Bab 22 Jelangkung

21 7 15
                                    

Terima kasih ya, sudah setia membaca karya aku.
Selamat berakhir pekan 😍💜

Sebuah pesan baru masuk ke dalam ponsel Refami saat pukul empat pagi. Nomor tidak dikenal. Isi pesan tersebut panjang lebar dan diakhiri dengan emotikon hati merah, mengucapkan selamat ulang tahun pada Refami.

"Hah, tanggal berapa ini?" ucapnya serak seraya beringsut pelan-pelan, melata seperti cacing. Mendekati kalender. "Delapan September?" Bacanya sambil membolak-balik kertas berbahan karton.

Perempuan itu mengamati nomor tak dikenal yang bertengger di pesan teratas. Jarinya sudah berjalan di atas keypad HP, tapi tertahan. "Tidak penting!" HP berwarna putih melambung di udara, mengurungkan diri membalas pesan asing.

Saat kesadarannya benar-benar seratus persen, Refami mengambil HP itu di balik guling di dekat kaki. Mengamati pesan-pesan masuk. Mereka semua mengucapkan selamat ulang tahun.

"Tak ada dari Joel?" ucapnya miris. Dia nggak mungkin kan, hapus nomor aku? Refami terus bergumam pada diri sendiri.

Pagi baru menunjukkan pukul lima. Tapi HP Refami terus berdering. Nomor asing itu lagi.

"Jangan harap diangkat, Kisanak!" ujarnya berteriak, lalu terbahak karena merasa menang. 

"Assalamualaikum." Pintu utama terdengar diketuk kencang beberapa kali.

Refami melihat dari jendela kamarnya siapa yang datang. "Damar? Untuk apa dia ke sini subuh begini?" ucapnya kebingungan.

Refami mengendap keluar kamar, suasana di rumah itu sangat hening, kecuali Bu Dina yang tengah berperang di dapur dengan panci dan bokong wajan yang kian hari kian legam. Sedang Pak Abdullah masih di masjid, tak akan pulang sebelum pukul setengah enam.

Tangan perempuan itu lihai menarik kerudung dan kardigan di kapstok. Dia berjalan menuju pintu, memutar engsel.

"Tahu dari mana rumah aku?" Todong Refami dengan suara keras sambil menarik gagang pintu sekuat tenaga. Layaknya film yang sering dia tonton di televisi, adegan ini selalu ada ketika memaki lawan mainnya. Membuka pintu dengan keren lalu meneriaki tanpa ragu.

Namun, sudah empat kali gagang pintu ditarik, benda persegi panjang itu tak bergeser sedikit pun, tak ada kunci menggantung. Refami baru ingat, pasti kunci rumahnya itu dibawa Pak Abdullah ke masjid. 

Karena kondisi kamar Refami paling depan, Pak Abdullah dengan tanpa beban selalu menggedor jendela kamar Refami untuk akses jalan masuk ke dalam. Misalnya saat pulang jaga ronda jam dua pagi dini hari, ketika mata anak gadisnya begitu rapat dibelai buaya dalam mimpi dan sangat sulit bangun, Pak Abdullah akan melemparkan batu-batu kecil di halaman rumahnya ke ventilasi kamar putri sulungnya.

Ketika batu-batu kecil di halaman rumah sudah habis, Pak Abdullah berganti menaburkan pasir tetangga ke ventilasi itu. Terakhir, beliau naik ke kursi untuk bernyanyi lingsir wengi sambil semua wajah ditempelkan ke kaca jendela rapat-rapat. Refami yang hampir sekarat karena mengira Pak Abdullah adalah titisan lelembut gang depan, akhirnya memohon dengan sangat agar laki-laki tua itu tobat membuat dirinya depresi.

Kembali pada permasalahan Refami yang tak bisa membuka gagang pintu. Dia nekat keluar dari jendela dengan susah payah, bahkan celana tidur perempuan gila itu agak sobek di bagian bokong kanan. Terlihat jelas celana dalam itu bergambar hamtaro dengan variasi saku belakang. Bodohnya, semalam dia menuliskan segala keluhan hati di dalam saku celana dalam itu. Berharap keluh kesahnya menguap bersama kombinasi nitrogen, hidrogen, oksigen, karbon dioksida dan metana. Atau lebih beken dengan sebutan kentut.

"Aku dateng kepagian ya?" sapa Damar dengan rambut wangi--sepertinya baru selesai mandi.

