Lima

120 16 1
                                    

Catatan Penulis

Yangban: bangsawan, kelas sosial tertinggi era Joseon

Seowon: sekolah

Jeogori: baju atasan tradisional / luaran

Gwanghuimun: satu dari delapan gerbang istana Seoul (gerbang masuk ke kota)

Gwanghwamun: salah satu gerbang Istana Gyeongbokgung

Saengwonsi: salah satu dari dua ujian negara

Sungkyunkwan: pusat pendidikan tertinggi di Joseon.

Penulis mengubah usia demi kepentingan cerita, biasanya siswa bersekolah di Seowon sampai usia 20 tahun lalu mengikuti ujian negara, tapi di cerita ini Jaehyun berusia 16-17 tahun ketika mengikuti ujian negara.

***

Tahun 102 Joseon, Hanyang.

"Tuan, makanlah sesuatu."

Taeyong tersadar dari lamunannya, memalingkan pandangannya dari langit malam yang terbingkai di jendela, menekan tangan di pipinya yang membara dan menoleh ke arah Choi Jin.

"Apa?" tanyanya.

"Makan malammu," ulangnya.

"Ah, benar," jawabnya, menegakkan tubuh dan memusatkan perhatiannya kembali pada beragam hidangan di hadapannya.

"Apa kau sakit, Tuanku?" Choi Jin bertanya dengan nada khawatir.

"Tidak, tidak, aku hanya... lelah," ujarnya. Ia tidak apa-apa. Ia hanya merindukan Gongju. Ia baru saja sampai dan ia sudah merindukan Gongju setengah mati. Ia merindukan Jaehyun setengah mati. Pikirannya berkelana ke momen singkat pagi buta tadi sebelum ia bertolak, tentang ciuman itu. Dan tiap kalinya, ada semburat merah yang serupa menjalari pipinya. "Itu perjalanan yang menyenangkan," kenangnya.

"Benar," timpal Choi Jin dengan senyuman kecil. "Aku tidak bisa cukup berterima kasih padamu karena sudah mengizinkanku bertemu dengan keluargaku."

"Kau tidak perlu berterima kasih padaku, Choi Jin," kata Taeyong, senang melihat sida muda itu diperbolehkan meninggalkan istana dengannya, meski hanya untuk beberapa hari. Ia senang sudah bisa membantunya, meski tidak seberapa.

"Saudari-saudariku sangat gembira melihatku," katanya. "Yang paling muda memelihara tikus saat aku tidak ada, dan menamainya Choi Jin."

Taeyong tertawa dan mencondongkan tubuhnya, sumpit perak di tangan, menusuk daging asap yang tersaji di piring perunggu.

"Berapa banyak saudarimu?" tanyanya, sedikit bergeser. Kakinya yang terluka mulai terasa kebas di posisi ini, terganjal bantal.

"Tiga orang, Tuanku. Enam, sembilan, dan sebelas tahun." lapornya. "Aku hanya... aku sangat berterima kasih padamu. Aku bisa mengajak saudari-saudari dan ibuku ke pasar, dan membelikan mereka pakaian baru. Kemurahan hatimulah yang memungkinkan semua itu terjadi."

"Choi Jin, tolonglah," pintanya, malu. "Tolong berhenti memujaku dan ceritakan saja tentang keluargamu, pasar, dan juga tikusmu."

"Mereka sangat senang, Tuanku," gelaknya. "Lebih lagi waktu mereka melihat ibumu, mereka tidak bisa berhenti membicarakan kecantikan dan keanggunannya, dan aku bilang pada mereka, kalau saja mereka juga melihat wajahmu..."

"Ibuku?" Taeyong menyela ucapannya, bingung.

"Ya, beliau ada di sana."

"Di pasar? Di dekat desamu?" tanyanya. "Kau pasti salah lihat."

"Aku yakin sekali, Tuanku, itu adalah ibumu. Beliau memang berpakaian seperti rakyat biasa, tapi aku yakin tidak salah lihat. Wajah kalian memang mirip, dan aku sangat mengenal wajahmu, Tuan."

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt