam gorengan panas dari penjual langganannya. Kemudian, semesta mengizinkan. Perempuan ini menyelinap pergi dan pulang secepat Jin Ifrit. Bangga.

Suara pintu utama terbuka dengan gaduh, Bu Dina baru saja pulang setelah berkelana sejak tadi. "Ami," panggil beliau nyaring.

Perempuan itu otomatis membuka pintu kamar anak sulungnya, melihat ke kiri, kanan dan sekeliling. Tak ada siapa-siapa.

"Ami!" Suaranya kini penuh penekanan.

"Aku di dapur, Mami," jawab Refami setengah menggodanya dengan sebutan 'mami'.

Wanita baya itu tiba-tiba sudah ada di depannya dengan napas tersengal-sengal. Entah mengejar apa. Yang jelas lubang hidung beliau terlihat kembang kempis seperti ban sepeda bocor yang tengah dipompa.

"I-itu." Bu Dina masih berusaha menyeimbangkan antara sistem pernapasan dengan artikulasi rangkaian kalimat yang hendak beliau lontarkan. 

Refami menatap ibunya lucu. "Duduk dulu, Ma."

Setelah satu menit Bu Dina mengatur napas. Beliau menatap Refami gusar. "Barusan mama beli sayur," ucap beliau mengawali kalimat.

"Tahu, kok. Soalnya yang ditenteng sayur. Coba yang dibawa balik empedu, aku baru nggak percaya," timpal Refami seenaknya.

"Hih, dengerin dulu." Bu Dina memberi peringatan dengan sorot mata buasnya. "Tadi ketemu tetangga yang kerja di KUA itu, lho," lanjut beliau.

Refami mengangguk sambil menyobek bakwan menjadi dua. Sesekali menggigit cabe rawit hijau sebagai variasi pedas membakar di area mulut.

"Ngobrol bentarlah sama mama. Peraturan sekarang harus setor berkas nikah minimal satu bulan," jelas Bu Dina panjang lebar.

Refami mengangguk lagi. Dia sekarang tengah mengisi teh ke dalam gelas kosong. Sesekali menambahkan gula pasir karena dirasa kurang manis.

"Jadi, tolong bilang sama Marco buat kirim syarat nikah secepatnya, ya." Bu Dina beranjak dari kursi. Beliau berjalan menuju kulkas, hendak memasukkan sayuran ke dalam.

"Wah." Refami menyambung nada kalimat dengan agak mengejutkan. "Lagian suruh nikah satu bulan kemudian. Pasti nggak sempet tuh, akad tanggal tujuh belas bulan depan." Perempuan itu pura-pura menguarkan ekspresi kecewa agak panik agar ibunya merasa takut.

"Bisa!" Teriak wanita baya di balik pintu kulkas dengan kencang.

Sudah kuduga. Batin Refami.

Setelah kehadiran Bu Dina di dapur, ketenangan untuk duduk di area meja makan tak akan setenang tadi. Refami memilih kembali ke kamar. 

Berkali-kali perempuan itu berusaha menghubungi Marco.

"Pagi, Sayang. Kenapa?" jawab seseorang di ujung telepon.

Dih, menggelikan. Berani-beraninya dia memanggilku sayang.

"Siapin syarat nikah ke KUA, ya," Refami langsung menuju inti, melewati sesi basa-basi.

Marco terdiam beberapa saat, sepertinya menguap dan masih tahap mengumpulkan kesadaran.

"Ng, cepet banget, Sayang?" tanyanya.

Bulu tengkuk Refami bergidik. "Syaratnya harus satu bulan sebelum hari H, Marc," jelas Refami.

"Oh. Sekarang Minggu, ya? Pas banget Pak RT sama Pak RW libur kerja. Ya udah aku berangkat dulu, ya."

Berkah Rambut BondolWhere stories live. Discover now