Sebelas

78 9 0
                                    

Tahun 105 Joseon, Hanyang

Api menjilat-jilat tinggi di sisinya, binar kuning memantul di syal biru tuanya. Malam mulai merangkak naik. Taeyong memandangi surat yang ia pegang dengan saksama. Ini surat yang keenam.

Ia membuka lipatan kertasnya, kertas yang lebih murah, lebih tipis dari yang ia terima sebelumnya. Tangannya bergerak kikuk, jemarinya ingin mengelus goresan tinta hitam itu, seakan mengelusnya sama dengan mengelus rambut hitam lembut sang penulis, sama dengan membelai bulu mata hitamnya yang panjang.

Jaehyun.

Yang Mulia,

Kuharap surat ini sampai dengan selamat seperti biasa.

Aku telah berkelana lama dan jauh bersama para guru Sarim. Melewati sungai Chuncheon dan puncak Inje.

Malam ini, saat aku menulis surat ini, aku sedang berada di desa kecil di dekat daerah Yangyang. Dingin sekali, aku bersumpah tintanya langsung membeku usai kugoreskan dengan kuas. Tapi tempat ini begitu tenang dan cantik, warganya baik hati dan juga ramah. Sepertinya mereka puas, panen tahun ini berjalan lancar.

Di selatan, kudengar, tidak seberuntung itu. Aku bertemu banyak orang-orang selatan, dan ketika aku bicara dengan mereka, mereka bilang di selatan tidak ada lapangan pekerjaan dan juga makanan...

Taeyong membaca kata demi kata, lambat-lambat, seakan ia sedang mempelajari naskah suci. Padahal surat itu bukanlah apa-apa, bukan puisi, bukan juga lagu cinta, hanyalah cerita tentang perjalanan Jaehyun, yang ia pelajari dan pahami tentang Joseon. Hanyalah laporan dari seorang seonbi yang mengembara, seorang cendekiawan Sarim yang memberitahu seorang keturunan raja tentang situasi kerajaannya.

Aku kirimkan hadiah kecil, Yang Mulia, barang sederhana yang kudapat dari perjalananku, yang lancang dari seorang cendekiawan rendahan. Semoga sampai di tanganmu dalam kondisi sempurna.

Taeyong meletakkan surat itu, tiga lembar berisikan hanja berukuran kecil nan rapi, dan ia mulai membuka bungkusan hadiah yang datang bersama suratnya. Kiriman itu sudah diperiksa oleh para penjaga, kain dan jeraminya telah diganti sebelum diserahkan padanya sore tadi.

Satu tahun sudah sejak terakhir kali ia bertemu Jaehyun.

Musim dingin lalu, saat ia meminang Soohyun, saat mereka bersumpah untuk mencintai hingga akhir hayat di hadapan kuil keluarganya, ia pikir Jaehyun tak akan datang, namun dugaannya salah.

Musim dingin lalu, saat Raja Seongjong meninggal di malam buta, dalam tidurnya yang gelisah, selimut dibasahi air seninya, para istri dan putranya berlutut murung di sekitarnya. Ia pikir Jaehyun tak akan datang, namun lagi-lagi dugaannya salah. Lelaki itu tak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya menggenggam tangannya erat di balik pintu kamarnya, hingga tehnya tak lagi panas.

Musim dingin lalu, satu hari setelah istana usai berkabung akan kematian ayahnya, ketika Yeonsangun mendatangi Sungkyunkwan dengan semua pelacur miliknya berbaris di belakangnya. Saat para cendekiawan diusir paksa dari tempat suci itu, dipermalukan. Itulah kali terakhirnya bertemu Jaehyun.

Tubuh yang bergetar oleh amarah dan malu, bukan begini caranya, kata Jaehyun kala itu, meniduri pelacur-pelacur itu di aula Sungkyunkwan. Ini bukanlah tindakan seorang raja, bukan tindakan manusia beradab mana pun juga.

Ia masih mengingatnya dengan jelas, bahkan kini saat ia melihat kotak naejonchilgi (kerajinan tangan mutiara Korea) yang indah di tangannya ini, kilau warna-warni halus dari mutiara yang bersanding dengan kayu gelap, ia ingat saat Jaehyun berkata ia akan meninggalkan Hanyang.

Hyungnim, aku tidak bisa tinggal diam lebih lama di sini sementara monster itu duduk di singgasana.

Taeyong hanya bungkam, mencoba mencari kata-kata yang boleh ia ucapkan, ingin bertanya jadi kau akan pergi meninggalkanku? Kapan aku bisa melihatmu lagi?

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaWhere stories live. Discover now