Sepuluh

105 9 1
                                    

1948, Seoul

"Oh, aku lupa, fotonya sudah datang," gumam Taeyong, bicara tanpa mengalihkan pandangannya dari buku pelajaran. Sebuah diagram yang terlihat seperti sandal berambut mengisi separuh halamannya dan Taeyong memandangi gambar itu seolah ingin menghapal letak tiap-tiap rambutnya. Ia meraih-raih benda di atas meja dengan mata yang masih terpaku pada bukunya, dan Jaehyun bisa melihat foto hitam-putih dari posisinya yang sedang duduk di ranjang, foto itu di luar jangkauan tangan Taeyong.

Ia mendesah. Berdiri dengan senyum pahit.

"Di sini, biar kuambil sendiri," katanya sambil menjulurkan tangan melewati pundak Taeyong dan mengambil foto itu.

Adalah gambar dirinya bersama teman-teman sekelasnya di hari kelulusan, dua puluh orang siswa dalam kemeja putih necis dan celana gelap, dasi sama gelap, berdiri dengan punggung tegak dan kaku. Ia memindai wajah-wajah itu untuk mencari Taeyong, dan di sanalah ia, rambut yang disisir rapi ke belakang, kemeja putih dan dasi biru tua, ia ingat warnanya, sepatu kulit yang mengilat. Ia berdiri di baris pertama, tepat di tengah-tengah, begitu tampan dan yang paling pendek di antaranya. Ia tertawa.

"Ada apa?" tanya Taeyong, masih terpaku pada bukunya.

"Tidak," jawab Jaehyun. Ia meremas bahu Taeyong. "Hanya berpikir kau mungil sekali."

Otot Taeyong menegang, ia merasakannya di bawah telapaknya, dan ia menoleh ke arah Jaehyun, ada sorot api di matanya. "Aku tidak mungil," bantahnya.

"Bukan hal yang buruk, kau tetap yang paling tampan di antara mereka," katanya, tertawa.

Ia melihatnya, benar-benar melihatnya, warna merah yang merambati pipi Taeyong, mulutnya yang membuka ragu dan menutup kembali, bulu mata dan dagunya yang menunduk. "Tentu, mungkin, tapi aku tidak mungil," gerutunya dan kembali membaca.

Ia menyukainya. Sangat menyukai semu merah yang cantik itu, dan ia ingin menyentuh kulitnya dan merasakan hangatnya semburat itu. Bulu halus menyerupai bulu persik di tengkuknya, ia juga ingin menyentuhnya, tetapi ia tidak bisa, karena itu tindakan yang sangat janggal.

"Apa itu?" tanyanya, berusaha mengalihkan pikirannya. Telapak berada di pundaknya kini, menjulurkan kepala melihat bukunya.

"Paramecium," jawab Taeyong tak fokus.

"Kenapa dia berambut lebat?"

"Namanya silia, berguna untuk membantu mereka berenang di air," jawabnya.

"Silia, menarik."

"Hmm."

"Hei, Hyung?"

"Hmm?"

"Apa kau mau berhenti membaca dan pergi bersamaku, sebentar saja?"

"Apa kau gila? Ujianku..."

"Tiga belas hari lagi, aku tahu. Maaf, belajarlah dengan giat," katanya, meremas pundak itu lagi dan berbalik badan. Ia belum melangkah dua kali ketika Taeyong bicara.

"Beri aku sepuluh menit," katanya pelan.

Ia memutar tubuh, dan Taeyong langsung menunduk melihat bukunya. Semburat itu masih mengisi kulit wajahnya. Ia tersenyum.

"Kutunggu di pintu belakang," ujarnya.

*

Jaehyun duduk di anak tangga kayu di depan pintu dapur. Ngengat dan nyamuk berkerubung mengelilingi sebuah bohlam yang berpijar di atas kepalanya, radio berdengung di kejauhan. Ia menyobek dedaunan menjadi serpihan kecil, benaknya berkelana.

Sesuatu telah berubah di antara mereka. Jaehyun menyadarinya, atau ia pikir ia menyadarinya. Ada yang berbeda, ya, karena sekarang sudah jelas, bahwa Taeyong menyukai laki-laki. Memang, mereka belum mengucapkannya secara gamblang, sungguh, dan mereka masih berpura-pura tak ada yang terjadi, tetapi sepertinya dugaannya benar?

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang