Episode 9

145 19 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
...

Posisi mentari sudah condong ke barat ketika ia sampai depan tangga yang bertuliskan ‘Asrama Sultan Al-Fatih’ di bagian kiri tembok. Memang, setiap bangunan di asrama santri itu memakai nama para pahlawan maupun tokoh ilmuwan muslim.

Untuk tingkatan Tsanawiyah atau lantai pertama, biasanya memakai tokoh peradaban zaman Khalifah Abbasyah seperti Salahuddin Al-Ayyubi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Sedangkan untuk dirinya yang berada di lantai kedua memakai nama tokoh peradaban masa Khalifah Usmaniyah. Namun, tidak sedikit yang memakai nama para sahabat nabi seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Khalid bin Walid, Salman Al-Farizi, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan sebagainya.

Selain untuk membedakan tingkatan kelas dan usia, penamaan setiap kamar asrama itu juga memiliki makna dan doa tersendiri. Misalnya, Asrama Sultan Al-Fatih.

Pengasuh pesantren terutama kyai dan para asatidz berharap agar setiap penghuni di asrama itu bisa meneladani sikap mulia dan pemberani dari sosok sultan Al-Fatih. Sosok yang cerdas, bertakwa, serta mempunyai jiwa kepemimpinan yang luar biasa, sehingga dia mampu menaklukkan kota Konstantinopel di usia remaja.

Maka dari itu, santri diharapkan dan didoakan mampu memiliki ketakwaan dan kecerdasan intelektual seperti beliau. Begitu juga dengan nama tokoh-tokoh terkenal muslim yang lain.

Begitu tiba di depan pintu kamar, remaja yang sudah mengeluarkan seragam luarnya langsung melepas sepatu dan meletakkannya di tempat yang sudah disediakan. Ia memutar knop pintu dengan pelan, takut mengganggu penghuni di sana yang mungkin sedang beristirahat. Namun ternyata, prediksinya salah. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan posisi bantal dan sprei masih rapi, belum tersentuh sama sekali.

“Apa yang lain belum pada balik, ya?” pikir Gean ketika menaruh tasnya.

Ia yang memang merasa sedikit capek lantas merebahkan tubunya tanpa mengganti seragam terlebih dahulu. Tangan kanannya diletakkan di atas kepala dan menutupi sebagian wajahnya. Waktu Ashar tinggal dua puluh menitan lagi. Gean ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan terlelap sebentar.

Suasana di kamarnya masih hening. Meskipun sudah menutup mata dengan sempurna, tapi remaja itu belum bisa terlelap sepenuhnya. Gendang telinganya masih menangkap bunyi-bunyi dari luar ruangan. Ia berprasangka kalau santri yang bersebelahan dengan kamarnya sedang mengulang pelajaran. Atau mungkin sedang membaca dzikir-dzikir yang masih asing di telinganya.

Gean masih mencoba untuk tertidur, meski harus dipaksa. Alhasil, ia benar-benar tertidur setelah menggumamkan pelajaran yang ia pelajari di sekolah tadi. Biasanya, ia bisa tertidur dengan mudah  kalau mendengarkan musik, tapi itu tidak mungkin kalau berada di sini. Makanya, ia memilih mengingat pelajarannya tadi daripada tidak bisa tidur sama sekali.

Di tempat yang sama, Hanan dan Mirza yang baru pulang sekolah langsung masuk setelah mengucap salam. Keduanya sempat terkejut melihat Gean yang sudah tertidur pulas dengan seragam yang masih menempel di tubuhnya.

Mereka pun langsung meletakkan barang masing-masing dan berganti pakaian. Keduanya melakukan itu dengan pelan tanpa suara karena takut mengganggu tidur temannya.

“Kayaknya, si Gean kecapekan banget ya, Za. Sampai-sampai seragamnya belum diganti,” bisik Hanan. “Ane masih penasaran, apa yang membuat dia rela tinggal di pesantren? Padahal hidupnya sudah sangat enak di rumah.”

“Hush. Sudahlah, jangan dipikirkan. Kita tidak tahu isi hati manusia. Urusi saja urusanmu. Apapun tujuannya, kita doakan semoga itu untuk kebaikan dan meraih ridho ilahi.”

“Aamiin.”

“Sudah, mendingan antum periksa PR dari ustaz Wafiq kemarin. Malam ini, kan, mau dikumpulin. Biarkan dia istirahat. Nanti pas waktunya sholat, kita bangunkan.” Mirza memberikan saran. Hanan langsung mengiyakan.

GEANDRA  [TERBIT]Where stories live. Discover now