Tiga Belas

93 10 2
                                    

- KEMATIAN KARAKTER UTAMA -


Tahun 105 Joseon, Mokpo

Taeyong melompat turun dari kudanya. Tanahnya sudah mengeras, sawah bertingkatnya kering dan tandus, puncak-puncak gunung yang berkarang mengintip dari balik kabut kebiruan jauh di sana, puncak tertinggi Gunung Yudal dengan lereng berbatunya yang tak kenal ampun.

Ia menarik jubahnya makin rapat. Ototnya mengejang, akibat kegelisahan yang menjalar di bawah kulitnya, akibat berkendara menerjang cuaca dingin.

"Anehnya tempat ini indah sekali," kata Jaehyun.

"Tempat yang indah untuk mati," sahut Taeyong hambar.

Jaehyun tersenyum. "Yang Mulia, walau rakyat Mokpo tidak membunuhku, sikap dinginmulah yang akan membuatku mati," katanya.

Taeyong menatapnya sinis, masih belum yakin untuk memberinya maaf karena sudah memaksa ikut pergi bersamanya. Cendekiawan bodoh terkutuk dengan senyum bodoh yang tersungging di bibir bodohnya. Hatinya telah letih akan keresahan yang meluap di dalam sana, sekejap melambung akan rasa syukur didampingi kekasihnya, lalu sekejap kemudian bertalu-talu takut melihat kilatan pedang di balik jubah tiap pria yang ia temui. Sekejap lagi takut akan masa depan, masa yang akan ia jalani tanpa kekasihnya, Jaehyunnya, lelaki tampan dan bodoh miliknya. Itulah yang menggerogoti jiwanya. Ia belum memaafkannya, putusnya dalam hati.

"Jangan bercanda," ujarnya, pundak menegang ketika suara ringkikan kuda dan suara orang bercakap-cakap terdengar di kejauhan. Jemarinya semakin erat menggenggam pedang, dan ia menanti, betisnya kokoh. Bendera sutra berwarna hijau dan emas berkibar di hadapannya, saat itulah tubuhnya bisa tenang.

Ia menoleh ke arah Jaehyun, tepat saat lelaki itu sedang memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung pelindungnya.

"Kau juga takut?" tanyanya.

"Aku tidak takut. Aku hanya waspada terhadap sekitarku," katanya.

*

Pertemuan pertama mereka dengan kepala daerah itu ditandai dengan upacara yang meriah. Mereka disambut di rumahnya dengan hangat dan saat Taeyong melewati pintu luarnya, ototnya sedikit melemas, napasnya sedikit lebih teratur. Mereka telah jauh dari jalanan, jauh dari bahaya.

"Selamat datang," kata pria itu. Tuan Hwang, kepala provinsi paling selatan di Mokpo, adalah bagian dari klan Hwang yang diam-diam berpengaruh. Perawakannya kecil, tampak ramah dan tegap, namun semu merah di pipi dan perutnya yang membuncit mengingatkan Taeyong akan kabar yang ia dengar mengenai pria itu. Cintanya pada anggur dan hal-hal indah.

Taeyong menundukkan kepalanya, sedang Jaehyun membungkukkan tubuhnya.

"Selamat datang, Pangeran Muda, kami sangat senang bisa menyambut kalian di sini. Rumah sederhanaku tidaklah cukup untuk menaungi kemurahan hatimu."

"Terima kasih sudah membukakan pintu untuk kami," balas Taeyong. "Kenalkan, ini Guru Jung. Dia putra Tuan Jung dari Gongju. Seorang cendekiawan Sarim dari Sungkyunkwan, dan dia adalah penasihatku."

"Ah, maafkan aku, Tuan Muda, aku tidak mengenalimu," katanya. "Kami tidak diberitahu tentang kedatanganmu, kami belum menyiapkan kamar..."

"Dia akan berbagi kamar denganku," sahut Taeyong. "Kalau kau bisa menyiapkan satu tempat tidur lagi."

"Tentu saja," kata Hwang. "Maafkan kami yang belum mampu meredam keributan ini, Yang Mulia. Seharusnya kami menyiapkan lebih banyak senjata. Kau berkendara sangat lama dan jauh karena ketidakmampuan kami, ampunilah kami."

"Jangan begitu, Tuan Hwang, ini sudah tugasku."

Ada jenis kaum bangsawan yang muncul turun-temurun dari generasi yang terhormat, pria dan wanita terpelajar yang menghabiskan hidup mereka untuk melayani para dewa dan negaranya, alami dan nyata, pria-pria seperti Jaehyun, ayah dan juga pamannya, generasi-generasi sebelumnya. Lalu ada pula kaum yang menyandang status bangsawan karena hartanya. Taeyong mulai bisa melihat perbedaannya.

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaWhere stories live. Discover now