32. Sepuluh hari lagi

431 94 12
                                    

Dua puluh jam berlalu dengan cepat sejak kejadian malam itu.

Di tempat yang sudah berbeda, ruang berdiameter 4x4 itu diisi oleh delapan orang. Satu di antaranya terbaring di atas bangsal. Kedua kakinya dibebat perban. Berbagai alat penunjang hidup terpasang rapi. EKG di sebelah bangsal menunjukkan detak jantung pasien yang berjalan stabil.

"Ini kalian serius nggak ada yang tahu kronologinya?"

"Bahkan bang Yuta yang datang paling awal juga nggak tahu, Suk. Di sana cuma ada Jeongwoo dan Haruto."

"Terus lo tahu darimana kalau yang nyamar itu Doyoung?"

"Gue ... nggak tahu, sih .... Tapi entah kenapa, selama perjalanan ke lokasi itu, di otak gue udah terbayang-bayang kejadian ini."

Suara-suara itu terdengar meredam di telinga pemuda yang saat ini menggeliat di atas bangsal. Menggerakan kepalanya ke sana kemari. Sepasang mata terbuka perlahan-lahan. Lantas menutup lagi sebab terkejut oleh pancaran cahaya lampu yang berpendar di atas kepala.

Mulai beradaptasi dengan cahaya, pemuda itu membuka matanya lagi. Kali ini mencoba duduk.

Baru setengah gerakan, ia meringis. Kakinya terasa kebas untuk digerakkan.

"Eh, Jeongwoo!"

Satu pemuda yang duduk paling dekat dengan bangsal cekatan membantu. Memegangi punggung temannya. Lima detik, ia sudah terduduk sempurna di atas bangsal.

"Jeongwoo, lo udah mendingan?" Suara pelan namun tegas itu menginterupsi.

Jeongwoo mengangguk samar untuk pertanyaan Yoshi.

Lengang sejenak di sekitar mereka. Hanya embusan dari pendingin yang mendesis pelan di ruangan itu.

Kembali pada dua puluh jam yang lalu. Perjalanan paling menegangkan dalam seumur hidup. Bersembunyi dari penguntit. Menyaksikan kematian seorang teman di depan mata.

Ah, iya. Jeongwoo baru ingat. Kepalanya mendadak sakit.

"Di-di mana Haruto?"

Semua orang berpandangan. Saling menyikut lengan satu sama lain. Menyuruh salah satu dari mereka untuk angkat bicara.

Namun tetap, tidak ada yang mengalah. Hanya tatapan sendu yang mampu mereka layangkan sebagai tanggapan.

"Haruto ju-ga di sini, kan...? To-long, jawab...."

Seseorang yang membantunya duduk tadi menepuk pelan pundak Jeongwoo.

"He already passed away...," lirih Hyunsuk nyaris tanpa suara.

Bulir-bulir kristal segera menumpuk di ujung mata. Satu-dua jatuh melinangi wajahnya yang pucat pasi. Tanpa bicara sepatah kata. Jeongwoo terisak pilu.

Suara deheman kecil menginterupsi kesunyian.

"Jeongwoo, maaf ...."

Seorang pemuda dengan rahang tegas berdiri. Mendekat hati-hati ke bangsal Jeongwoo.

"Perihal tadi malam, Gue belum ada di lokasi sewaktu kalian di sana. Itu Doyoung. Dia yang—"

"Pergi."

Gerakan Jihoon langsung terhenti. Tubuhnya mematung. Pun dengan anggota lain yang mengembuskan napas gusar. Sudah diduga, hal ini pasti akan terjadi.

Bagaimanapun, kejadian semalam telah menciptakan trauma besar bagi Jeongwoo. Klarifikasi sekali tidak akan menyelesaikan masalah semudah itu.

Tanpa menatap wajah Jihoon. Jeongwoo berujar datar sekali lagi. "Apapun itu, lo tetap pengkhianat. Pergi dari sini." Mulutnya bergetar.

Semua anggota ikut mematung. Tak seorang pun berani menginterupsi. Aura mencekam di antara Jeongwoo dan Jihoon membuat jantung mereka berdegup kencang. Ini bukan situasi yang tepat untuk berdebat. Tidak ada yang bisa disalahkan di sini.

[ⅱ] Akuma of Eternity || Treasure ft. EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang