Episode 6

160 27 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Bukan santri teladan, tapi gue masih usaha agar jadi sebaik-baik pemuda akhir zaman."

-Geandra-

...

Nabastala kala itu masih menampakkan sinar jingganya. Arakan awan putih bersih pun ikut memberikan warna hingga terlihat lebih indah. Sapuan angin sore juga terasa sedikit lebih dingin daripada puluhan menit yang lalu. Mungkin karena sebentar lagi akan memasuki waktu Magrib.

Berhubungan dengan itu, dua pemuda beda usia itu tengah melambatkan jalannya ketika sampai gerbang asrama putra.

Hampir satu jam mereka mengitari area pesantren dan kini saatnya untuk kembali melakukan rutinitas santri sebelum adzan berkumandang. Selain menjelaskan tempat-tempat yang ada di pesantren, Hisyam juga menjelaskan kegiatan apa saja yang wajib dilakukan para santri selama tinggal di pesantren. Mulai dari sholat fardlu berjamaah, mengaji kitab setiap habis subuh dan malam setelah sholat Isya, dan beragam kegiatan lainnya.

Tidak lupa, pemuda itu juga menjelaskan aturan-aturan apa saja yang harus ditaati serta hukuman yang akan diberikan jika melanggar.
Mendengar rentetan aturan, hukuman, serta kewajiban yang harus ia jalani di pesantren, membuat Gean menelan saliva sekuat tenaga.

Dalam hati, ia meragukan keyakinan dan kemampuannya untuk bisa bertahan di tempat ini. Mengingat dirinya yang terbiasa keluar malam bertemu dengan teman-temannya, bermain game sampai kadang lupa waktu, dan bisa dibilang ia hampir lupa caranya membaca Al-Qur’an sangking jarangnya ia membaca kitab suci itu di rumah. Ya, meskipun tidak sepenuhnya lupa, Gean hanya kurang bisa membedakan panjang pendeknya.

Ketika semangatnya mulai kendor, ia kembali teringat tujuan awalnya datang ke sini. Rela berpisah dengan mamanya ditengah kondisi sang mama yang membutuhkan pelukannya. Gean harus bertahan, bagaimanapun konsekuensinya. Ia harus menggunakan kecerdasannya semaksimal mungkin untuk bisa membagi waktu antara pesantren dan teman-temannya. Semua pikirannya seketika hilang karena Hisyam yang menepuk bahunya.

“Eh, iya, Tadz. Gimana?”

Hisyam yang melihat Gean tersadar dari lamunannya langsung tersenyum. “Kamu sedang memikirkan apa? Saya lihat dari tadi kamu hanya diam.”

“Gue. Eh. Maksudnya, saya sedang membayangkan bagaimana caranya agar saya bisa beradaptasi dengan semua peraturan itu,” jelas Gean.

“Kamu tidak usah khawatir. Saya yakin, pelan-pelan kamu pasti bisa.” Hisyam memberi semangat. Ia pun meliarkan pandangannya sampai akhirnya terfokus pada tiga orang yang masih menggantung sarungnya di leher. “Mirza! Basuki! Hanan! Sini!”

Pemilik nama-nama itu menghentikan langkah bersamaan, lalu menoleh ke sumber suara. Begitu mengetahui siapa yang memanggil, mereka lantas memakai sarungnya. Dengan perasaan was-was, mereka berjalan ke arah Gean dan Hisyam. Kepala mereka tertunduk, mungkin takut dimarahi.

“Assalamu’alaikum, Taz,” sapa santri yang memakai koko putih.

Hisyam menyahut dengan tersenyum, “Wa’alaikumussalam. Kalian mau kemana?”

“Kami mau ke masjid, Taz,” imbuh santri yang memakai surban.

“Kalian ke masjidnya habis adzan, ya.”

Ketiganya tersentak dengan kalimat Hisyam tadi. Kompak, mereka mengerutkan keningnya berjamaah.

“Saya mau kalian ke masjidnya bareng Gean, dia santri baru di sini.” Mereka mengangguk paham.
“Oh iya, saya lupa. Gean, ini Hanan, Mirza, dan Basuki. Mereka itu satu kamar dengan kamu. Nanti kamu bisa minta tolong ke mereka. Kalau ada yang perlu ditanyakan, jangan sungkan untuk menanyakannya, ya.”

GEANDRA  [TERBIT]Where stories live. Discover now