Satu

706 46 2
                                    

Taeyong mengerjapkan matanya malas, pandangannya kembali terpusat pada layar televisi. Barisan nama-nama di akhir film mulai bergulir.

"Astaga," gumamnya. "Sudah selesai?"

Ada suara tawa yang familier datang dari arah atas. "Sudah selesai," ujar Jaehyun, jemarinya menyugar rambut Taeyong. Sebuah pertunjukan afeksi yang langka.

Taeyong mengerang dan berguling, meregangkan tungkainya yang kaku akibat posisi tidurnya yang tidak biasa. Ia meringkuk bagai kucing, kepalanya di pangkuan Jaehyun dan kaki jenjangnya ditekuk di bawah dagu agar tubuhnya muat di sofa kecil milik dorm ini.

"Maaf," katanya, matanya berkedip ke arah Jaehyun. "Aku tidak tahu kapan aku tertidur."

"Tidak apa-apa, Hyung, kau pasti lelah," jawab Jaehyun. "Maksudku, tadi kau sampai mendengkur, liurmu menetes, dan apalah itu."

"Sial," kata Taeyong, tangannya bergerak naik, meraba bibirnya untuk mencari jejak liur, tetapi tidak ada. "Kau bohong!" gerutunya sebal.

"Kena kau."

"Berisik."

"Hei, tapi sungguh, kau tersenyum dalam tidurmu tadi. Mimpimu indah?"

Taeyong mengerjapkan matanya. Ya, benar. Ia mencoba menggapainya, imaji yang kabur, dan sebuah perasaan yang lembut nan hangat. Sesuatu yang menyenangkan, cerah, kilasan samudra di bawah teriknya mentari. Aroma asin air laut yang terselip dalam semilir angin sejuk. Suara tawa dari kejauhan yang teredam dan dibawa pergi oleh arus ombak lautan. Dan...

"...burung camar," ujarnya. "Aku memimpikan burung camar."

*

Tahun 100 Joseon, Hanyang.

Jubah sutra di musim panas, pikirnya, sungguh menyiksa.

Taeyong mempercepat langkah kakinya, walau membuatnya tidak nyaman, agar ia bisa menyusul ibunya. Rambutnya diikat terlalu kencang, hari itu terlalu panas, jubahnya terlalu tebal, dan kini ada rasa sakit kepala yang menjalar dari balik matanya. Ibunya berbicara.

"Ingat yang sudah kuajarkan padamu," katanya. "Buat beliau terkesan."

"Ya, Ibu," sahutnya, mengalihkan perhatian dari bulir keringat di pelipisnya menuju suara ibunya.

"Beliau menyukai kejelian dan kepandaian. Tapi kau tidak boleh melewati batas. Ingat posisimu, Taeyong."

"Ya, Ibu."

"Kalau kau merasa kau sudah berbuat salah..."

"Membungkuklah dalam-dalam dan memohon maaf. Dan kalau tindakanku keterlaluan, berlututlah. Berdiri hanya jika diizinkan, dan katakan kebaikan Yang Mulia tak terukur," Taeyong mengulangi apa yang sudah ia hafalkan.

"Bagus," jawab ibunya, berhenti beberapa jengkal dari pintu kasa. Ia menoleh ke arah putranya, wajahnya bak topeng. Di kesempatan lain, Taeyong akan mencoba menebak suasana hati ibunya lewat kilatan mata yang hadir saat perempuan itu menatapnya lekat-lekat, cinta, mungkin, suatu emosi yang lembut dan keibuan. Lalu saat wajahnya tersenyum, ia coba menerka lewat sudut senyumnya yang mengeras. Apa itu, ia coba menebak, ambisi, mungkin?

Hari ini, akan tetapi, kedua matanya mendarat pada benda berwarna emas dan koral di rambut ibunya. Jepit rambut cantik berbentuk seperti bunga iris, beberapa helai rambut abu-abu disembunyikannya rapat-rapat.

Itu barang baru, pikirnya terlena. Aku belum pernah melihat jepit rambut itu sebelumnya. Itu keangkuhan, bukan? Ibu sepertinya ingin meninggalkan kesan.

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang