(5) Mulai Interogasi

8 0 0
                                    

"Saya sempat membuat kopi di ruang itu." Arman menunjuk sebuah ruang kecil di belakangnya. "Kemungkinan kejadian itu terjadi saat saya membuat kopi."

Ars dan Diaz bersamaan melenguh gemas. Tapi keduanya juga sangat memaklumi beratnya bekerja sebagai seorang operator CCTV yang harus memusatkan perhatian pada monitor selama berjam-jam. Benar-benar pekerjaan yang sangat menuntut kinerja otak karena operator CCTV memang harus mempunyai tingkat fokus yang tinggi untuk membedakan warna, menangkap gerakan tertentu atau mengenali suatu pola. Dan kafein adalah salah satu alternatif terbaik untuk membangkitkan otak yang loyo.

"Setelah hari ini, siapkan apapun yang menjadi mood booster Anda di dekat meja. Jangan meninggalkan meja dengan alasan apapun kecuali untuk ke kamar mandi. Kalaupun Anda harus meninggalkan meja, pastikan ada orang yang mengawasi layar yang akan Anda tinggalkan." Ars mengucapkan kalimat itu tegas, nyaris tanpa jeda. Setelahnya dia menatap Arman untuk memastikan apakah orang yang bersangkutan memahami perintahnya.

"Bagus," Ars menepuk punggung Arman dua kali setelah melihat operator CCTV itu mengangguk.

"Baiklah Arman, beri saya salinan rekaman CCTV ini sekarang juga." Diaz berpaling ke Doni. "Don, apa saksi sudah dihubungi?"

"Sudah, Letnan. Saya baru saja meneleponnya dan memintanya menunggu di perpustakaan."

"Baik, bagus, terima kasih," Diaz melangkah keluar disusul oleh Ars dan Doni.

"Di," Ars memotong langkah Diaz di depan pintu. "Bagaimana kalau kau menangani rekaman CCTV itu agar kita dapat segera mengetahui wajah pelakunya. Aku yang akan menangani saksi," usul Ars.

"Oke, no problem," Diaz mengacungkan jempolnya. "Kalau urusan CCTV sudah selesai, aku akan menyusul ke perpustakaan."

"Oke, baik."

"Detektifnya cantik ya," kata operator yang duduk di samping Arman ketika Doni, Ars dan Diaz keluar dari ruangan kontrol CCTV. Ars dapat mendengarnya karena saat itu pintu ruangan masih belum menutup sempurna.

"Kalau detektifnya cantiknya seperti itu, saya mau jadi penjahatnya," timpal Arman lalu terkekeh-kekeh.

Ars tersenyum masam mendengarnya. Dia kurang suka dengan anggapan bahwa wanita hanyalah sebagai ornamen kehidupan yang hanya dipandang dari segi kecantikan wajah dan fisik tanpa mempertimbangkan kemampuan lain yang membuat makhluk yang jumlah hormon estrogen dan progesteronnya lebih banyak dibanding kaum pria itu mampu melakukan sesuatu yang menakjubkan. Bahkan seringkali hasil prestasi mereka lebih kemilau dibanding kaum pria.

Seandainya punya banyak waktu, dia akan kembali masuk ke ruangan kontrol dan mengatakan bahwa semua detektif DPM berwajah cantik, terlepas dari kacamata siapa pun yang memandangnya. Dan yang lebih utama keandalan mereka menangkap penjahat tidak perlu diragukan lagi. Tapi Ars tahu dia tidak punya banyak waktu. Dia harus secepatnya mengupas kasus itu agar dapat segera kembali ke habitat aslinya di DPM dan terlepas dari masa lalu yang kini berdiri tegak di hadapannya.

Di perpustakaan, Syaiful sedang duduk, sibuk dengan ponselnya saat Ars masuk ke ruangan. Dia buru-buru memasukkan ponselnya ke saku celananya lalu berdiri. Tapi Ars memintanya duduk kembali.

"Syaiful, saya Detektif Ars Zhen dari DPM. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan kasus kematian seseorang tadi pagi." Ars duduk di kursi di hadapan Syaiful.

"Baik, detektif."

"Oke, silahkan Anda menceritakan mulai dari awal Anda bekerja pada hari ini." Ars mengeluarkan buku catatan dan pulpennya dari dalam tas lalu matanya tajam menatap pria berkumis tebal itu. Rupanya tatapan tajam Ars membuat Syaiful gugup sehingga Ars melunakkan tatapannya.

Dua Kematian (Seri ke-1)Where stories live. Discover now