Enam Belas

83 10 1
                                    

- KEMATIAN KARAKTER UTAMA -

Referensi:

Buah persik dipercaya dapat mengusir roh, begitu juga bunga persik.

Gwanghuimun adalah gerbang tenggara dari kota Hanyang. Gwanghwamun dan 'mun' lainnya adalah gerbang istana, dari yang terluar hingga terdalam.

Ratu Yoon yang Dibuang dulunya merupakan selir, lalu menjadi ratu setelah dinikahi Raja Seongjong, ia adalah ibu dari Yeonsangun. Ia diusir dari istana karena telah lancang mencakar wajah Sang Raja, kemudian ia tewas diracun. Ia dikenal iri dan cemburu pada selir-selir lainnya dan pernah mencoba meracuni salah satunya. Di fiksi ini, kedengkiannyalah yang membuat Taeyong dan ibunya diusir dari istana. Yeonsangun sangat menyayangi sang ibu, maka dari itu ia membenci Taeyong dan ibunya.

-

Tahun 105 Hanyang, Mokpo.

Entah sudah berapa lama ia di sini. Dengan besarnya duka yang ia rasakan saat menyadari kepergian Taeyong, kini ia sudah benar-benar mati rasa. Dengan jantung yang berdebar kencang, leher yang panas membara, dan denyutan nyeri di balik matanya, ia kira Taeyong akan pergi secepat itu, namun ia salah. Ia belum pernah menyaksikan kematian sebelumnya, ia sungguh tidak tahu bahwa terjadinya akan begitu lambat. Sangat-sangat lambat. Hingga jantungnya lelah, hingga lehernya kebas, matanya memberat, dan hingga dukanya mulai menyala, berkelip, meletup-letup, bara api yang begitu lemah.

Taeyong di dalam dekapannya, merah yang telah mengental mulai merekah di dadanya, tanah di sekitarnya pun sama merah. Kepalanya bersandar di lekuk siku Jaehyun, tubuhnya di atas pangkuan Jaehyun, kaus kaki yang tadinya putih telah menjadi cokelat di tumit, percikan cokelat kemerahan di kelingking kaki kirinya.

Selimut telah kusut di pinggangnya. Taeyong menyingkirkan kain itu untuk berpegangan pada Jaehyun, untuk membenamkan wajahnya di pinggang Jaehyun. Sampai ia tak mampu lagi, sampai lipatan pakaian kekasihnya lepas dari genggaman, dan sampai kepalan tangannya melemah di atas dadanya. Tangan yang disentuh telapak tangan Jaehyun. Tangan yang indah, tangan yang kuat, di atas dada yang tak lagi bergerak sejak beberapa hembusan napas tersendat terakhirnya.

Entah sudah berapa lama ia duduk di sini seperti ini, namun ia merasa sudah waktunya untuk melihat wajah Taeyong, mungkin untuk menutup matanya. Ia bergerak sangat pelan, seakan takut membangunkan lelaki itu, tangannya terjulur menuju rahang Taeyong dan memiringkan wajahnya dengan lembut.

Matanya sudah terpejam, bulu mata pekat di atas kulit yang pucat, tergumpal sempurna nan basah. Seperti ia sedang tertidur, tetapi ada yang berbeda. Ia tampak tak bernyawa, diamnya tak manusiawi. Jejak merah dari sudut bibir hingga rahangnya telah mengering dan berubah cokelat, alis dan bibirnya yang lembut tak bisa menutupi kekejaman yang ia alami.

Dengan perlahan, ia menyeka darah itu dengan jarinya, dengan lengan pakaiannya, dengan apa pun yang bisa menghapus jejak kematian dari wajahnya. Kulitnya dingin, darahnya dingin, semuanya. Tanpa sadar, ia menarik selimut itu hingga sebatas dagunya, rapat-rapat di sekujur tubuhnya, memeluknya erat seakan ingin membuat kekasihnya hangat lagi.

"Kita harus membawanya ke kuil."

Jaehyun tak terlalu mendengar suara yang pelan dan hati-hati itu. Ia tak bisa berpikir lagi. Lengannya terasa berat karena Taeyong, tubuhnya mati rasa. Ia bahkan tidak bisa bernapas dengan benar, tidak kuasa bernapas dengan bau darah yang menguar di hadapannya, tidak.

"Hyungnim," panggilnya. "Apa kau benar-benar sudah tiada? Jangan pergi dulu, kumohon."

"Tuan Jung, sadarlah."

Ada tangan yang mencengkeram pundaknya, menariknya dari sang kekasih. Ia menepis tangan itu dan memeluk Taeyong sekali lagi. Telapaknya menangkup wajah tampan itu, tetapi bahkan kulitnya pun mulai terasa asing. Yang ada di dalam pelukannya kini, bukanlah Taeyong.

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaWhere stories live. Discover now