#𝟎𝟕𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐨𝐩𝐢𝐧𝐢𝐨𝐧 𝐢𝐬 𝐮𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬

532 86 12
                                    

KEDUA KAKI SUDAH MENGINJAK TANAH MATAHARI TERBIT.

Si bungsu Itoshi berjalan saat mendapati mobil familiar yang terpakir tepat di depan lobby bandara, tak membawa koper, hanya membawa diri saja. Sengaja segala perlengkapan dan baju ditinggalkan di sana.

"Bagaimana penerbanganmu Tuan?" Basa-basi seorang supir menanyakan keadaan Rin yang baru saja duduk di kursi penumpang, menopang dagu lalu menatap jalanan dengan mata kosong. "Sama seperti biasa."

Bohong.

Ada yang berbeda diperjalanannya kembali, seperti perasaan yang berkecamuk dalam hati membuat pikirannya tak bisa diam, bahkan memejamkan mata pun sulit. Meskipun tak sama dengan Paris dan Jerman, Jepang selalu memiliki ketertarikan sendiri dengan kota metropolitannya, seperti sekarang.

Gedung tinggi dengan lampu LED super silau, bahkan Rin tak betah jika terus menatap lama gedung tersebut, "apa Sae masih di jepang?"

"Iyah."

Rin mendengkus, "sampai kapan ia disini?"

"Maaf Tuan, tapi saya tidak tahu." Benar, Rin bertanya pada orang yang salah, mungkin manajernya tahu tapi jujur saja ia enggan bertanya hal tersebut. Bisa rusak harga dirinya.

"Kau tahu—tidak jadi." Supir itu hanya tersenyum kecil, "anda tidak seperti biasanya."

Lelaki tersebut hanya bergeming, tak mengindahkan. Masih memandang kota Tokyo, pikirannya tiba-tiba melayang pada malam itu, bagaimana ia masih mengingat jelas durja serta sayu tatapan wanita dalam kungkungannya.

"Jangan antarkan ke rumah utama," ujar lelaki muda itu.

"Eh? Tapi Itoshi-sama menyuruhku—"

"Aku yang akan bilang pada pria itu." Bukan tanpa alasan mengapa Rin tak pulang ke rumah utamanya, mungkin yakin seratus persen bahwa Sae akan ada di sana. Well, mau bagaimanapun pria tua itu membutuhkan si sulung. Tentu karena Sae tidak bisa lepas dari kerjaannya mengurus perusahaan, bukankah dengan ini pengawasan untuk dirinya sangat longgar?

"Baiklah, aku akan mengantarkan anda."

Masih di daerah Tokyo tepatnya, gedung tinggi yang Rin masuki adalah apartemen yang dibeli oleh uangnya sendiri, bukan berarti selain apartemen ia tak memiliki bangunan investasi hunian lainnya, karena mungkin apartemen ini paling dekat. Sementara butuh beberapa jam untuk berkendara ke Kyoto atau Osaka, dan Rin yang sekarang sudah cukup lelah karena penerbangan yang memakan waktu cukup lama.

Tatkala pintu lift terbuka, Rin terpaku, netranya melebar saat mendapati figur yang membuat pikiran berkecamuk liar, mungkin saja bisa dikatakan sebuah kebetulan. Namun menurutnya ini adalah kebetulan yang menguntungkan. Bahkan wanita itu pun tak kalah terkejutnya saat menemukan lelaki bar malam kala itu, dengan refleks hampir menekan tombol untuk membiarkan pintu tertutup dengan maksud menghindari, namun entah dari mana datangnya inisiatif lelaki tersebut menarik lengan si wanita agar masuk dalam lift.

Rin sepertinya tak tahu malu dengan posisinya saat ini, perempuan itu seperti mangsa yang linglung sebab mencari celah kabur terlihat sukar. "Hai?" Sialan, suaranya bergetar, pria di depannya ini sukses membuat dirinya mati kutu.

"Lama tidak bertemu anu...Rin?" Sudah dipojokkan, tatapan lelaki itu menambah tekanan mentalnya, satu lengan bawah Rin berada di sisi kepala wanita yang hampir menjadi  pahatan patung, sementara tangannya memegang pergelangan tangan kurus figur tersebut.

