3. Trouble

33 6 0
                                    

Binara mengemasi buku-bukunya, hari ini seperti biasanya ia pulang sedikit terlambat, sekolah sudah mulai sepi dan hanya meninggalkan murid yang melakukan ekstrakulikuler.

Kaki mungilnya berjalan santai dikoridor yang nampak sepi matanya menatap kedepan, kali ini ia berjalan memutar agar tidak bertemu dengan Alan seperti tempo lalu. Dan tibalah ia di depan gerbang lalu dengan cepat sedikit berlari untuk keluar dari pelataran sekolah.

Tubuhnya ia duduklah begitu sampai di halte bus dekat sekolah. Menunggu beberapa saat lalu tak lama sebuah bus berhenti didepannya, kakinya ia langkahkan untuk masuk kedalam lalu membayar nominal menggunakan kartu bus.

Jalanan sedikit padat namun untung saja ia dapat sampai di perhentian bus tepat pukul jam enam sore. Kini ia hanya cukup untuk berjalan kaki sedikit untuk sampai di gang rumahnya. Dan begitu sampai Binara nampak sedikit terkejut melihat sepasang sepatu yang berada didepan pintu, namun mencoba tak ambil pusing. Mungkin saja teman sang adik datang berkunjung.

"Dek, kakak pulang."

Netranya bertubrukan langsung dengan sepasang kelereng gelap itu. Netra yang tajam dan sangat Binara benci.

Sang adik yang melihatnya pun tersenyum dengan mulut penuh dan kedua tangannya yang memegang ayam. Pemandangan didepannya tak lain adalah sang adik yang saat ini nampak begitu lahap menyantap ayam goreng dan di sebelahnya ada Alan, sosok yang sering ia hindari.

Lelaki itu nampak tersenyum, bukan senyum teduh dan ramah namun senyuman yang sarat akan ejekan.

Dengan segera Binara berjalan kearah keduanya dan langsung mengambil sepotong ayam dari tangan adiknya dan memasukkannya kembali ke wadah. Ia langsung dengan cepat menutup wadah itu dan langsung menyuruh sang adik untuk memuntahkannya.

Alan yang melihat reaksi Binara pun nampak tertawa puas.

"Tenang aja, ayamnya aman kok. Tapi mungkin lain kali bakalan ada bumbu istimewanya."

Lalu setelah lelaki itu mengambil tasnya di kursi lalu pergi tanpa harus memperdulikan keduanya.

Binara lalu menatap sang adik dengan perasaan campur aduk.

"Kenapa tadi kamu biarin dia masuk Fa?"

Dafa sang adik pun mengerutkan keningnya bingung.

"Bukannya dia teman kakak?"

Binara pun berdecak sebal, "Dia bukan." Jawabnya.

"Lain kali siapapun yang datang kesini maupun dia ngaku temen kakak, jangan pernah bukain pintu." Lanjutnya.

"Memangnya kenapa kak?"

Namun sang kakak tak menjawab pertanyaan nya, justru kini gadis itu kembali berjalan mendekati pintu lalu keluar dari rumah.

Binara sedikit berlari agar ia dapat menyusul langkah Alan, lalu setelahnya dengan cepat menarik tangan kiri lelaki itu. Alan pun yang merasakan tarikan ditangannya pun segera menyentak genggaman tersebut.

Ia lalu tersenyum miring melihat bagaimana wajah kesal Binara, dan Alan menyukai ekspresi itu.

"Tolong. Tolong kalau kakak cuma ingin main-main, tolong berhenti. Kenapa sih kak? Padahal itu juga bukan kesalahan saya. Bahkan kak Aletha juga masih baik-baik aja."

Mendengar nama kekasihnya disebut seketika Alan langsung mendorong bahu Binara dengan kencang hingga berdentuman dengan tembok. Binara pun berdesis merasakan sakit di punggungnya, lalu menatap sengit kearah Alan.

"Jangan berani sebut nama pacar gue sama mulut kotor punya lo."

"Dan apa tadi? Berhenti? Bahkan mau lo sujud di kaki gue pun, gue nggak bakalan berhenti cuma karena lo suruh." Lanjutnya.

"Kenapa?" Lirih Binara.

"Karena emang lo pantes dapetin ini."

Lalu setelahnya lelaki itu berjalan meninggalkan Binara yang saat ini mengepalkan tangannya kuat.

****

"Selama datang, selamat berbelanja."

Sapaan ramah Binara memenuhi ruangan toserba. Hari ini ia bekerja seperti biasa di shift malam, hidup hanya berdua bersama adiknya tentu membuat Binara harus pintar dalam membagi waktu.

Senyumnya tak pernah luntur melayani pembeli dimeja kasir. Lalu matanya yang sejak tadi memancarkan aura positif kini tiba-tiba redup tergantikan dengan raut datarnya.

Didepannya sosok Alan kini berhadapan dengannya, namun kali ini ia tak sendiri. Ia bersama dengan salah satu temannya, keduanya nampak terlihat senang begitu melihatnya.

Namun Binara harus tetap profesional dalam bekerja, jadi seperti biasa ia tetap melayani pelanggan walaupun itu bukan pelanggan yang ia inginkan.

"Totalnya jadi Rp 250.000,00"

Alan lalu mengeluarkan beberapa lembar uang namun bukannya langsung membayar karena ia ingin bermain sedikit dengan kelincinya.

"Nggak nyangka ternyata lo semiskin itu, udah ngemis beasiswa sekarang juga kerja disini, jadi kasir pula. Lebih baik nggak usah sekolah aja kali ya?" Sindirnya yang langsung dibalas dengan tawa dari Kevin, teman Alan.

Namun Binara hanya diam dan hanya menatap keduanya datar. Hal itu tak membuat Alan kesal karena ia tau Binara sedang menahan amarah.

"Nih lima ratus ribu. Sekalian beli harga diri lo."

Lalu setelahnya Alan lembar beberapa lembar uang itu didepan wajah Binara, selanjutnya Kevin pun mengambil kantong belanja setelah mengedipkan sebelah matanya.

Beberapa pelanggan yang tadi mengantri kini hanya mampu menatap prihatin kearah Binara yang hanya berdiam sambil menundukkan kepalanya. Namun tak lama ia tersenyum tipis seolah mengatakan ia baik-baik saja.

"Silahkan selanjutnya."

Dan kembalilah ia menghitung jumlah belanjaan pelanggan lain tanpa harus memperdulikan uang Alan yang kini tercecer di bawah meja kasir.

****

Sorry for typo

Ps;
Toserba >> toko serba ada (seperti minimarket)

Psycho-sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang