bagian 8.

39 7 1
                                    

Jeonju.



Menepuk pundak kecil yang menyandar di sisi kiri dirinya, Yi an berujar,
"Kai! Bangun. Kita sudah sampai."

Eng..

Anak manis itu mengiyakan dengan anggukan. Mengucek mata sembari memperhatikan pemandangan yang tak pernah ia temui sebelumnya.

Hamparan sawah terpampang di sepanjang jalan yang akan menjadi tempat persinggahan terakhir bus. Diantara penumpang beberapa telah bersiap, memeluk barang bawaan, menanti bus berhenti.
Diantara mereka ada yang membawa keranjang berisi ayam jantan, biji wijen, pakan ternak, dan sebagainya.

Beberapa ibu paruh baya terlihat memperhatikan ayahnya sembari berbisik. Sang ayah tak berani menatap, jadi Yian fokus memperhatikan penumpang yang bersiap turun.

Seorang pemuda berkulit gelap tampak mencolok. wajahnya tak bersahabat. Pemuda tersebut terus melihat keluar jendela sembari menenteng tas ransel hitam. Yi an dan pria itu sepersekian detik sempat saling tatap.

"Ayah, kenapa orang-orang disini sangat menakutkan?" Cicit Kai.

Sepasang kakek dan nenek yang duduk berhadapan dengan Kai_Yi an tersenyum mendengar pengaduan anak itu.

"Hanya terlihat seperti itu, sebenarnya mereka orang baik."

"Wanita berambut keriting hitam itu, dipanggil bibi Yi. Dia tinggal seorang diri dan menjadi wanita andalan desa. Jangan lihat tampang judesnya. Dialah penengah para petani dan pengumpul hasil panen." Imbuh si kakek.

"Dan yang duduk di sebelahnya ada Jan di. Biasa dipanggil bibi Jan. Walau tampak keras diluar, dia wanita dengan kelembutan hati sesungguhnya." Sambung si nenek.

Ayah dan anak itu saling pandang, lalu mengangguk.

"Kalian akan menetap disini?" Lanjut si nenek.

"Ya, nek.
Ringkas, Yi an bercerita tentang rumah yang akan ia datangi.

_

Berdasarkan informasi yang diperolehnya dari si kakek dan nenek, Yi-an_Kai akhirnya tiba disebuah hunian besar. Adalah rumah model jaman dahulu korea yang memiliki banyak sekat ruang.
Dipandang dari atas, dan dari pintu utama masuk, hunian luas itu berbentuk C.

Memasuki pintu kayu dua sisi ini, ditengah pekarangan terdapat meja kayu besar yang telah dimakan usia. Pun pohon jeruk berbuah lebat terkurung disana.

Seekor anjing berbulu coklat menyambut dengan gonggongan membuat Kai cuit nyali. Segera ia menyembunyikan diri dibalik kaki jenjang sang ayah.

"Moli, apa yang kau lakukan. Kan sudah ku katakan berhenti menggonggong." Sosok wanita beruban, berjalan bungkuk memegang rotan.

"Kalian sudah datang rupanya. Masuklah! Tunggu apa lagi."

"Moli! Masuk."

Ah.. rupanya selain Yian dan Kai. Wanita tua ini kehadiran tamu lain. Dia pria berkulit legam dengan ransel. Tanpa basa-basi mendahului Yi-an dan duduk dibangku pekarangan. Matanya terpejam seolah tiada beban. Kai menatap tak suka. Pria itu sempat menyikut lengan ayahnya dengan ransel yang ia pikul. Kenapa tidak meminta maaf.

Nenek berambut uban memperhatikan. Menanti reaksi Yian_ Kai.

"Tunggu apa lagi? Kalian akan tetap berdiri didepan pintu. Menghalangi rezeki masuk." Dumel si nenek.

Astaga!
Apakah kakek dan nenek yang tadi ia temui adalah pembohong? Kai belum bertemu penduduk ramah. Anak berambut legam itu memegang erat kain celana Yian.

"Tidak apa-apa, Kai. Ayo masuk." Lembut Yian.

.

"Aku tidak akan berbasa-basi. Kau dan putramu boleh menempati ruang disana." Unjuk nenek pada ruang disebelah ruang terbuka yang adalah ruang dapur.

Welcome Home (On Going) Where stories live. Discover now