Ia tak tahu harus mengatakan apa, bahkan wanita itu pikir, ia tak akan mungkin lagi bertemu dengan pria tampan yang ditemukan pada malam saat ia gila di bar. Namun, sepertinya pupus sudah asa yang ia lantunkan pada dewa agar malunya tak lagi hinggap.

Rin membuang napas, sebelum kembali membenahi posisinya. Mungkin sadar jika barusan adalah tingkah konyol yang dilakukan seumur hidupnya, setelah melalukan sex pertama. "Lantai berapa?"

"Eh?" Wanita itu cengo, mungkin lama tak mendengar suara si pria setelah seminggu kejadian itu, atau karena terkejut dari kegugupannya. "Lantai 35."

Rin menempelkan kartu di bawah tombol lift, [Name] mengumpat dalam hati, ia berada di lantai yang sama dengan pria ini. Terbukti dengan kartu kepemilikian yang di pegang Rin, hanya itu saja akses untuk menggunakan lift bagi orang kalangan atas yang membeli apartemen di gedung ini. Tiba-tiba, ia mengingat bagaimana Rin memberikan bingkisan baju dengan brand terkenal, sekedar lupa bagaimana si pria ini sangat kaya.

Mereka keluar dari lift dengan kesunyian, tak tahu harus memulai konversasi karena pria yang terlihat dingin itu sepertinya enggan bercengkerama. Dering ponsel membuat figur si perempuan berjengit, perasaannya ia meninggalkan ponselnya di kamar, "apa?"

Dia menoleh, melihat pria itu menerima panggilan.

"Kau di mana Rin?"

"Bukan urusanmu." Rasanya tak mengenakan baginya terlihat seperti penguping, perempuan itu berbalik dengan cepat namun saat ia beranjak yang bahkan belum genap dua langkah, pergelangan tangannya ditarik. Hampir menabrak tubuh tinggi itu. "Our conversation is not over yet." Bisik lelaki tersebut tepat di samping kepalanya, sontak bergidik.

"Ayah menyuruhmu pulang." Ujar suara diseberang sana.

"Kalau aku pulang pun memangnya ada perubahan?"

Ada lenggang dari percakapan dua orang di telfon, perempuan yang berdiri di samping pria itu terlihat terus mematung,

Terdengar hela nafas dari orang seberang, "memang, untuk apa kau berada di sini jika tidak ada perubahan, setidaknya carilah hal yang membuatmu dipandang pantas, karena kau yang sekarang tidak ada apa-apanya." Ucapan dari seorang Itoshi Sae memang tak diragukan ketajamannya, tak ayal sedari dulu si bungsu selalu merasa tertinggal cukup jauh, untuk meraih punggung kakaknya saja rasanya terlalu mustahil.

Rin benci perasaan kalah ini. Ia memutuskan sambungan telpon dengan perasaan dongkol. "Aku harus pergi." Ujar wanita tersebut, namun Rin masih menahan pergelangan tangannya dengan membawa manusia ini, "kubilang, pembicaraan kita belum selesai."

"Kalau ingin bicara kita bisa bicara di taman yang ada di sini kok—" tentu saja [Name] berusaha membujuk lelaki tersebut agar mendengarnya, terlebih entah kenapa pria ini datang seperti orang yang sedang marah, jika dipikir-pikir apa salahnya?

Jemari tangan menyugar surai, kebiasaan Rin yang seperti itu memang sungguh diluar nalar tampannya, terlebih pandangan bagaimana netra hijau memandang seseorang dengan rendah bak figur tersebut hanyalah boneka tangan yang dimainkan dengan mudah. "Opinimu tak berguna, harus kuapakan perempuan sepertimu?"[]

 "Opinimu tak berguna, harus kuapakan perempuan sepertimu?"[]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝐎𝐍𝐄 𝐍𝐈𝐆𝐇𝐓 𝐒𝐓𝐀𝐍𝐃Where stories live. Discover now