Episode 5

175 24 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Dekati dulu Tuhannya, baru hamba-Nya."

-Geandra-

...

Gema azan dari masjid pesantren baru saja berkumandang. Lirih takbir seakan memanggil seluruh santri untuk segera bergegas menunaikan kewajibannya. Yang masih tidur lantas dibangunkan, yang masih mengobrol segera diingatkan. Sampai semuanya benar-benar berangkat ke masjid. Begitulah pemandangan yang biasa terlihat setiap kali memasuki waktu sholat.

Kemudian, seusai menjalankan ibadah, para santri tidak langsung turun masjid. Biasanya, mereka akan mendengar kajian dari ustad atau mengulang hafalannya sampai waktu Magrib tiba. Bagi santri yang masih mempunyai kegiatan yang tidak bisa ditinggal, bisa diberi izin untuk turun lebih dahulu setelah mengikuti kajian rutinan.

Berhubung, hari ini ustad yang bersangkutan tidak bisa hadir, maka seluruh santri membubarkan diri setelah hampir satu jam membaca Al-Qur'an. Masjid yang menjadi pusat kajian Al-Qur'an dan beberapa kitab itu terletak di tengah-tengah pesantren. Di bagian timur langsung menghadap ke asrama putri, kelas tahfidz, kantin pesantren dan apotek. Sedangkan di bagian selatan, menghubungkan antara masjid dan asrama putra, sekolah diniyyah, dan lapangan bola. Untuk ruang kelas baik MTs maupun MA terletak di arah barat masjid.

Meskipun bangunannya belum terlalu besar, namun pesantren yang dipimpin oleh Kiyai Zaenuddin itu bisa terbilang cukup modern. Terlihat dari gaya bangunan yang sama dengan pesantren modern pada umumnya. Selain itu, kurikulum yang digunakan juga sudah setara dengan Islamic Boarding School lainnya yang memadukan antara pengetahuan agama dan sains. Itulah sebabnya, setiap tahun santrinya bertambah banyak dan berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia sampai luar negeri.

"Ning, itu ada apaan, ya, rame-rame?" bisik Wirda ketika mereka baru keluar dari halaman masjid. Yang ditanya pun melihat hal yang sama, lalu mengendikkan bahunya tidak tahu. "Kita lihat, yuk!"

Qibty yang niatnya ingin menaruh mukena dan mushafnya di ndalem malah harus ikut Wirda yang semena-mena menarik lengannya ke tempat orang-orang berkerumun itu.

Sesampainya di sana, Wirda berjinjit agar bisa melihat objek yang dilihat orang-orang di sana. Sedangkan Qibty sama sekali tidak melakukan apa-apa, karena dia tidak berminat dengan hal-hal seperti ini. Namun, rasa penasaran mulai menggelayuti pikirannya saat mendengar bisikan-bisikan orang di depannya.

"Subhanallah, yang pake kacamata hitam ganteng banget," gurau santri yang berhijab coklat.

"Mau satu kayak gitu, ya Allah," timpal yang lain.

"La haula wala quwwata illa billahi. Mereka manusia apa pangeran, sih? Ganteng banget." Kini giliran Wirda yang bersuara.

"Lihat siapa sih, Wir?"

Tanpa mengalihkan pandangan, Wirda menarik lengan sahabatnya agar mendekat. "Itu, lho, Ning. Cowok-cowok di depan rumah Abah," jelas Wirda. Abah adalah panggilan santriwati kepada Kiyai Zaen selaku pemimpin pesantren itu.

Qibty mencoba untuk memfokuskan pandangannya. Keningnya bergelombang ketika melihat seseorang yang sangat familiar di kepala. Tak ingin salah duga, gadis itu sampai memicingkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. "Cowok itu lagi?"

***

Suasana di ruangan bernuansa hijau muda itu terasa damai. Di sekitar temboknya dipenuhi oleh lukisan kaligrafi beragam bentuk dan model tulisan, semakin menambah kenyamanan mata ketika memandangnya. Di atas meja sudah tersaji beraneka ragam makanan dan minuman yang disuguhkan oleh khadam pesantren untuk para tamu yang datang berkunjung waktu itu.

GEANDRA  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang