Bab 41 Sayembara

11 4 6
                                    

Wanita yang berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum. "Jadi, maksud dari kalian berdua datang ke sini untuk melamar Refami?" Mata beliau mendelik ke dua orang laki-laki yang tampak gugup.

Baik Joel atau Marco mereka berdua saling menatap satu sama lain, kemudian mengangguk serempak. “Betul, Umi.”

"Refami, ke sini," panggil Umi pada cucunya.

Tak butuh waktu lama perempuan yang sedang dilanda migrain itu datang sambil memijit pelipis kanannya. "Kenapa, Umi?" tanyanya basa-basi, padahal di sini siapa pun pasti tahu titik permasalahannya di mana. Mata Refami melihat Joel dan Marco bergantian. Kalian menambah pikiran di hidupku, tau, nggak?

"Tolong telepon Bapak, suruh pulang sekarang," perintah Umi pada perempuan dengan air muka mengenaskan itu. Bahkan, di sudut bibirnya masih ada sisa nasi bekas nasi kuning.

Refami mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya yang berwarna kuning cerah, memencet salah satu nomor dan dengan segera menempelkan di telinganya. Jantungnya berasa berpacu dengan detik di jam dinding saat menunggu panggilannya dijawab.

"Pak, cepet pulang kata Umi." Belum Pak Abdullah menjawab, Refami sudah memutus sambungan.

Setiap kali Refami beradu pandang dengan Joel, hatinya seperti dihinggapi kupu-kupu serta anak kambing sekaligus, indah tapi bau dan berat. Entah bagaimana harus menjalani hubungan kedua yang pernah retak.

Sedang saat melihat Marco hatinya masih kosong seperti tak sengaja berpapasan dengan lelembut. Tak bisa berpikir apa pun.

Butuh waktu sekitar lima belas sampai dua puluh menit sampai melihat batang hidung Pak Abdullah.

"Assalamualaikum." Suara salam begitu nyaring khas Pak Abdullah, beliau datang dengan raut wajah cerah seperti langit selepas badai.

Semua orang yang mendengar salamnya akan menoleh dan menjawab dengan suara halus.

"Duh, ada apa ini memanggil saya? Padahal saya baru mau melahap ikan bakar di rumah makan. Aduh, gagal total." Pak Abdullah terus meracau sampai menjadi pusat perhatian. Kepala Bu Dina muncul ke permukaan, melotot ke arah suaminya yang mulai hilang arah.

"Hm. Maksud saya .... " Pak Abdullah melirik ke kanan dan kiri mencari kisi-kisi jawaban.

Umi berdiri dari duduknya, memberi isyarat dengan melambaikan tangan ke arah Pak Abdullah untuk mengikuti langkah beliau ke arah ruang tengah. Laki-laki fantastis itu mengerti dan mengekor pada mertuanya.

Sekitar lima menit mereka berbicara.

"Kita pindah ke ruang tengah, yuk? Lebih luas meski duduk lesehan." Pak Abdullah memberi himbauan pada lima orang tamu di ruang tamu.

Keluarga besar Refami, keluarga Joel, Marco dan iparnya duduk berderet setengah melingkar. Di tengah-tengah mereka terdapat makanan ringan, jeruk dan minuman kemasan yang sudah disusun dengan rapi. Jumlahnya tidak terlalu melimpah karena rencana awal hanya memberi sesajen pada pihak Marco.

"Saya juga jadi bingung kalau seperti ini, jujur." Pak Abdullah menarik napas panjang, sejenak berpikir. "Kalau diadakan sayembara, gimana?"

Seisi ruangan saling tatap satu sama lain. Ada yang mengangguk, ada yang mengerutkan dahi, bahkan Refami masih memijit pelipis.

Kalo suruh berantem aja, gimana? Tapi eh, Marco pasti menang. Ketahuan dia tenaganya gede banget. Batin Refami sibuk sendiri.

"Gimana, Refami?" Umi yang sejak tadi memerhatikan mencoba ambil pendapat dengan ujung tombak cucunya.

"Sayembara kayak apaan, Umi?"

Dalam ruangan itu juga saling bertatapan, bingung kedua kalinya.

"Suruh manjat pohon salak apa semedi lama-lamaan duduk di kulit duren?" Refami dengan isi kepalanya yang hampir meletus, berbicara sekenanya.