Refami menampakkan wajah tak suka meski sedikit terpesona oleh ketampanan pemuda yang umurnya baru saja dua puluh empat, artinya berbeda tiga tahun di bawahnya.

"Selamat ulang tahun, Refami," teriak Damar sambil menyodorkan kado berwarna merah muda bergambarkan dinosaurus yang tengah mangap dan penuh air liur.

Refami masih terdiam sambil mengendap-ngendap menarik kardigan ke arah bokong agar celana dalamnya aman terlindungi. Jendela sialan! umpatnya dalam diam.

Tiba-tiba Damar berlutut di hadapannya, "Coba buka kado ini, semoga kamu suka, ya." Senyumnya begitu antusias meski Refami tetap menampakkan muka mistis.

Setelah menarik napas dua puluh dua kali--benar-benar Refami hitung, kado itu dibuka perlahan.

"Suka, kan?" Damar hampir berteriak karena menunggu ekspresi senang dari Refami.

Pupil mata Refami membesar, untuk beberapa menit dia terdiam. Bolak-balik melihat isi kado dan si pemberi hadiah.

"Kamu sehat, Damar?" tanya Refami merinding biasa-biasa saja.

Damar mengangguk beberapa kali. "Suka, kan?" Dia bertanya kembali.

"Buat apa kamu ngasih boneka jelangkung ke aku, hah?" tanya Refami berteriak, saking kesalnya. Hampir saja kursi depan menjadi kudapan pagi perempuan itu.

"Jangan marah." Damar mengusap sendal miliknya. "Aku bisa jelasin, kok," kilahnya lagi dengan tenang.

Damar adalah laki-laki yang baru pertama kali jatuh cinta, meski usianya sudah dua lusin. Banyak perempuan mengejar cinta pria polos ini, tapi dia tak pernah peka. Sampai hari di mana bertemu Refami, Damar jatuh cinta. Semua sosial media perempuan incarannya diteliti dengan seksama. Bertemulah dengan status facebook Refami yang berbunyi, Sepi rasanya, boneka jelangkung juga nggak apa-apa, deh!

"Aku berusaha buat kabulin apa yang kamu mau, tahu!" tukas Damar. Wajahnya berbinar seperti lampu jalanan.

Refami menggaruk kosen berkali-kali--tepatnya ingin menangis. Dia ingat betul saat update status di facebook, suasana hati kacau setelah berpisah dengan Joel. Maksudnya, tak ada lagi yang mengirimkan pesan hangat dan manis seperti dulu. Tapi, tanpa diduga laki-laki polos biadab ini benar-benar menghadiahi boneka jelangkung karena statusnya itu.

"Mi, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi, kamu jangan marah, ya?" bujuk Damar belum paham keadaan.

Refami masih sabar menghadapi laki-laki aneh di depannya sambil memasang wajah kesal.

"Aku berkali-kali nembak kamu nggak diterima, mungkin kamu maunya aku lamar langsung kali, ya?" tanya Damar malu-malu.

Napas Refami semakin kencang, mirip banteng yang siap menyerang matador.

“Damar.” Refami memanggil namanya selembut mungkin. “Makasih banyak buat semua perhatian kamu.” Perempuan itu memotong kalimatnya, "Tapi, tolong jangan lakuin ini lagi, ya. Semoga kamu bertemu perempuan yang jauh segalanya dari aku," jelas Refami pelan-pelan, berharap Damar mengerti apa maksudnya.

Wajah laki-laki itu mulai mendung, matanya berkaca-kaca seakan sedang menahan berak air.

"Gini-gini, sekarang kamu pulang aja dulu. Besok Senin kita obrolin lagi, ya?" bujuk Refami dengan senyuman mautnya.

Damar mengangguk lalu berjalan lemas menuju mobil miliknya di depan gerbang.

Tuhan itu adil. Damar padahal laki-laki tampan, mapan dan baik. Hanya pola pikirnya saja yang jauh dari kata wajar. Refami masuk ke dalam rumah lewat jendela lagi, mengurung diri di kamar, kemudian melamun panjang di hari liburnya.

Damar benar-benar menjadi hal tak terduga di hari ulang tahunnya.

Aku padahal mengharapkan pelangi, yang datang … ah, sudahlah. Batinnya.

***

Berkah Rambut BondolWhere stories live. Discover now