4. Storm

30 5 0
                                    

Binara merebahkan tubuhnya di kasur tipis miliknya. Hari ini sama seperti hari sebelumnya, hari yang sangat melelahkan. Ingin sekali ia keluar dari lingkaran setan ini.

Keluarga yang hancur, kedua orang tuanya bercerai dan kini keduanya sudah memiliki keluarga masing-masing. Meninggalkan dirinya dan sang adik layaknya benda tak berharga, apalagi ia juga sebagai tulang punggung keluarga. Kebutuhan ekonomi tentu juga menjadi beban pikirannya, nyatanya hasil jerih payahnya juga kurang cukup untuk hidup berdua bersama dengan sang adik.

Walau terkadang sang ayah atau ibu mengirim uang tentu saja itupun kurang. Apalagi tak senantiasa mereka memberi, membuat Binara harus kalang kabut mencari rupiah demi rupiah.

Banyak beban yang gadis itu pikul, sang adik yang saat ini sudah duduk dibangku kelas tiga SMP, lalu dirinya yang masih duduk dikelas satu SMA, memangnya apa yang bisa dilakukan oleh bocah remaja seperti mereka.

Suara ketukan pintu terdengar, Binara pun dengan malas bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar.

Ia menyibak sedikit gorden jendela, dan setelahnya membukakan pintu begitu tahu sang ibu yang datang berkunjung.

Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyerahkan sebuah tas berukuran sedang yang dapat Binara tebak pasti kebutuhan bahan pokok. Gadis itu menerimanya, tak ada basa-basi untuk sekedar menyuruh sang ibu masuk atau sekedar duduk.

Sang ibu tahu kekecewaan sang putri, jadi ia merogoh tas kulit yang ia bawa lalu memberikan sebuah amplop pada Binara.

"Maaf ya kak, cuma ini yang bisa ibu beri."

Binara hanya mengangguk, lalu menerima amplop tersebut dan menutup pintu.

Sang ibu mencoba untuk tersenyum walau Binara tak dapat melihat, setelahnya wanita paruh baya tersebut melangkahkan kakinya menjauhi area rumah.

Binara menaruh tas tersebut diatas meja dapur. Ia melihat kearah amplop yang tadi sang ibu beri, lalu kembali berjalan kearah kamar tak menyadari air mata perlahan keluar dari sudut mata kirinya.

***

Binara terbangun dari tidurnya begitu meja yang ia gunakan untuk tidur di tendang dengan sengaja. Hari ini guru mapel bahasa inggris sedang ijin, jadi beliau hanya memberi tugas. Dan dapat ditebak kelas hari ini sangat berisik, dari pada melakukan hal yang tak berguna lebih baik ia tidur saja, itulah yang Binara pikirkan beberapa menit lalu sebelum tendangan kuat di mejanya ia dapatkan.

Kondisi kelas yang tak kondusif membuat Binara jengah, jadi ia mengambil bukunya dan keluar dari kelas.

Kaki mungilnya menapaki tangga untuk menuju rooftop sekolah. Semoga saja tak ada yang bolos kesana hari ini, dan sepertinya keadaan berpihak padanya. Binara tersenyum tipis begitu mengetahui rooftop sedang kosong hari ini.

Jadi ia mendudukkan tubuhnya di bangku yang tersedia disana, bangku ini biasanya diduduki oleh siswa yang bolos.

Ia menatap kearah awan yang nampak cerah, wajahnya tersapu lembut oleh sinar matahari pagi, dan rambut depannya terbuai indah oleh angin pagi yang sejuk.

Sampai sebuah kaleng minuman soda mendarat tepat di samping kepalanya, Binara yang tadi memejamkan matanya kini kembali pada kesadaran.

Dapat ia lihat lelaki congkak dan penuh dengan aura setan itu kini berjalan ke arahnya. Binara benci situasi ini, tubuhnya perlahan bangkit dari bangku sambil membawa buku. Ia berjalan kearah pintu untuk kembali turun karena malas meladeni sang pemeran utama.

Namun belum sempat ia membuka pintu, tangannya lebih dulu ditarik hingga kini keduanya saling berhadapan. Netra gelap itu memandangnya dingin, Binara tahu kini ia sedang dalam kondisi yang tak baik.

Kepalanya mendongak menatap balik sorot dingin itu dengan sorot datarnya. Alan memiringkan wajahnya, dalam hati mendengus karena gadis di hadapannya kini terlihat sangat berani menantang dirinya.

Lalu setelahnya ia memundurkan tubuhnya, tangannya ia ulurkan untuk menyelipkan rambut Binara yang menjuntai lalu ia selipkan kebelakang telinga, tangan itu kini berhenti ditengkuk Binara namun tak lama kepala gadis itu di dorong ke samping hingga Binara hampir terjatuh.

Dan tanpa sepatah kata, Alan pergi meninggalkan Binara yang saat ini memegang lehernya yang sedikit linu karena dorongan yang dilakukan oleh Alan.

***

Binara berjalan menyusuri lorong kelas yang mulai ramai karena saat ini tepat jam istirahat. Setelah mengerjakan tugas bahasa inggris tadi di rooftop, Binara memutuskan untuk turun untuk mengambil bekal makan siangnya.

Namun kali ini ada yang sedikit berbeda, memang ketikan dia berjalan di koridor pasti banyak murid yang akan menatapnya sambil berbisik. Kali ini terasa berbeda bagi Binara, karena saat ini mereka memberikan tatapan yang menurut Binara aneh dan jangan lupakan ponsel ditangan mereka ketika menatapnya.

Namun ia mencoba tak ambil pusing, ia tetap berjalan kearah kelasnya tanpa harus memperdulikan hal yang menurutnya tak penting itu.

Sesampainya di kelas, ia kembali menjadi pusat perhatian. Namun kembali lagi, Binara tak peduli dengan hal itu. Gadis itu tetap berjalan kearah bangku pojoknya lalu mengeluarkan bekal makan siangnya.

Belum sempat ia memakan bekal tersebut, seseorang melempar bekalanya dengan keras ke samping. Binara jengkel, namun ia tahan. Ia mendongak menatap siapa pelaku yang sudah dengan seenak hati menggangu makan siangnya.

Dan di hadapannya kini adalah Aletha, sang primadona sekolah.

Gadis itu nampak emosi terlihat dari dadanya yang naik turun seperti siap untuk menyemprotnya dengan kata-kata kasar. Binara mengerutkan kening bingung, sungguh aneh melihat Aletha yang selama ini pendiam kini dengan terang-terangan mengganggunya.

Suara tamparan keras seketika membuat kelas hening.

Binara yang masih dengan wajah datarnya memegang pipi kirinya yang beberapa detik lalu menjadi sasaran empuk sang primadona.

"Udah miskin, murahan lagi."

Binara mengerutkan kening tak suka.

"Gak usah kepedean lo bakal jadi orang ketiga dihubungan gue sama Alan. Dasar perek lo!!"

****

Don't forget to follow^^

Psycho-sideWhere stories live. Discover now