"Ada pendapat?" tanya Pak Abdullah pada peserta diskusi.

Acara lamaran ini lebih mirip pada musyawarah RT.

Pak Darmawan mengangkat tangan, seorang bijak sepertinya pasti memiliki pendapat yang masuk akal. "Semuanya, saya sebagai orang tua dari Joel Slim ingin meminta maaf. Karena dengan kedatangan kami di sini membuat suasana menjadi rumit."

Banyak orang yang melihat tegak lurus ke arah beliau dengan takjub. Termasuk Refami.

"Namun, saya melihat Joel dan Marco memiliki kesempatan yang sama ... jadi sampai saat ini mereka memiliki hak untuk berjuang," jelasnya.

Semua orang masih menunggu kalimat selanjutnya. 

"Sudah, Pak?" tanya Pak Abdullah setelah dua menit tanpa suara.

Pak Darmawan mengangguk.

Semua orang salah menaruh harapan.

"Assalamualaikum, selamat siang semuanya," sapa ipar dari Marco, akhirnya dia membuka mulut. Nada dari cara bicaranya seperti tengah membawakan sebuah acara reality show di televisi. Konon, dia memang seseorang yang biasa berbicara di depan orang banyak.

Semua tatapan beralih memerhatikan laki-laki dengan mata bulat dan janggut panjang di area dagunya. "Bagaimana kalau mereka berdua ini, Mas Joel dan Marco, membeberkan visi misinya dalam pernikahan." Dia menjelaskan dengan semangat empat enam, melebihi empat lima.

"Atau apa pun yang mereka punya untuk membangun rumah tangga. Kemudian keluarga besar Mbak Refami ikut andil dalam memberikan voting, meski hasil akhirnya diberikan pada Refami. Bagaimana?" Lanjut ipar dari Marco tersebut.

Bu Dina memandang Pak Abdullah kemudian mengangguk pelan, diikuti keluarganya yang lain.

"Gimana Refami?" 

Gadis itu masih dengan tatapan mengenaskan tiba-tiba ditodong dengan indah.

"Oh, oke," jawabnya seperti orang kaget.

Setelah metode sayembara disetujui, Joel dan Marco berdiri berhadapan, mereka melakukan undian manual dengan adu batu, kertas, gunting seperti kebiasaan anak-anak sepanjang zaman.

"Batu kertas ... gunting!" Refami menjadi penengah di antara mereka.

Marco harus tabah karena mendapatkan giliran terakhir.

Joel maju dengan tampang menawannya.

"Siang semuanya. Di sini saya akan melamar kekasih pujaan hati untuk kedua kalinya meski sempat putus selama satu tahun kemarin." Joel memulai kalimat awal untuk presentasi.

Refami cengar-cengir tak kuat mendengar kata "pujaan hati". Sesekali dia mencuri pandang pada Marco yang tengah menikmati biskuit kering sambil menyeruput botol air mineral yang hampir habis.

Bagaimana pun penuturan mereka nanti, aku bisa memilih di antara keduanya sekarang. Batin Refami mulai menentukan arah.

"Untuk pekerjaan nanti setelah menikah, karena saya belum 100 persen pulih ..., " Semua mata melihat ke arahnya, menyoroti kalimat 'belum pulih', " ... Ehm, maksud saya masih harus kontrol ke dokter setiap dua minggu sekali. Ja-jadi saya untuk sementara bisa membuka toko sembako dan kelontong di rumah. Kebetulan di lamaran yang pertama orang tua sudah membeli rumah secara kes di daerah sekitar sini." Joel menarik napas panjang.

"Ah, tapi masalah anak." Joel berhenti melanjutkan kalimatnya.

Jantung Refami terus berdebar karena jika tidak berdebar dia sudah mengucapkan selamat tinggal pada dunia.

Joel tak melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa Mas Joel?" tanya Umi kadung penasaran dengan setengah kalimatnya lagi.

"Hm, karena saya konsumsi obat selama dua tahun, ya. Kualitas sper ... sperma saya juga tidak bagus." Joel melanjutkan kalimat dengan sedikit terbata.

"Tapi, bagi saya kebahagiaan Refami nomor satu, dengan atau tanpa anak." Pungkasnya.

***

Berkah Rambut BondolWhere stories live. Discover now