bagian 10.

36 7 0
                                    

Mulut Kai terbuka lebar disertai pandangan takjub, tepat setelah beberapa saat sang ayah mendorong pelan sliding door. Untuk pertama kali anak itu melihat sosok yang baginya bagai peri. Beda dengan Yian yang saat itu berada disamping putranya. Dia sampai tak berkutik. Tak beralih dari pembatas ruang miliknya dan teras depan.

"Kalian berdua, kemarilah."

Titah nenek sembari menjelaskan kalau si tamu untuk sementara akan tinggal bersama mereka. ketika si nenek mengakhiri kalimat, tak satupun diantara kedua pria berkomentar.

Hanna pun diam tak berkata ketika tanpa sengaja berkontak mata dengan Yi-an. Bertahun tidak saling temu dan kini mereka saling berhadapan. Perasaan seperti ini sulit dijelaskan.

Kedatangan pengutus dari desa, membuat lamunan Yi-an Hana tak bertahan lama. Pria asing tersebut memberitahu agar dua pria yang beberapa hari lalu tinggal di rumah nenek berserta Hana agar hadir mengikuti pertemuan perkenalan dengan tetua desa.


_




Yi an pov,

Tidak ada pertanda kalau kami akan kembali bertemu. Seperti mengulang waktu, kini aku mengikuti dia selayak kebiasaan lamaku. Tak jauh dari rumah kepala desa. Di sanalah kejadian bermula. Ah, andai saja di ruang itu tak terpasang televisi. Tidak, harusnya sedikit saja kami telat memasuki ruang pertemuan. Tidak_ oh, andai saja.

Huh..

Melihat ayun langkah Hanna, aku dapat merasakan bagaimana terlukanya hati wanita itu. Sudah puluhan mil ia melangkah, masih tak menampakkan keinginan berehat.

Hingga tiba tak jauh dari warung tenda, barulah Hana berhenti berjalan ke depan. Sebaliknya ia mengambil langkah berbeda, mengamati lautan disisi kiri jalan yang ombaknya berulang kali menghempas batu karang.

Langkahku kian ku percepat. Dia tak akan melakukan hal bodoh,kan?
Harusnya. Hanna yang ku kenal tak semudah itu menyerah. Aku tak terlalu yakin.

Bisa ku perkiraan bagaimana ekspresi wajahnya ketika menatap laut. Andai saja aku bisa sedikit lebih dekat dan menghiburnya. Mengatakan semua akan baik-baik saja. Tapi tak ku lakukan. Aku tahu ini bukan saat tepat.

Duduk di meja tersedia, hanya ini yang dapat kulakukan. Mengamatinya dalam diam. Ketika dia berbalik, ku palingan wajah. Dia rupanya ingin rehat. Duduk di meja dan pandangnya tetap ke arah sama.

Samar ku dengar dia memanggil bibi warung tenda mobil, memesan soju.

Selama menunggu datangnya pesanan, kepalanya tertunduk. Kedua tangannya seperti menutupi wajah. Apa dia baik-baik saja? Aku yakin tidak. Wajar kalau dia terpukul.

Aku terus memperhatikan. Hingga arak komersial tiba, Hana lantas menuang dan meneguk. Semula dia terlihat mengontrol emosi. Dari tempatku berada, ku rasa dia sedang memikirkan sesuatu.

Pesananku pun tiba. Tapi tak ku cicipi. Tak bisa kulakukan. Aku berpantang minum.

Ku perhatikan jam yang tertera pada layar ponsel. Tanpa terasa dua jam berlalu dan dia masih ditempat semula. Entah sudah berapa kali menambah pesanan. Kesabaranku tak sebanyak itu. Kakiku terus bermain dibawah meja. Menepuk berulang. Haruskah ku sambangi saja dia? Aku terus menimang.

Terakhir, ku putuskan melakukannya.

"Cukup." Aku menghentikan dia yang hendak menuang kembali Soju. "Sampai kapan kau mau disini." Tanyaku. Wajahnya pucat. Tentu. Aku saja kedinginan. Kedua tanganku ku masukkan dalam saku jaket dalam posisi berdiri.

"Eoh, Kau? Teman kamar sebelah." Ucapnya. Matanya sayu begitupun dengan wajah. Dia masih mengingatku.

"Ya, Hanna Nakamoto."

Welcome Home (On Going) Where stories live. Discover now