Episode 3

208 31 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Segala bentuk niat baik, pasti akan berujung kebaikan. Bahkan menolong hewan kecil sekali pun, Allah sudah menuliskan pahala di dalamnya."

-Geandra-

...

“Ning Qibty!”

Panggilan itu membuat langkahnya terhenti. Pemilik nama lengkap Syafira Qibty Firdaus itu menoleh. Kedua alis tebalnya terangkat setelah melihat seseorang yang berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa.

“Ada apa, Wir?” tanya Qibty dengan tatapan heran.

Gadis yang hampir sampai di depannya tidak langsung menjawab. Ia masih mengatur deru napasnya yang tidak karuan akibat berlari terlalu jauh tadi. Ujung mukena pinknya ia gunakan untuk mengusap peluh yang masih tersisa di kening.

“Kamu habis darimana? Olahraga?” tanya Qibty.

Lawan bicaranya menggeleng. Ia lantas menegakkan tubuhnya yang sempat membungkuk karena kelelahan. “Masa saya olahraga mukenahan, Ning,” balasnya.

“Terus?”

“Habis ngejar maling sama Ustad dan santriwati yang lain.”

Qibty menaikkan alisnya sebelah, “Maling? Mana ada maling pagi-pagi, Wir?” timpalnya hendak melanjutkan langkah. Wirda yang masih merasa capek ikut mensejajarkan langkah.

“Beneran, Ning. Saya dan santriwati lainnya juga lihat kok. Kepalanya tiba-tiba nongol di jendela. Untung waktu kita habis Dhuha’an, coba kalau habis mandi? Bisa berabe urusannya,” cerita Wirda panjang lebar. “Memangnya Ning Qibty nggak tahu?”

Qibty menghendikkan bahunya, lalu menggeleng pelan. Ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu, padahal dia sendiri yang bertemu langsung dengan sosok yang menjadi dalang dibalik kehebohan yang terjadi di asrama hari ini. Qibty tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Sudah cukup makhluk Allah satu itu membuatnya kesulitan tadi.

“Serius tidak tahu, Ning?”

Sosok yang ditanya langsung menggeleng. “Padahal heboh banget tadi. Malah saya kira sampean yang nemuin malingnya, eh ternyata Ning sendiri juga tidak tahu,” desah Wirda memperbaiki ujung mukenanya.

Tidak ingin membuat teman sekelasnya curiga lebih jauh, Qibty mencari alasan untuk pergi dari sana.“Ya udah, Wir, aku ke ndalem dulu, ya. Nanti ketemu di halaqah,” ujar Qibty hendak berjalan ke lain arah seraya melambaikan tangan.

Meskipun ia putri bungsu kyai di pesantren itu, tapi ia masih sering mengikuti agenda-agenda yang ada di sana. Termasuk halaqah bersama santriwati yang lainnya. Selain membantu sang ummah mengurusi pondok pesantren, ia juga memilih untuk bersekolah di sana.

“Eh, mau kemana, Ning?”

“Ke pasar sama Ning Hana.”

Wirda tidak bersuara lagi setelah bayangan teman Ning-nya menghilang dibalik bangunan asrama. Gadis itu pun melanjutkan langkah ke kamar karena harus mengikuti kajian siang nanti.

***

Terik matahari kala itu terasa sangat menyengat menembus kulit. Ditambah dengan asap kendaraan serta bau dari berbagai macam daging dan ikan yang berjejeran di sepanjang jalan, membuat suasananya makin sumuk dan pengap. Apalagi kalau memakai pakaian yang serba panjang dan lebar, tidak terbayang bagaimana gerahnya.

Namun, semua itu tidak berpengaruh pada gadis yang tengah sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam plastik. Menjajal aneka buah dan sayuran dari satu penjual ke penjual yang lain.

GEANDRA  [TERBIT]Where stories live. Discover now