11. Rasa bersalah

1.3K 312 24
                                    

Mari budayakan meninggalkan jejak!
Tolong vote+komen🤗

***

Kebisuan menyelimuti pria paruh baya dan anak perempuan keduanya sejak lima belas menit yang lalu. Gendis sendiri sudah pasrah. Ia memang pantas dimarahi. Gendis sedari tadi berpikir jika ini adalah sebuah karma untuknya. Mungkin karena Gendis memiliki banyak kesalahan pada kedua orangtuanya. Terlebih pada ayahnya.

Matanya memejam ketika derap langkah kaki sang ayah terdengar mendekat. Lelaki paruh baya itu duduk di sebelahnya. Dan detik berikutnya, Gendis mematung.

"Maaf, maafin Ayah." bisik Haribawa sembari mendekap Gendis dengan seluruh kehangatan yang beliau miliki.

Gendis mengerjap. Mengapa ayahnya meminta maaf?

"A-ayah? K-kenapa minta ... maaf?" tanyanya dengan suara serak dan lirih.

"Maafin Ayah karena nggak bisa menjaga kamu dengan baik. Maafkan Ayah karena nggak bisa melindungi kamu dari laki-laki yang tidak benar. Maaf ya Gendis, Ayah minta maaf."

Tangisan Gendis semakin pecah. "A ... ayah ... hiks ayah ...."

"Menangis yang keras, tidak apa-apa. Selagi itu membuat anak Ayah lega. Teruskan Nak," Haribawa mengelus kepalanya dengan lembut. Tanpa Gendis ketahui, sang ayah turut menitikkan airmata.

"Aku ... aku minta maaf ya Yah, aku ... aku pasti ngecewain Ayah. Aku ... aku nggak bisa jaga diriku. Aku bodoh karena cinta sama cowok bajingan. Maafin Gendis karena selama ini selalu melanggar perintah Ayah hiks ..." bisik Gendis dengan pilu.

"Ayah nggak kecewa sama kamu. Yang penting kamu baik-baik aja. Anak Ayah wajib merasa bahagia. Karena kamu pantas mendapatkannya."

"Duit aku ... tabungan nikah aku ... maaf Yah ...."

Haribawa menghembuskan nafas berat. Menguraikan pelukan. "Boleh nggak kalau Ayah meminta bantuan seseorang untuk masalah ini?"

Gendis yang paham langsung menggeleng keras. "Jangan." cegahnya. "Aku tau Ayah nggak suka make kekuasaan buat hal yang nggak penting sejak dulu. Apalagi Ayah sudah pensiun, jangan."

"Masalah kamu penting, Gendis."

"Yah, menurut aku dia tuh udah merencanakan ini dari lama. Pasti matang banget persiapannya. Waktu tadi aku baca suratnya, rasanya aku mau kejar dia bahkan sampe kutub utara sekalipun. Tapi sekarang aku mikir kebalikannya. Aku nggak mau ngejar cowok brengsek meski untuk meminta pertanggungjawaban. Waktuku nggak worth buat dia. Nggak lagi," jelasnya.

"Terus uang kamu bagaimana?"

Gendis menangis lagi. "Ya gimana lagi ... memang bukan rezeki ku berarti." Ia tersenyum kecut. "Nggak papa, uang bisa dicari lagi hehe." lanjutnya dengan senyuman paksa.

Tentu saja Gendis tidak ikhlas. Tabungan itu terkumpul dari kerja kerasnya setiap hari. Tapi demi menyenangkan hati sang ayah, ia harus berbicara sebaliknya. Gendis tidak mau ayahnya harus turun tangan dan melakukan hal-hal yang beliau tak sukai sejak dulu.

***

Nada menyipit ketika melihat ada sepotong sandwich yang terbungkus dengan plastik di atas mejanya. Seingatnya ia tak membeli ataupun membawanya. Kenapa bisa ada di atas mejanya? Nada celingukan. Ruang guru tak seramai itu. Hanya ada tiga guru termasuk Nada di sana. Ah masa bodohlah, Nada memilih duduk dan membereskan mejanya sebelum pulang.

"Kok nggak dimakan?"

"Astagfirullah!"

Reihan tersenyum geli. "Kaget lagi?"

House of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang