Sarwa Sekawan.

2K 207 50
                                    

"Eyang, Sagam pamit ke rumah Pak Rete dulu!"

Silih waktu berganti, acara pensi yang semestinya diselanggarakan besok akan tiba. Sagam semakin banyak berlatih untuk melatih kemampuannya dan menambah ilmunya di bidang musik.

"Gara di studio, ditunggu dari tadi."

"Shap, Pak!" Memasuki ruangan yang telah diarahkan, Sagam menengok ke sosok yang sedang duduk memegangi kotak berwarna coklat, Gara disana.

"Kanagara!"

Sapaan itu terdengar lembut menyampai indra pendengaran Gara, sang pemilik nama tersenyum dan mempersilahkan Sagam duduk, disebelahnya.

"Kenapa kamu ingin mempelajari alat-alat kesenian ini?" tanyanya.

"Mau ngalahin Dewa," jawab Sagam disertai tawanya, "tapi Dewa terlalu berat buat gue. Jadinya gue mau ngalahin lo aja!" serunya.

Gara hanya menggelengkan kepalanya karena tingkah Sagam. "Aku suka tekad kamu."

Sagam mengangguk. "Gue kurang mempelajari apa lagi?"

"Ambisi kamu kuat, gak perlu belajar lagi." Sagam yang mendengar itu tersenyum puas, dihatinya tersirat rasa bangga.

"Berarti gue udah keren dong!"

"Belum."

"Kata lo udah gak perlu belajar lagi! Berarti udah keren lah."

"Belum keren kalo belum duel sama aku."

"Takutnya lo kalah."

"Aku gak yakin aku bakal kalah. Tapi aku bersedia kalah."

Sagam masa bodoh akan penuturan Gara, yang pasti, ia sepenuhnya yakin bahwa siapapun tak bisa menandingi dirinya.

"Kenapa lo balik ke desa? Bukannya kalo di kota itu enak?"

"Aku kembali untuk tanggung jawab yang telah dijanjikan."

Tanggung jawab? Mungkin tanggung jawab sebagai anak. Begitulah yang Sagam pikirkan.

"Udah lama balik kesini?"

"Belum lama. Seminggu belum ada."

"Ooh."

"Masih inget kan yang kemarin baru dipelajari?" tanya Gara yang dibalas anggukan oleh Sagam, "sekarang aku mau tes."

"Lo ngeraguin gue?"

"Aku bukan ragu, aku hanya ingin memperjelas."

Sagam mendengus malas, namun Sagam tetap menuruti Gara. Sagam beralih ke arah-arah tempat alat musik itu berada, memainkannya dengan telaten dan profesional. Gara menyuruh Sagam untuk bersuara, baginya melodi lembut milik Sagam sangat merdu memasuki indra pendengarannya.

"Gimana penampilan gue tadi?"

"Keren."

SAGAM GITU LOH.

"Gue kan udah nyanyi, lo gak ada niatan buat nyawer gue?"

Kanagara menggelengkan kepalanya menatap bocah tengil didepannya, ia mengeluarkan dompetnya berisi kertas tebal, yang membuat Sagam melongo.

"Setdah, canda. Gue haus, bukan minta duit," ujar Sagam menghembuskan nafas panjangnya, "masa lo gak nyuguhin apa-apa buat tamu!"

Kanagara mengerti akan maksud Sagam. "Kamu mau minum apa?"

"Es degan." Gara tampak berpikir akan hal itu, apa yang Sagam minta tak tersedia dirumahnya.

"Gue tau. Ayo beli keluar," ajak Sagam mengerti. Gara hanya mengikuti apa yang Sagam katakan.

"Gue gak mau naik motor butut lo."

"Kita jalan kaki."

"Ogah! Naik motor gue aja."

Bocah puber itu selalunya labil.

"Lo pasti gak pernah naik motor keren, kan?" tanya Sagam dengan remeh, "kali ini lo yang nyetir, biar gak kuno." Seperti apa yang Sagam perintahkan, kini Gara yang membonceng nya.

Silir-semilir angin menerpa kulit dengan polosnya, menatap indahnya langit senja ditemani pancaran cahaya matahari yang berwarna orange kekuning-kuningan. Melihat bagaimana pepohonan yang dilewati silih berganti, melewati persawahan yang hijau.

Sagam menyuruh Gara memberhentikan Varionya di depan warung Es Degan dipinggir sawah, yang kebetulan tempat itu tengah sepi. Gara yang memesan dan Sagam menunggu sembari duduk di saung bambu yang terletak pada tengah-tengah sawah.

Sepasang mata kecoklatan milik Sagam menangkap lanskap cahaya kuning cenderung orange yang diluapkan oleh Sang Baskara. Sagam lalu memejamkan matanya, dan mulai berkata didalam hatinya tentang apa yang terjadi hari ini. Setelah itu ia pun tersenyum, seakan mempersembahkan senyum termanisnya kepada Sang Baskara. Namun dibalik itu, Sang baskara yang seharusnya cemburu, karena tak hanya langit senja yang melihat senyuman itu.

"Ini." Sagam menoleh pada pemilik suara, ia menerima sodoran Es Degan yang di plastik yang komplit dengan sedotan.

"Matur nuwun, Bro."

Kanagara tersenyum. "Kamu ngeliatin apa?"

"Ngeliatin yang paling indah daripada apapun."

Senja, sawah, es degan. Perpaduan yang teramat syahdu.

"Anak kota yang gue tau itu gaul. Kok lo kuno sih?" cibir Sagam yang membuat Gara tertawa akan hal itu.

"Mana yang kamu maksud kuno?"

"Gaya lo, selera lo, motor lo."

"Aku gak sekuno itu, Sagam."

"Omong kosong. Bukti?"

"Lebih baik kamu tau dengan sendirinya, daripada aku harus menunjukkan yang tak seharusnya."

Seperti itulah percakapan antara keduanya dikala senja. Setelahnya tak ada yang bersuara, hanya terdengar suara kicauan burung yang menari-nari pada indra pendengaran.

Sagam mengeluarkan rokok dari saku celananya, ia mengeluarkan sebatang dan menyalakannya, lalu menghisapnya. Ia mengulurkan tangannya kepada Kanagara guna memberi bungkus rokok tersebut.

"Ambil aja."

"Aku gak ngerokok."

"Udah gue bilang, lo itu kuno."

"Aku cuma bilang, aku gak ngerokok. Bukan berarti aku gak melakukan ini."

cup

Puntung rokok yang dihimpit oleh jari-jari itu terjatuh begitu saja, tergantikan oleh kecupan yang mendarat pada pipinya

"Apa ini juga kuno?"

V A R I O「 BL LOKAL 」Where stories live. Discover now