2

1.2K 241 13
                                    

Semuanya terjadi seperti adegan dalam film.

Bagaimana suara sirine ambulans memekakkan telinga, dirinya yang dipapah masuk ke mobil dengan ribuan pertanyaan juga tangan yang bergerak membantunya untuk tetap sadar..

Lalu seorang Minghao, yang baru dikenalnya pagi ini.
Yang baru dilempari kata-kata menyakitkan oleh Junhui..
Berakhir menjadi korban yang hari ini dibuatnya benar-benar terluka.

Menyesal, takut, bersalah, semua berkecamuk menutupi sakit fisiknya yang entah sejak kepan sudah selesai ditangani para medis.

Kalau saja salah seorang petugas tidak menyentuh pundaknya, mungkin Jun akan lupa caranya berkedip sampai sekarang lantaran terlalu sibuk memikirkan perasaan mana yang harus ditampakkan.

"Ada kontak orang tuamu, nak?"

"Y-ya?"

"Ah, tapi kalian satu sekolah ya?
Pihak rumah sakit sudah menghubungi sekolah, sih. Tinggal tunggu kedatangan wali-"

"....."

"Hey.
It's okay. Semua ini hanya kecelakaan."

"Bagaimana kabar dia?"

"Tidak bisa dibilang baik sih, tapi-."

"Apa.. dia akan..?"

"Tidak.
Tidak akan mereka membiarkan siswa yang masa depannya masih panjang menyerah begitu saja di atas meja operasi.
Para dokter sedang berusaha memperbaiki kakinya yang retak. Luka di kepala memang ada, tapi efeknya hanya bisa dikonfirmasi setelah dia sadar, jadi..

..berdoa saja, nak."

Junhui sibuk merundukkan kepala, tangannya masih setia mencengkram celana sekolah yang tidak lagi bersih.

Ia dengar semua perkataan si petugas, namun saran untuknya berdoa..

..bagaikan luka yang ditaburi garam rasanya.

"Sebelum kejadian.. aku sempat berharap dia mati karena dirasa sudah menghancurkan hariku."

"...."

"Kalau sudah begini, bukankah justru aku yang sudah menghancurkan hari-harinya ke depan?"

Belum sempat kalimat penenang terucap, petugas tersebut merapatkan kembali mulutnya. Membiarkan Jun kini berdiri, gantian dia yang mencengkram sisi lengan pria berseragam tersebut dengan mata memerah yang sepertinya, sedang mencoba menahan air mata keluar.

"Paman.
Aku orang jahat.
Kalau kau mau penjarakan orang, aku saja.
Aku sudah menyakiti perasaannya, fisiknya, aku-
Aku bersalah.

Padahal dia hanya melakukan yang terbaik, padahal dia hanya meminta hal kecil, tapi aku-"

"Hey, tenang.
Tenang dulu, okay?"

"Bagaimana aku bisa tenang setelah melihatnya terkapar karena berusaha menyelamatkanku?!

Aku yang brengsek, tapi kenapa sekarang dia yang terancam menghadap Tuhan?!"

Sungguh, Junhui bukan sosok yang religius.

Kenakalannya memang tak terhitung bahkan dosanya mungkin sudah menggunung.

Namun memikirkan bahwa seseorang terancam mati karenanya.. menjadikan dia sebagai seorang pembunuh... demi apapun, ia tidak mau dosa besar tersebut menghantuinya sampai kapanpun.

"Wen Junhui?"

Panggilan nan lembut, ia hafal tentu siapa pemilik suara tersebut.
Wali kelasnya datang. Bersama dua orang yang entah siapa, ia belum sempat mengenali karena terlanjur dipeluk oleh wanita paruh baya tersebut.

Ah. Ternyata gesture ini.. cukup membuatnya sedikit tenang.

"Maaf Ibu tidak bisa membawa orang tuamu.
Nanti Ibu antar ke rumah setelah perawatan dan obatmu selesai."

"..guru."

"Y-ya?"

"Aku mau di sini sampai Minghao sadar."

"Ah, kau tidak perlu.
Lagi pula, ada orang tua siswa Minghao di sini."

Setelah wanita tersebut bergeser sedikit, barulah Jun tau mana orang tua yang dimaksud.

Wanita cantik yang punggungnya berusaha tegar, berdiri di samping wali kelas Minghao dengan senyum hangat menyapa tatapan Jun yang refleks menjatuhkan lutut.

Tentu saja ketiga wanita dewasa di sana kaget.

Namun setelah mendengar racauan permintaan maaf Jun yang kurang lebih sama seperti apa yang dia keluhkan pada petugas tadi.. kini semuanya maklum.

Bahkan orang tua Minghao menyempatkan diri untuk membantu Jun berdiri. Menanyai kabarnya, sebab.. ia yakin kaki Jun tidak seharusnya digunakan untu berlutut dengan luka-luka yang terlihat.

"Hey, berhenti menyalahkan diri sendiri."

"Bukankah harusnya semua orang yang berhenti menganggap ini sebagai kecelakaan? Ini murni kebodohanku, aku-"

"Supir truknya mengemudi di atas kecepatan rata-rata, anakku terlalu sembrono dalam bertingkah. Walaupun.. aku sedikit memuji refleksnya, tapi ya tidak bisa dibenarkan.

See? Ini kecelakaan. Semuanya tidak disengaja."

"....."

"Juga, aku mau berterima kasih sebenarnya."

"Ne?"

"Minghao terlalu memilih soal teman.
Ia tidak pernah mengenalkan satu pun temannya sejak masuk sekolah. Tapi belakangan ini, dia sering menyebutmu."

Huh? Bukankah mereka belum 24 jam saling kenal?

Apa maksudnya 'belakangan ini'?

"Jadi ku rasa, kau adalah teman terdekatnya iya kan?"

Kalian tau, apa kata orang bijak jika berada dalam posisi Jun saat ini?

Bilamana kejujuranmu tidak bisa menolong sama sekali.. maka kebohongan mungkin bisa menolongmu satu kali.

"Ya.
Aku.. temannya."

Jujur, kalimat kecil ini berhasil membuat Junhui sedikit lupa dengan dosa yang menghantuinya.

Mungkin.. kalau kebohongannya agak diperbesar lagi.. beban dalam hati ini benar akan bisa tertolong.

"Sebenarnya.. selain teman, aku juga kekasih Minghao."

Waw.

Nyatanya, satu kalimat tadi berhasil membuat Jun merasa tidak terlalu bersalah soal kejadian ini.

Anggaplah itu adalah sugestinya sendiri untuk memaafkan diri sendiri.

Tapi asal kalian tau, meskipun saat ini kalimat tersebut terhitung sebagai kebohongan..

..demi apapun, akan Jun buat sebagai kenyataan nanti.

'toh, bermain peran sebagai kekasih.. aku kan jagonya.'

-tbc-

I Dislike My Boyfriend [JunHao BxB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang