(6) Keterangan Syaiful

8 0 0
                                    

  "Lem?" tanya Ars, membantu Syaiful mengingat benda yang dimaksud.

"Bukan," Syaiful menggeleng. "Ah, seperti gel rambut," Syaiful menjentikkan jarinya. Matanya berbinar-binar.

Ars mencatat semua keterangan Syaiful di buku catatannya. "Apa yang Anda lakukan setelah itu?"

"Saya panik dan takut. Lalu saya lari, lapor ke sekuriti. Kemudian sekuriti menghubungi pihak manajemen. Hanya itu yang saya tahu karena setelah itu semuanya diurus oleh manajemen."

"Baiklah, Syaiful, terima kasih atas keterangannya. Nanti kalau kami butuh informasi lagi, kami akan memanggil Anda kembali."

"Baik, detektif, sama-sama."

Ars berdiri dan menjabat tangan Syaiful. Saat itulah Ars mendengar ketukan di pintu.

"Biar saya yang membukakan, detektif." Syaiful bergerak ke pintu dan membukanya.

"Pak." Syaiful tersenyum pada sosok yang berdiri di ambang pintu lalu menoleh ke Ars. "Saya sudah boleh keluar detektif?" tanyanya.

"Oh, ya, silahkan."

Sedetik setelah Syaiful keluar, Diaz masuk dengan menenteng laptop. "Ada informasi apa?"

"Masih belum menemukan apa-apa. Aku juga masih harus menanyai partner saksi untuk mengecek alibinya. Aku sudah minta Sertu Krisna untuk menanyai partner saksi. Apa kamu menemukan sesuatu di rekaman CCTV?"

Diaz menggeleng. "Nothing. DKB sudah mencoba dari berbagai angle untuk mengetahui wajah pelaku tapi tidak ada hasil," kata Diaz seraya duduk. "Tapi aku mendapatkan informasi dari anak-anak. Mereka kuminta mencari nama Kevin Anoraga di daftar manifest penumpang tapi mereka tidak menemukan nama Kevin di maskapai manapun di sini."

Ars duduk seraya mendengus. Diketuk-ketukkannya jemarinya ke atas meja. Tatapan matanya mengisyaratkan kalau dia sedang berpikir.

"Kalau namanya tidak ada dalam daftar manifest penumpang, itu berarti dia tidak berencana pergi kemana-mana. Lalu mengapa Kevin ada di bandara pagi-pagi sekali?"

"Bagaimana kalau kita ke rumah sakit sekarang? Siapa tahu kita menemukan petunjuk disana?" usul Diaz.

"Ya, ok."

"Naik mobilku atau Si Hiu?"

Ars terkejut saat Diaz masih ingat nama panggilan untuk mobil Mitsubishi Galantnya. Apa dia juga masih mengingat banyak hal tentangku sama seperti aku mengingat banyak hal tentangnya, batin Ars resah.

"Kita naik mobil sendiri-sendiri saja agar lebih cepat mencari informasi-informasi. Tidak perlu saling menunggu," kata Ars lalu berlalu. Namun langkahnya tertahan saat Diaz mencekal lengannya. Gerakannya tangkas namun lembut. Nafas Ars seketika seperti tercabut dari rongga dadanya.

"Ars, am sorry. I know that I hurt you so much. Am sorry."

Ars merasa wajahnya panas. Dia berusaha sedemikian rupa untuk meminimalkan gerakan menelan ludah untuk mengatasi rasa gugupnya. Ars terkejut karena ternyata pori-pori kulitnya masih peka dengan sentuhan yang dirindukannya dua tahun lalu dan waktu-waktu sesudahnya. Setelah berpisah dengan Diaz, dia tidak dekat atau berusaha dekat dengan laki-laki manapun kecuali rekan-rekan detektifnya. Beberapa temannya, termasuk Ralline, pernah berusaha mengenalkannya pada beberapa orang laki-laki tapi hati Ars seperti membeku.

"Diaz, Let's work and close this case ASAP," katanya lalu menarik tangannya dari cengkeraman Diaz dan melangkah lebar keluar ruangan. Seraya melangkah menuju mobilnya, dikepalnya kedua tangannya untuk menahan sensasi ketidaknyamanan yang melilit tubuhnya dan air mata yang mendesak tumpah. Tapi Ars sangat menahan diri untuk tidak menangis agar matanya tidak bengkak. Dia tidak ingin mengundang spekulasi staf-staf rumah sakit, terutama Instalasi Forensik, setelah melihat bengkak matanya. Terlebih saat mereka tahu kedatangannya bersama dengan Lettu Diaz Dirgantara. Dua tahun lalu, personil DPM baik itu polisi berseragam atau detektif dan juga personil Rumah Sakit Seroja yang nota bene berada di bawah naungan DPM, mengetahui hubungan Ars dan Diaz. Seakan-akan di dada masing-masing, selain lencana polisi dan detektif, sudah tersemat tanda Not for Public. Dan ketika hubungan keduanya berakhir, betapapun rapatnya Ars menyembunyikannya, semua orang pun akhirnya tahu.

