(3) Gelisah

23 2 2
                                    


           "Saya tidak tahu." Kapten Montreal menggeleng-geleng. "Sudah dua minggu ini kami tidak saling kontak karena saya sibuk menemani tim assessor dari Jakarta yang menangani personnel performance assessment."

"Bagaimana dengan Kapten Ryo Dewanto? Apakah Kevin juga sering mengontaknya?" tanya Diaz lagi.

"Ya, ya, lumayan sering. Tapi setelah Kapten Ryo mendapat kesempatan tugas belajar di Melbourne, frekuensi kontak mereka tidak sesering biasanya. Saya pernah menanyakan itu ke Kevin." Kapten Montreal merubah posisi duduknya dengan bersandar di kursi dan melipat kedua tangannya. "Saya kira hanya itu informasi yang saya ketahui tentang Kevin."

"Baik, Capt, terima kasih atas informasinya," kata Ars.

"Yup. Selamat bekerja." Kapten Montreal melangkah ke luar ruangan.

"Capt," panggil Ars.

Kapten Montreal berbalik."Ya?"

"Tadi komandan mengatakan kalau kemungkinan ada personil DPM yang terlibat? Any name popped up?"

"Ah, itu," Kapten Montreal tersenyum lalu kembali ke meja. "It is my hunch. Tapi saya harap tidak ada yang terlibat. Kau tahu narkoba dapat dengan mudah masuk ke setiap elemen masyarakat. Termasuk kalangan kita."

"Ah, begitu. Baiklah, Capt." Ars mengangguk-angguk." Semoga dari hasil penyelidikan nanti kita akan dapat segera mengetahui apakah ada orang dalam yang terlibat atau tidak."

"Ya. Semoga tidak ada. Oke, kerja, kerja." Kapten Montreal menepuk meja dua kali. "Oya, Diaz, kau bisa minta bantuan anak buahmu untuk mengusut kasus ini. Maksimal dua orang saja."

"Siap, Capt."

Kapten Montreal tersenyum lalu melangkah keluar.

Kini tinggal Ars dan Diaz saja berdua di ruangan itu. Seandainya itu terjadi dua tahun lalu saat mereka masih bersama, Ars tentu tidak akan keberatan sama sekali. Tapi kini situasinya sudah berbeda. Hati Ars meradang berada dalam situasi yang membuatnya merasa berada dalam perpaduan antara benci dan cinta.

Ars mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di meja untuk memecah kesunyian. Sementara itu di kursinya, Diaz juga diam. Tangannya gelisah memainkan saku jaketnya. Ini pertemuan pertama mereka setelah dua tahun berpisah. Perpisahan, sebagus apapun racikannya, tetap meninggalkan kesedihan.

Diaz memahami kesedihan dan sakit hati yang dirasakan Ars karena perpisahan mereka. Dia pun juga merasakan hal yang sama. Sebenarnya Diaz juga ingin memberi penjelasan tentang keputusan yang diambilnya dulu tapi melihat tumpukan kesedihan dan kemarahan di mata Ars, Diaz merasa penjelasan itu harus menunggu waktu.

Teringat pesan Kapten Montreal Canada untuk mengikutsertakan dua anak buahnya mengusut kasus tewasnya Kevin, Diaz mengambil ponselnya. Dia minta dua anak buahnya untuk mengirimkan foto.

"Ars, ini dua anak buahku yang akan membantu kita." Akhirnya Diaz membuka suara. "Ini Sertu Krisna dan yang ini Sertu Rudyanto." Diaz menggeser layar ponselnya setelah memberi kesempatan pada Ars untuk melihat kedua foto itu satu per satu. "Apa kau perlu nomer ponsel mereka? Jadi kalau kau memerlukan sesuatu dan kebetulan aku tidak sedang di tempat, kau dapat langsung menghubungi mereka."

"Oke. Baik. Trims, Letnan Diaz."

"Panggil nama saja, Ars, tanpa embel-embel letnan," kata Diaz lembut namun suaranya kian meruntuhkan Ars.

Sesak di hati Ars semakin ganas mendengar permintaan itu. Bagaimana mungkin dia melakukan hal yang ingin dilupakannya dalam setiap detik hidupnya meskipun itu hanya menyebut satu kata saja dari dua kata yang berbunyi Diaz Dirgantara.

