(8) Data Keuangan Kevin Anoraga

10 0 0
                                    

"Aku mendapatkan informasi kalau empat dari enam toko kimia di Malang tidak menjual racun gel UF. Sementara dua toko lainnya menyediakan racun gel UF. Aku juga sudah bertanya apakah akhir-akhir ini ada orang yang mencari zat itu tapi pihak toko bilang tidak ada riwayat pembelian zat itu akhir-akhir ini."

"Atau bisa jadi racun itu dibeli secara online, Di. Untuk menutupi jejak."

"Possibly. Aku akan minta bantuan anak-anak untuk mengecek online shop yang menjual bahan-bahan kimia."

"Baiklah kalau begitu. Keep on digging. Setelah dari bank, aku akan langsung ke bandara. Kita bertemu disana."

"Ok. Ars," di line seberang, Diaz berhenti sejenak. Ragu untuk mengatakan sesuatu yang ingin dikatakannya.

"Ya?"

"Jangan lupa makan ya," Diaz menarik napas panjang setelah mengucapkan pesan itu. Pesan yang disampaikan dengan nada penuh perhatian, sangat berbeda dari nada yang di dengarnya barusan saat mereka membahas tentang perkembangan penyelidikan.

"Yup." Ars mengiyakan pesan itu seringan mungkin meski getar di hatinya tidak dapat diabaikannya begitu saja. Saat pertunangan mereka berakhir, Ars butuh waktu yang menurutnya terbilang lama untuk membiasakan diri bahwa tidak ada pesan-pesan singkat lagi untuknya, meskipun hanya sekedar mengingatkan untuk tidak lupa makan atau mengucapkan selamat tidur.

Ars menggoyang-goyangkan kepalanya, mengusir aura kenangan yang mulai menyeruak. Fokus, Ars, fokus! Ars mengingatkan dirinya.

Sertu Rudyanto sudah menunggunya di kursi antrian waktu Ars mengirim pesan WA, menanyakan posisi polisi berseragam itu. Sosok jangkung Sertu Rudyanto mudah ditangkap Ars diantara himpitan antrian.

"Ada informasi apa?" Ars merapikan rambutnya dengan cara mengurainya sejenak lalu kembali mengikatnya sedikit lebih rapi.

"Belum ada, detektif. Saya sudah menanyakan data keuangan atas nama Kevin Anoraga tapi petugas bilang manajernya sedang makan siang dan saya diminta menunggu sebentar."

"Apa tidak ada orang lain yang dapat membuka file data keuangan selain manajernya?" Ars tajam menatap polisi berseragam di hadapannya. Meski tinggi badan Sertu Rudyanto menjulang, Ars dengan mudah menangkap kegugupan di mata polisi berseragam itu.

"Ada, tapi beliaunya sedang sakit."

Ars mengerang. "Apa kau sudah telepon manajernya?"

"Sudah, tapi tidak dijawab."

"Biasanya manajernya makan siang di luar atau di kafetaria bank?" Pertanyaan Ars dijawab Sertu Rudyanto dengan tatapan bingung. Ars mengerang lagi, tahu kalau Rudyanto belum menanyakan pertanyaan itu. "Lain kali kalau bertanya yang lengkap, Rud," beritahu Ars. "Bisa jadi manajer membawa bekal dari rumah sehingga dia tidak perlu keluar ruangan untuk makan siang. Kalau dia makan di kafetaria, kau dapat langsung menemuinya, merusak acara makan siang demi kepentingan tugas. Sudah berapa lama kau menunggu?"

"Sekitar lima belas menit, detektif."

Bibir Ars mengerucut. "Itu sudah terhitung lama, Rud. Ikut aku." Ars berderap menuju ke meja satpam dan meminta salah satu satpam untuk menunjukkan ruangan manajer.

"Tapi Pak Cahyo sedang makan siang, detektif." Ars tidak menggubris informasi satpam itu. Alih-alih, dia berderap menuju ruangan manajer. Satpam itu berlari-lari kecil menyusul Ars dengan wajah panik. "Beliau berpesan pada saya agar siapa pun tidak mengganggunya." Satpam itu berusaha mencegah Ars dan Sertu Rudyanto mendekati ruangan manajer.