Saat berada di dalam kabin mobilnya, Ars mendapatkan ruang dan kesempatan untuk menenangkan diri. Dipuaskannya dirinya untuk berulang kali inhale dan exhale agar dadanya terasa lapang. Setelah merasa tenang, Ars menyalakan Si Hiu dan memacunya menuju Rumah Sakit Seroja. Sepanjang perjalanan menuju Seroja, pikiran Ars terbelah dua. Memikirkan keberadaan Kevin di bandara dan kehadiran Diaz Dirgantara. Tetapi porsi memikirkan kehadiran Diaz jauh lebih besar daripada memikirkan keberadaan Kevin.

Ars sangat terkejut ketika melihat Diaz di ruang Direktur Bidang Cargo tadi. Setelah memutuskan ikatan pertunangan, Diaz seperti hilang ke alam lain. Bahkan saudara dan teman-teman dekatnya pun tidak mengetahui keberadaannya. Ars tidak tahu apakah mereka benar-benar tidak tahu ataukah menutupi keberadaan Diaz. Tapi selama waktu pencarian, Ars tidak menemukan jejak pria itu. Karenanya pagi tadi saat melihat Diaz Dirgantara ada di ruangan Pak Ricky Bhaskoro, Ars seperti merasa ada yang salah dengan kemampuan penglihatannya. Apakah benar orang yang berdiri di hadapannya saat itu adalah orang yang dicarinya selama ini. Kehadiran Diaz yang begitu tiba-tiba mengingatkan Ars pada mainan Jack in the box yang tiba-tiba muncul saat kotak dibuka, membuat siapapun yang membukanya akan memekik kaget.

Ars dan Diaz bertemu di parkiran lalu berjalan bersama-sama menuju ke instalasi forensik. Ars mengabaikan beberapa tatapan mata yang memandangnya. Dia tahu arti pandangan itu. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit tadi Ars juga sudah menduga akan menerima tatapan seperti yang dilihatnya sekarang.

Ralline sedang berada di lobi, berbicara dengan staf front office saat Ars tiba. Awalnya Ralline tidak tahu dengan siapa Ars berjalan saat itu karena posisi berdirinya membelakangi Ars. Tapi karena petugas yang sedang berbicara dengannya memandang kedatangan Ars dengan tatapan melongo mau tidak mau Ralline menoleh ke belakang dan dia terperangah dengan yang dilihatnya. Ars juga sudah memperkirakan reaksi Ralline meski perkiraannya tidak sepenuhnya sama persis, tapi Ars melihat Ralline tidak dapat menyembunyikan kekagetannya saat melihatnya masuk ke Instalasi Forensik bersama dengan Diaz.

"Diaz, apa kabar?" Ralline seketika berdiri dengan bola matanya menari-nari menatap Ars. Ars melihat bola mata itu seakan-akan berbicara "kok bisa datang kemari dengan Diaz?"

Ars hanya merespon dengan mengedikkan bahunya saja.

"Baik, Lin. How are you?"

"Single and fine," canda Ralline.

"Lin, sudah mengobrol dengan Kevin?" tanya Ars sembari melangkah ke kamar autopsi, tanpa sama sekali berminat bergabung dengan Ralline dan Diaz.

"Oh, sudah, sudah," Ralline buru-buru mengikuti Ars dan diikuti oleh Diaz.

"Beberapa bagian tubuhnya memang lebam-lebam, tapi bukan itu penyebab kematiannya," Ralline mengeluarkan jasad Kevin Anoraga dari peti es. Ars melihat jahitan bekas autopsinya masih segar.

"Ini bagian yang lebam-lebam," Ralline menunjuk pelipis, lengan, rusuk, dan siku korban. "Sepertinya sempat terjadi adu fisik antara korban dan pelaku."

"Yah, TKPnya lumayan rusak," tukas Ars. "Mengapa bagian mulutnya merah?" tanya Ars.

"Dan tadi kau juga mengatakan kalau penyebab kematiannya bukan karena lebam-lebam ini, Lin," Diaz membungkuk untuk mengamati jasad Kevin. "Jadi apa penyebab kematiannya?"

Dua Kematian (Seri ke-1)Where stories live. Discover now