2. The Hell

43 6 0
                                    

Binara menatap kearah gerbang sekolahnya dengan sedikit takut, kakinya terasa berat untuk menapak kedepan. Tentu ia tahu bagaimana nasibnya nanti saat kaki mungilnya mulai berjalan di koridor sekolah, menarik napas panjang akhirnya dengan berani ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke pelataran sekolah.

Dan seperti biasa banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Bukan, itu bukan tatapan kagum atau suka melainkan tatapan mengejek dan mencemooh.

Binara tahu kini ia akan segera menderita.

Begitu berhenti didepan pintu lokernya ia terdiam sejenak, sudut matanya menatap sekitar. Dia tahu pasti mereka sudah menaruh sesuatu dilokernya. Loker yang berbeda dari yang lain, loker dengan penuh coretan dan stiker penindasan.

Dan benar saja, begitu ia membuka pintu loker. Bau busuk langsung menyerang indra penciumannya, Binara mundur sedikit kebelakang begitu melihat banyak sisa makanan basi yang memenuhi lokernya, ia menatap sekitar melihat siswa-siswi cekikikan melihat ke arahnya.

Lalu dengan kencang Binara menutup pintu loker dan langsung beranjak pergi dari sana.

Kakinya melangkah terus maju hingga kini ia berdiri didepan pintu kelas dan segera menggeser pintu untuk segera masuk. Sontak atensi seluruh kelas kini terpusat padanya, dengan penuh percaya diri Binara mencoba untuk mengabaikan mereka, lalu segera berjalan kearah bangku pojok tempatnya duduk.

Mengeluarkan buku dari dalam ranselnya dan mulai untuk membaca dan sesekali mencatat bagian penting di buku tulisnya. Binara tahu, mereka tak akan pernah mengabaikannya.

Dan benar saja salah seorang siswa melempar kertas kearah mejanya, lalu dengan sigap ia menyingkirkan kertas itu dengan tangan kirinya. Dan setelahnya seseorang tiba-tiba menyenggol bahunya dan kini tulisan yang tadinya nampak rapi harus terjadi dengan coretan panjang. Binara menghela napas lelah, namun tak ambil pusing ia tetap melanjutkan catatannya.

****

Tiba waktu istirahat tiba, Binara menimbang untuk melanjutkan membaca buku atau pergi kekantin. Hari ini ia terlambat bangun jadi ia lupa untuk membuat bekal seperti biasa. Dan sekarang pukul dua belas siang, istirahat hanya tiga puluh menit dan waktu untuk istirahat kedua masih lama.

Lalu dengan memantapkan hati ia merapikan buku lalu berjalan keluar kelas. Dapat Binara lihat kini mereka menatapnya dengan terkejut lalu tak lama mereka menyeringai dan saling membagi informasi lewat ponsel canggih mereka.

Dan benar saja begitu sampai dikantin kini ia kembali menjadi pusat perhatian, mengabaikan hal itu lalu dengan segera mengambil nampan dan beratur untuk mendapat makan siang.

Ini adalah kedua kalinya ia datang ke kantin pasca setelah kejadian saat tak sengaja menyenggol sang Primadona sekolah, dan kini begitu ia sudah mendapatkan makan siang kakinya melangkah untuk berjalan kearah bangku kosong. Netranya menatap kearah gerombolan orang kaya yang saat ini terus menatapnya.

Mencoba mengabaikannya, Binara dengan cepat mulai menyantap makan siangnya. Namun tak lama ia terhenti begitu merasakan bahunya di rangkul, lalu menoleh ke samping menatap seorang lelaki yang ia benci sedang tersenyum padanya namun Binara tahu itu bukan senyum ketulusan.

Dia adalah Gio, salah satu teman Alan yang sangat ia benci.

Dan benar saja sesuai firasat Binara, minuman soda yang Gio minum kini ia tuangkan pada nasi di nampan makan siangnya. Binara menatap Gio datar, lalu beranjak dari duduk tanpa harus perlu peduli pada tingkah laku lelaki itu.

Alan yang melihat itu berdecak tak suka, ia benci tatapan datar itu. Aletha yang berada dirangkulannya menatap kearah Alan.

"Aku mulai nggak suka kamu terus-terusan peduli sama dia."

Alan menoleh ke samping dan keningnya ngedut tak setuju dengan ucapan sang kekasih barusan.

"Kenapa juga aku peduli sama dia?"

"Dengan kamu yang terus ganggu dia sama aja kayak kamu peduli, bahkan ketika lagi berdua kamu juga selalu mikirin dia."

"Aku mikirin ide untuk buatin dia kejutan, sayang."

Aletha berdecak "Aku nggak suka dia sita waktu kamu."

"Cemburu, hmm?"

Namun Aletha hanya cemberut dan Alan tersenyum begitu melihat sang kekasih merasakan cemburu hanya karena ia begitu bersemangat memikirkan ide untuk merundung Binara.

****

Binara menghela napas untuk kesekian kalinya, menyalakan keran lalu membasuh wajahnya dengan air. Rasa segar menghampiri namun hanya sesaat begitu ia melihat bayangan di cermin.

Dia Aletha, gadis yang membuat semua penderitaan datang padanya.

Aletha menatap pantulan Binara yang saat ini juga tengah menatapnya, tak ada raut takut dari wajah gadis itu justru sebaliknya. Binara terlihat seperti menaruh dendam padanya, dan Aletha pun tersenyum remeh.

"Mungkin kalau gue bilang ini ke Alan kira-kira gimana ya reaksinya?"

Binara pun berdecih "itu juga bukan hal yang harus buat saya panik, bahkan sekalipun kakak harus merundung dengan tangan kakak sendiri, itu juga bukan hal berat bagi saya." Ucapnya datar.

Lalu Binara pun mematikan keran dan berjalan keluar dari toilet mengabaikan Aletha yang menatap tak percaya ke arahnya.

Langkah kaki Binara berhenti sejenak, tangannya memegang dadanya yang bertalu cepat. Bohong jika ia tak khawatir atau tak peduli, nyatanya ia sangat takut jika Aletha akan memprovokasi Alan atau bahkan yang lebih parah seluruh murid sekolah ini.

Posisinya yang sebagai adik kelas tak menguntungkan apalagi ia bukan dari kalangan atas, jika boleh jujur Binara sangat benci takdirnya yang miskin.

Saat akan melanjutkan langkahnya netranya menatap kearah Dita sang mantan sahabat yang kini berjalan sambil menggandeng tangan teman barunya. Keduanya nampak bahagia sambil berceloteh disepanjang jalan, bahkan ketika keduanya melewati dirinya, tak sedikitpun Dita menoleh ke arahnya.

Matanya terus menatap bahkan hingga kini tubuhnya berputar kebelakang dan melihat punggung teman lamanya yang selalu ia rindukan.

"Dita.."

Namun hanya panggilan lirih yang hanya dapat didengar olehnya.

****

Jangan lupa vote dan komen
See you... ❤❣

Psycho-sideWhere stories live. Discover now