"Dia bisa melanjutkan makan siangnya setelah urusan dengan kami selesai. Dan dia harus bersedia diganggu oleh detektif DPM. Ini ruangannya ya?" Ars melihat papan nama bertuliskan Cahyoadi Wibisono tertempel di pintu. Ars akan mengetuk pintu tapi tubuh satpam itu sigap menghalanginya dengan berdiri tepat di depan pintu layaknya seorang martir yang menerima berondongan peluru untuk menghindari jatuhnya lebih banyak korban.

Ars menghela napas panjang, menahan kesabaran. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres terjadi di dalam ruangan manajer. Dan satpam ini sepertinya mengetahui lebih banyak hal dari yang diketahui oleh satpam-satpam lain, batin Ars.

"Minggirlah atau akan kubuat hari ini hari terakhirmu bekerja disini," tegas Ars.

Satpam itu bertahan berdiri di depan pintu dengan mata tidak beralih dari Ars. Ditatap seperti itu membuat Ars merasa tertantang. Tatapan matanya kian nyalang, meminta satpam untuk menepi.

"Minggirlah," perintah Ars lagi. Nada suaranya dingin namun tegas. Sama sekali tidak menghendaki penolakan, bahkan untuk satu kata pun. Sertu Rudyanto yang tadi berdiri tiga langkah di belakang Ars kini juga bergerak maju, waspada untuk menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Satpam itu menatap Ars dan Sertu Rudyanto bergantian. Melihat gelagat yang kurang menyenangkan yang bisa jadi akan membahayakan pekerjaannya membuat satpam itu pelan-pelan bergerak menjauhi pintu. Ars segera masuk tanpa mengetuk pintu. Sementara satpam tadi hanya berdiri di ambang pintu dengan kepala menunduk.

Dua orang yang berada di ruangan itu berjingkat kaget seperti seekor kijang tertembak peluru pemburu.

Wajah Pak Cahyo yang awalnya memerah karena gairah berubah pucat pasi. Begitu pula dengan wanita yang duduk di atas mejanya. Ars yakin pias putih di wajah montok itu bukan saja karena efek make-up melainkan juga pengaruh kekagetan yang luar biasa. Tiga kancing blus bagian atas seragam OB wanita itu sudah terbebas dari lubang sehingga bra merah berenda hitam yang dikenakannya terlihat jelas. Sementara itu kemeja Pak Cahyo sepertinya sudah lama ditanggalkan.

"Maaf sudah mengganggu makan siang Anda." Ars heran melihat pemandangan di depannya. Bagaimana mungkin seseorang melampiaskan nafsunya di ruangan kantor di siang bolong seperti ini dengan seseorang yang Ars yakin bukanlah istrisi manajer itu. "Kami dari DPM dan sedang membutuhkan data keuangan salah satu nasabah Anda."

Wanita berseragam OB itu meluncur turun dari meja, cepat-cepat merapikan seragamnya lalu melangkah cepat keluar dengan kepala menunduk. Sementara itu Pak Cahyo memungut kemejanya di lantai dan mengenakannya. Matanya sama sekali tidak menatap Ars, Sertu Rudyanto, atau pun satpam yang berdiri ketakutan di depan pintu.

"Data keuangan atas nama siapa?" Pak Cahyo kembali duduk menghadap komputernya.

"Kevin Anoraga."

Ars dan Sertu Rudyanto menunggu beberapa menit untuk mendapatkan data yang diinginkan. Pak Cahyo menggeser komputernya agar Ars dapat melihat data lebih leluasa. Mata Ars bergerak cepat melihat rentetan debet dan kredit. Sepertinya tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada angka-angka pemasukan atau pengeluaran yang fantastis, batin Ars.

"Saya minta tolong agar data ini dipindah ke flash disc ini dan saya minta hard copynya sekarang juga." Ars menyerahkan sebuah flash disc.

Pak Cahyo mematuhinya tanpa berkomentar apa-apa. Sesaat kemudian diserahkannya beberapa lembar kertas yang diinginkan Ars berikut flash discnya. "Ini."

"Terima kasih, pak. Saya permisi dulu."

Pak Cahyo tidak mengatakan apapun. Tapi setelah Arsmenutup pintu dan berjalan beberapa langkah dari ruangan itu bersama denganSertu Rudyanto, telinganya mendengar kata umpatan "bodoh kamu." Arstahu kepada siapa umpatan itu ditujukan.

Dua Kematian (Seri ke-1)Where stories live. Discover now