Dua

200 22 0
                                    

1944, Seoul.

"Tunggu di sini," perintah neneknya, ketika mereka tiba di dapur. "Siapa tahu dia ingin bicara denganmu."

Jaehyun mengangguk hampa, masih gemetaran, tak bisa menyingkirkan peristiwa itu dari kepalanya. Ia tahu seberapa berat bukunya dan itu membuatnya merasa mual.

"Apa yang kau pikirkan, Jaehyun?" tanyanya, lelah dan cemas.

Ia menggeleng. Ia tidak memikirkan apa-apa. Ia tidak tahu itu akan terjadi. Ia tidak mengira itu akan terjadi pada Taeyong hanya karena sebuah buku. Itu hanya sebuah buku.

Di suatu tempat, ada pintu yang dibanting.

"Astaga," serunya, wanita itu kembali berjalan ke lorong. "Aku akan segera kembali."

Jaehyun menunggu. Tidak lama hingga rasa bersalah muncul dan membuatnya makin mual, dan ia mulai menyadari bahwa jika bukan karena Taeyong, ialah yang akan dihajar. Ia berjalan menyusul neneknya, mengintip dari sudut dinding, dan di sanalah Taeyong. Neneknya menangkup wajah Taeyong dengan tangannya yang keriput. Tulang pipinya memar, bibirnya berdarah, dan wanita tua itu menariknya mendekat, mendekapnya erat.

"Tuan Muda," panggilnya, suaranya menenangkan, iba, nada yang hanya dimiliki oleh seorang nenek. "Nak, kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau melakukan itu untuk kami?"

Taeyong menggeleng, dan perut Jaehyun bergejolak oleh perasaan bersalah. Ia bisa melihat tubuh anak yang lebih tua itu bergetar bak daun kering, berada dalam pelukan neneknya.

"Nenek," ujar Taeyong, dan Jaehyun bisa mendengar sebuah isakan tertahan. "Seandainya saja ada ibuku di sini."

"Aku tahu. Aku tahu, Nak, Taeyong yang berani, Taeyong sayang," kata neneknya, dan Taeyong runtuh, menangis layaknya anak kecil di dalam rengkuhan wanita tua tersebut.

Jaehyun merasa matanya perih, perutnya melilit, dan tiba-tiba, Taeyong tidak terasa begitu jauh di atas.

"Biar aku yang membawanya," Jaehyun berkata, memandangi nampan dengan segelas susu hangat berbuih dan beberapa es batu di dalam balutan saputangan yang neneknya telah siapkan di meja dapur.

Wanita itu meliriknya sekilas. "Baiklah," ia mengizinkan, akhirnya, dan menyodorkan nampan itu pada cucunya.

Ia berusaha menyeimbangkan nampan itu di satu tangan, menjulurkan tangan lainnya untuk mengetuk pintu kamar Taeyong.

"Tuan Muda, ini aku," katanya.

"Masuk."

Ia memutar kenop itu, mendorong pintunya dan memasuki kamar Taeyong. Gelap, kecuali pendar lampu yang berdiri di atas meja. Ia berjalan masuk di dalam kegelapan, matanya perlahan beradaptasi. Ia bisa melihat sosok Taeyong yang meringkuk di kasur, dan ia berjalan mendekat, meletakkan nampannya di atas nakas.

"Aku membawakanmu susu dan es batu," bisiknya pelan, takut suaranya akan mengusik Taeyong.

"Ya, tinggalkan saja di sana."

Ia ragu, dan Taeyong tahu ia ragu, dilihat dari ia yang perlahan duduk.

"Aku minta maaf," ujarnya lembut. "Aku tidak ingin itu terjadi padamu. Dan terima kasih, karena sudah membelaku."

Taeyong bergeming, hanya duduk di dalam ruangan yang temaram, memandanginya. Jaehyun juga tak mampu bergerak, terpaku di bawah tatapannya. Ia tidak bisa melihat wajah Taeyong dengan jelas, tetapi ia bisa membayangkan tatapan tajam itu, dan juga kedua mata besarnya yang dalam.

"Kenapa kau melakukannya?" tanya yang sama keluar dari bibir keduanya.

Taeyong tertawa. "Kau dulu," katanya.

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang