Part 1

221 25 2
                                    

Sebelum baca, silakan follow dulu ya✨
🌼🌼🌼🌼🌼🌼

Seorang pria jangkung yang sedang mengarahkan selang air ke semua sayuran segarnya menoleh tatkala mendengar adzan Dzuhur berkumandang. Sudah waktunya berhenti untuk melaksanakan ibadah lalu beristirahat.

Dia Asyrafi, pria tampan nan sederhana idaman para gadis di kampung Seluyur. Pekerja keras, terpandang sopan dan juga taat agama. Jangankan para gadis, para orang tua pun berbondong-bondong mendekat dengan harapan bisa menggaetnya untuk dijadikan menantu.

Nasib mujur jika memiliki menantu seperti Asyrafi, nyaris sama isi pikiran para orang tua itu.

Asyrafi adalah anak bungsu dari bertiga saudara, kedua kakaknya sudah menikah bahkan sudah memiliki anak. Tinggal dirinya yang lajang, menjadi bulan-bulanan setiap hari raya para saudara, ditanyai kapan dirinya melepas masa lajang.

Trauma, tak sedikit pula yang menanyakan hal ini walaupun dengan intonasi suara yang berbeda alias berbisik-bisik.

Asyrafi hanya tersenyum, selalu itu yang dia lakukan ketika enggan membahas hal-hal yang mengganjal relung hatinya. Kesedihan dan rasa trauma itu sepertinya kenyataan sampai membuatnya seperti enggan membuka hatinya lagi. Meskipun jelas dia paham betul bahwa memiliki pasangan hidup adalah hal yang sangat penting.

Sang ibu yaitu Yuningsih pun selalu berharap dan berdoa agar anak bungsunya mendapatkan pasangan terbaik.

Yuningsih sudah menjanda sejak sepuluh tahun lalu, suaminya Broto meninggal karena sakit. Perkebunan yang dirawat oleh Asyrafi sekarang adalah peninggalan suaminya. Pesan Broto jangan sampai terjual dalam keadaan sesulit apa pun, penuh kenangan dan cucuran keringat perjuangannya untuk membesarkan ladang perkebunan dengan waktu yang tidak sebentar dan tidak mudah.

Asyrafi dipercaya merawat dan menjaganya, karena kedua kakaknya Arum serta Haris sama sekali tidak memiliki keahlian dibidang pertanian. Mereka tidak mewarisinya, kepiawaian Broto seperti sepenuhnya hanya diwariskan kepada si Bungsu, Asyrafi.

“Mas, sudah Dzuhur!” seru Adam, tetangga sekaligus sahabat terbaik Asyrafi.

Asyrafi mengangkat tangan, tersenyum, “Iya.”

Asyrafi mulai mencuci tangannya, dia melangkah ke saung tak jauh dari tempatnya untuk mengambil rantang berisi bekal yang dibuatkan oleh Yuningsih yang sudah dia santap tiga jam lalu.

Mumpung Yuningsih ada, dia selalu siap sedia menyiapkan makanan untuk anak bungsunya. Karena setelah Haris menikah, Haris memutuskan memboyong ibunya itu ke Palembang. Haris takut Asyrafi yang sibuk tidak bisa memperhatikan ibu mereka secara penuh, juga takut adiknya itu terlalu lelah karena perlu merawat kebun dan juga ibu mereka. Padahal, Asyrafi tidak masalah sama sekali, dia malah senang ketika ibunya berada dekat dengannya karena tinggal sendirian tidaklah menyenangkan.

“Alhamdulillah semua sayuran bagus-bagus, Mas. Nggak kayak waktu kemarin, banyak hama,” kata Adam memulai percakapan ketika Asyrafi mendekat.

“Iya, Alhamdulillah.” Singkat pria itu menjawab dan mata sipitnya sekilas menangkap sosok wanita berkerudung maroon sedang melangkah sendirian.

Perutnya besar, apakah dia, wanita itu hamil?

Mendadak Asyrafi terlihat gelisah.

“Dua Minggu lagi kita panen, Mas. Pokoknya nanti aku siapin semuanya,” kata Adam antusias. Panen adalah momentum yang paling dia tunggu-tunggu. Dia lebih antusias ketimbang sang empunya kebun.

“Hmmm,” balas Asyrafi asal, tidak terlalu fokus pada apa yang dikatakan Adam. Matanya terus mencuri-curi ke arah sana, wanita itu sebentar lagi lenyap di kelokan.

Asyrafi Where stories live. Discover now