Bab 47 Pernikahan Niar

11 1 0
                                    

Pagi buta Refami sudah mondar-mandir bak setrikaan panas. Mandi, memakai gaun rapi, memakai wangi-wangian dan mencari sepatu heels di rak sepatu. Hari ini adalah pernikahan Niar dan kekasihnya Thomas. Aku harus tampil cantik dan memukau sebagai bridesmaid. Batinnya terus bersorak.

"Ma, aku berangkat." Refami berteriak saat dia telah mengenakan helm dan jaket andalannya.

Terdengar langkah Bu Dina tergesa-gesa menghampiri anak sulungnya. "Mi, kalo balik tolong beliin kacang panjang sama bawang putih di warung sayur, ya?" Ibunya memang agak tak tahu situasi dan kondisi.

"Nantilah, Ma. Kan, ada Elma sama Bapak." Bibirnya naik sebelah tanda protes dengan permintaan wanita baya itu.

"Hm, ya udah, hati-hati," jawab Bu Dina sambil melambaikan kedua tangannya.

Refami menggelengkan kepala sebelum menancap gas sepeda motornya kuat-kuat. 

Karena pernikahan Niar ini adalah pernikahan pertama di angkatan. Konon, banyak teman-temannya yang akan hadir. Reuni berkedok kondangan. Yeah! Perempuan itu bersorak riang dalam hati.

Niar asli orang Tasikmalaya, tak jauh dari kediaman Refami di Ciamis. Mungkin jaraknya sekitar empat puluh lima sampai satu jam perjalanan ke gedung resepsi.

Saat tujuannya di depan mata, kondisi luar gedung sudah banyak ucapan selamat menikah dengan rangkaian bunga raksasa untuk Niar dan Thomas. Maklum, kedua orang tua mereka sama-sama orang penting.

Saat Refami sudah mendapatkan tempat parkir, terlihat dua mobil melaju dan berhenti bersamaan di tempat parkir khusus mobil yang terlihat masih lengang.

Wow, anak-anak Jakarta sudah hadir! Serunya dalam hati.

Saat mata bertemu mata, penumpang dalam mobil tersebut saling berbagi pelukan singkat dengan Refami. Teman-teman perempuan yang sudah lama tak berjumpa entah berapa tahun, kini raga mereka tanpa jarak. Rindu.

"Halo, Cantik," sapa seseorang dari samping sopir. Dia membuka pintu mobil dan berdiri dengan gagahnya. Marco Devano.

Seluruh teman-temannya menyoraki dengan empuk. "Apaan sih, lo, Marc." Badan gempal dan besarnya menjadi bulan-bulanan yang renyah untuk di dorong dari berbagai arah.

Refami tersenyum sambil menatap Marco sekilas. Sedang laki-laki itu dengan sengaja mengedipkan mata kanannya manja.

Refami memalingkan wajah sejauh-jauhnya karena malas melihat Marco mulai berulah.

Semua orang mulai terbuai oleh riuhnya acara resepsi, termasuk Refami. Dia tengah tersenyum dan sesekali menimpali percakapan teman-temannya di sela-sela kunyahan hidangan pesta. Begitu pula Marco. Laki-laki itu beberapa kali menangkap pundak Refami dan menuntunnya halus untuk menyetarakan langkah mereka.

"Marc, jangan gini. Nanti orang-orang curiga kalo kita punya hubungan." Refami menggoyangkan bahunya pelan agar telapak tangan laki-laki itu jatuh secara alami.

"Sayang … nggak apa-apa, dong?" Marco benar-benar ingin membuat kecurigaan yang lain.

"Dan, berhenti manggil aku sayang!" Refami menatap wajah Marco kuat-kuat, dia menggambarkan ekspresi kesal karena panggilan aneh itu. Bahkan beberapa minggu lalu Marco mengatakan tak ada rasa apa-apa, bukan? Keluh Refami dalam hati.

"Weh, meski pun aku nggak punya perasaan. Tapi, dua minggu lagi kamu istri aku, lho? Harus latihan manggil sayang dari sekarang," jawab laki-laki itu sambil melenggang dan menjulurkan lidahnya genit. Sepertinya dia baru saja membaca ekspresi wajah Refami.

Tuhan, apa aku salah memilih calon suami? Gerutu Refami membatin. Gini amat.

Tingkah Marco tak cukup di sana. Dia terus mengekori Refami ke mana pun. Bahkan laki-laki itu membuka jasa membawakan tas calon istrinya itu.

Berkah Rambut BondolWhere stories live. Discover now