"Kalau begitu mari sekarang kita mulai penyelidikannya." Ars berdiri setelah berhasil mengatasi kegugupannya. Dia menyambar tasnya lalu melangkah ke pintu. "Kalau begitu Den, setelah ini kita ke TKP lalu memeriksa rekaman CCTV. Setelahnya aku akan mencari informasi ke rumah korban. Kau pergi ke bank cari," langkah Ars tiba-tiba terhenti saat menyadari partnernya untuk kasus itu bukanlah Denial. Ars merasa saat itu wajahnya seketika panas karena malu. Setelah berhasil menguasai diri, Ars lekas berbalik dan berjalan kembali ke kursinya.

Diaz menatapnya tanpa kedip, mengamatinya. Ars tidak berubah. Tetap cantik seperti biasanya.

"Maaf, aku lupa kalau partnerku untuk kasus ini bukanlah Denial." Ars berdehem lalu duduk di kursinya. Dia bersumpah matanya baru saja melihat senyum geli di wajah Diaz. Memang hanya sekilas, tapi Ars melihatnya dan dia merasa seperti ditelanjangi. Sorot mata Diaz masih sama seperti saat mereka masih bersama dulu. Kuat namun meneduhkan.

"Well, menurutmu apa yang harus kita lakukan?" Ars membuat suaranya senormal mungkin meski dia berusaha keras menahan vibrasi pita suaranya. Jika bekerja sama dengan Denial, seringkali Ars terbiasa memberi perintah karena secara kepangkatan, posisi Ars lebih tinggi satu level dari Denial. Tapi untuk kasus ini partnernya berbeda dan mempunyai level kepangkatan yang sama sehingga lebih aman dan sopan jika dia menanyakan pendapat, bukan memberikan perintah seperti biasanya.

"Prosedural ya. Kau pasti sudah tahu apa yang harus kita lakukan terlebih dulu."

"Kalau begitu kita ke TKP lalu menanyai saksi. Untuk menghemat waktu, kita lakukan apa-apa yang dapat kita lakukan disini sebelum mencari bukti-bukti di luar. Agar kita nanti tidak bolak-balik kerjanya."

"Good idea." Diaz tersenyum lalu berdiri, menunggu Ars melakukan hal yang sama dan keluar ruangan bersama-sama. Tapi Ars sengaja memperlambat langkahnya agar tidak berjalan bersisian dengan Diaz. Bekerja dalam situasi yang juga dililit personal issue seperti itu bukanlah hal yang mudah dan membuat Ars benar-benar tidak nyaman. Tapi tuntutan tugas membuatnya tidak dapat berkelit. Ars girang seperti anak kecil diberi gula-gula saat melihat Kapten Montreal keluar dari ruangan Pak Ricky.

"Capt, mau kemana? Kami akan ke TKP."

"Ah, kebetulan. Saya juga akan kesana. Saya pikir tadi kalian sudah disana."

Kini Ars mempercepat langkahnya untuk memberikan kesempatan pada Diaz mengobrol dengan Kapten Montreal sekaligus kesempatan untuk membebaskan dirinya sendiri dari ketidaknyamanan meski hanya untuk sebentar saja. Lebih baik berjalan sendirian daripada harus berjalan bersisian dengan kenangan yang mengacaukan sistem konsentrasiku, pikir Ars.

Di balik punggungnya Ars mendengar keduanya mengobrol tentang banyak hal termasuk tentang kasus Kevin. Tapi Ars sama sekali tidak berminat bergabung. Dia ingin segera memeriksa korban dan sebisa mungkin menyelesaikan kasus ini secepatnya agar dapat terbebas dari rasa berat yang menindih hatinya. Andaikan Lettu Diaz Dirgantara adalah orang yang sangat menyebalkan dan tidak dapat bekerja dalam team work, Ars tidak akan begitu mempermasalahkannya. Tapi orang yang kini harus bekerja sama dengannya adalah orang yang tiba-tiba memutuskan ikatan dua tahun pertunangan saat rencana pernikahan sudah di depan mata. Parahnya Diaz melakukannya lewat surat setelah sekitar dua minggu menghilang tanpa kabar.

Bagi Ars tindakan Diaz itu tidak ubahnya seperti seorang pengecut. Saat itu, setelah menerima surat dari Diaz, begitu banyak pertanyaan tentang mengapa dan apakah berkeliaran di kepalanya. Mengapa berpisah? Mengapa lewat surat? Mengapa tidak bertemu langsung dan membicarakan semuanya baik-baik? Apakah ada orang lain? Apakah ada hal diantara kita yang membuatmu tidak nyaman sehingga harus membuat keputusan itu? 

Dua Kematian (Seri ke-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang