Dua Belas

112 6 0
                                    

1948, Seoul

"Aduh!"

"Aku belum menyentuhmu sama sekali," Taeyong tergelak.

"Hyung, apa kau yakin?" tanya Jaehyun.

"Jaehyun, aku sudah sering melakukan ini setahun terakhir, jangan takut."

"Aku tidak takut, siapa bilang aku takut," gerutunya, menunjukkan lehernya pada Taeyong. Pisau itu berkilat di genggaman Taeyong, dan yang bisa Jaehyun pikirkan hanyalah kejadian-kejadian ceroboh yang pernah dialami lelaki itu. Taeyong yang tersandung atau menjatuhkan barang atau sikunya yang menabrak kenop pintu dan pisau cukur itu semakin dekat dengan wajahnya. Ia memejamkan mata kuat-kuat.

"Waktu aku bilang jangan bergerak, aku tidak menyuruhmu untuk tidak bernapas juga," bisik Taeyong.

"Oh," katanya, menghembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan. Taeyong tertawa lagi, tawa seorang kakak laki-laki yang baik hati, dan itu membuat wajahnya memerah. Tepi bilah pisau itu menyentuh kulitnya dan ia menahan napasnya lagi, bilahnya bergerak dingin dan tajam dan kini turun ke lehernya.

Ia masih hidup.

"Tidak terlalu buruk?" tanya Taeyong, mengelap pisau cukurnya.

Ia membuka mata. Taeyong ada di dekatnya, tersenyum, terpana melihatnya, membawa silet dan berhenti di tengah-tengah kegiatan mencukurnya.

"Ya," katanya.

Taeyong tersenyum dan kembali bekerja. Cukuran pertamamu, katanya kemarin, itu penting sekali, tandanya kau sudah dewasa. Akan kutunjukkan caranya. Kita harus menyiapkan pisau cukur, sikat, krim cukur, tawas dan-

Dan di sinilah mereka. Jaehyun kembali meringis ketika Taeyong dengan sabar mencukur area di atas bibirnya.

"Sudah," kata Taeyong.

Ia membuka matanya lagi seraya Taeyong mengelap wajahnya dengan handuk kecil, menyeka sisa busa yang terpercik di daun telinga dan pelipisnya.

"Kau masih hidup, bukan?" goda Taeyong.

"Kurasa begitu," jawab Jaehyun. Ia meneliti wajah Taeyong. Biasanya, bila jaraknya sedekat ini, mereka akan memejamkan mata, bibir akan saling mengecup, tangan akan bergerak menjangkau rambut atau meraba pinggul. Tidak sering ia mendapat kesempatan untuk memandanginya seperti ini. Senyumnya yang indah, amat indah, lebih indah lagi saat ia sedang ceria dan usil.

Ada bau yang menyengat di udara, tangan Taeyong kini menepuk-nepuk pipinya dengan sesuatu yang dingin dan oh, Tuhan, rasanya perih-

"Aduh, sial," gerutunya, menggeliat, terpaksa keluar dari lamunannya. "Hyung, apa itu?"

"Ini aftershave (krim atau cairan sehabis bercukur), Bayi Besar," Taeyong tergelak, ujung jarinya mendarat di rahang lelaki itu. "Seorang pria harus memakai aftershave."

Ia berhenti bicara dan menatapnya tajam.

"Kau tampan sekali," pujinya. Senyumnya kini menari di bola mata indah itu, dan Jaehyun dapat melihat sekelebat keraguan di sana, seakan bergumam mungkin sebaiknya tidak kulakukan, tampak di sekeliling bibirnya. Ia hendak menarik tangannya dari sana, namun Jaehyun menahannya.

Lalu ia mendekatkan wajahnya, mengecup bibir Taeyong singkat, senang akan suara terkesiap kecil yang lelaki itu ciptakan. Ia mengambil kesempatannya.

Kini Taeyong sedang tersenyum, memalingkan wajahnya sembari tertawa. Selalu seperti ini. Entah mengapa, tetapi tiap kali mereka tiba pada kecupan, mereka masih saja bimbang, masih bertanya-tanya apakah ini boleh dilakukan, masih, meski bulan dan musim telah berganti.

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa Indonesiaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن