Sarwa Wolu.

1.7K 150 23
                                    

"Le, kenapa kok mukanya masam gitu?"

"Gak kenapa-kenapa, Eyang. Lagi capek aja."

"Langsung mandi terus rehat! Eyang ke dalem dulu," perintah Eyang yang dibalas anggukan oleh Sagam.

Pada malam yang gelap gulita, Sagam menghampiri Eyangnya, yang tengah duduk pada kursi goyang didepan TV.

"Eyang, umur Eyang berapa?"

Eyang Sagam hanya terkekeh akan pertanyaan itu, sedangkan Sagam mencebikkan bibirnya. "Kenapa, Le? Eyang sudah tua."

"Iya, Eyang. Tua nya kan bisa Sagam ukur make umur."

"Tua memang bisa diukur pake umur, Le. Tapi jangan lupa, kedewasaan bukan dinilai dari umur juga."

Sagam tersenyum manis, "Eyang udah tua tapi masih bijak aja!"

"Kalau bukan Eyang yang bijak, orang mana yang bisa kamu contoh? Haha."

"Ada, Eyang. Anaknya Pak RT."

Tawa itu seakan redup ditelan gelapnya malam. Mengapa? Apakah Sagam salah berbicara?

"Eyang, kenapa?"

"Juleha masih SMP tapi pinter banget ya, Le. Pasti cita-citanya jadi Dokter."

"Bukan Jule, Eyang. Tapi Kanagara, anaknya Pak RT yang cowok."

Lagi-lagi Eyang Sagam tertawa, "sejak kapan toh, Le, Pak Rt punya anak laki-laki?"

"Wah, Eyang ketinggalan berita nih! Padahal ya, kalo Sagam perhatiin Eyang itu paling sepuh diantara lansia lansia yang di desa."

"Maklum, Le. Eyang udah tua, udah pikun."

Tawa keduanya menggelegar diruangan kecil itu. Menemani Eyangnya dengan duduk diatas tikar dari anyaman pandan, seakan mengingatkan pada masa lalu yang baunya masih sangat khas dirumah itu.

Hari semakin gelap, pemuda berambut hitam legam itu tengah duduk di kursi tua, di teras rumahnya. Menatap indahnya langit malam ditemani bulan purnama yang merindu, galaksi dihias taburan bintang bintang kecil. Di sudut bibirnya menghimpit sebatang rokok, tiupan angin malam membuatnya tenang. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik yang memecah keheningan malam, sesekali suara burung malam terbang penuh harapan.

"Kok ada manusia kaya lo ya, Gar."

"Perjumpaan ga masuk akal, juga cerita yang gak kalah masuk diakal."

Jangan tanyakan mengapa tindakan-tindakan yang dilakukan Kanagara tidak membuat Sagam murka. Apabila dikatakan Sagam tak jengkel dibuatnya, itu salah. Sejujurnya dari lubuk hatinya ia tau, namun tidak mengerti.

Malam telah berganti pagi, kemilau mentari masih tampak malu menunjukkan kehangatannya. Hari ini hari Minggu, Sagam malas beranjak dari tempat tidurnya. Namun dari balik pintu Eyangnya tak membiarkan Sagam larut dalam malasnya menjalani hari.

"Le, Eyang udah masak. Tolong nanti dianterin buat orang kerja bakti!"

"Nggeh, Eyang."

Pertengahan jalan, Sagam menjumpai sosok Afkar yang cerewet. Semesta sedang mempercandakan apalagi pagi-pagi begini dipertemukan dengan kuntilanak kejepit modelan Afkar.

"Gue balik arah aja lah."

"Woi manusia setengah udang!"

ANJING.

"Gue gak ada tenaga buat ngeladeni lo, Kar," ujarnya melas, "nih, kasih ke mereka, dari Eyang." Sagam mengulurkan tangannya, guna menyerahkannya rantang susun itu.

Afkar dengan senang hati menerimanya. "Muka lo jangan butek begitu napa, Gam! Fitness dulu sini, biar badan lo tuh kekar dikit," candanya.

"Berisik lo! Nyapu sono yang bersih."

Sagam melirik ke sekitar. Bagus, tidak ada Kanagara di sini. Sungguh, perasaan malasnya bukan untuk menjalani hidup, tapi malas untuk berjumpa dengan Gara.

"Sagam."

"Kan.. Apa gue bilang," Batinnya.

"Baju lo gue balikin besok, belum dicuci."

Gara mengangguk, "tapi aku gak mau bahas baju."

"Duh, Gar. Gue sibuk nih, mau ikut kerja bakti, bareng Afkar."

"Aku juga mau kesana, kita bareng aja."

Afkar mendapat tatapan mengintimidasi dari Sagam, Afkar tau persis kontak mata yang dimaksud oleh Sagam.

"Kelinci dirumah gue lupa belum dikasih pakan, gue cabut dulu!"

"ANJING GOBLOK SETAN NGENTOT"

"Sagam?"

Sagam yang menyadari ucapannya yang sembrono menutup mulutnya, "hah?"

Kanagara menggelengkan kepalanya sembari tersenyum simpul, "ayo! Nunggu apalagi?"

Sagam mengangguk. Mereka berjalan berdua tanpa sepatah kata yang mengindahkan perjalanan mereka.

"Gar," panggil Sagam.

"Iya."

"Gak jadi."

Sesampainya ditempat kerja bakti, Sagam kembali menjumpai Afkar yang tengah asik bercanda bersama Juleha. Temannya itu sungguh keterlaluan.

"Anjing lo, Kar!"

"Setdah, jangan ganggu, Cok! Lo gak liat kita lagi romantis-romantisan."

"Bang Sagam kenapa?" tanya Jule.

"Gue gak kenapa-kenapa. Gue bawa Afkar bentar, ya!" pamit Sagam menarik pergelangan tangan Afkar.

"Jangan tarik-tarik, Bangsat!" geramnya.

"Loh, Bang! Mas Afkar nya mau dibawa kemana?"

"Ngapain sih, Gam? Narik-narik segala lagi. Lo pikir gue tarik tambang!"

Sagam membawa Afkar menuju saung bambu yang terletak pada sebelah pos kamling desa, Sagam ingin membahas taruhan yang direncanakan oleh Ojan, teman sekolahnya.

"Walau gue liat-liat lo gak mahir, gue serahin ke lo aja, Kar."

Sagam telah menjelaskan semuanya pada Afkar, ia butuh hal yang bisa menarik perhatian gadis bernama Arinda, yang katanya primadonanya sekolah. Kalau cuma ngandelin burung doang, kayanya Sagam minder.

"Jangan bawa gue ke masalah lo dong!"

"Katanya temen, temen kok gitu sih."

Afkar mendengus sebal, "youwis, serahin ke gue! Orang mau ngomongin gini aja pake sembunyi-sembunyi."

"Besok, ya! Gue tunggu," ucapan Sagam dibalas anggukan kepala oleh Afkar.

"Nah gitu dong, kita kan kawan!" seru Sagam tersenyum puas.

Sagam hanya menatapi punggung Afkar yang kian jauh dari netranya, kini ia memilih berleha-leha pada saung bambu. Lagipula warga yang kerja bakti jumlahnya tak sedikit, jikalau Sagam join, cuma ngurangin oksigen disana.

Hehe.

V A R I O「 BL LOKAL 」Where stories live. Discover now