Part 5

54 13 1
                                    

****

“Apa kita jodohkan saja Asyrafi, Bu? Daripada terus-terusan melihat dia seperti masih menaruh rasa sama mantannya,” celetuk Haris, mendengar keluhan Yuningsih perihal adiknya membuat Haris memilih jalan buntu.

Perjodohan tidaklah buruk, karena Haris pun tahu bagaimana sosok gadis yang akan disenangi Asyrafi.

Akan tetapi Yuningsih menggeleng kepala, tanda tak setuju.

“Kenapa, Bu? Kata Ibu khawatir,” ucap Haris melanjutkan.

“Tapi nggak dijodohin juga. Anak itu mana mau,” balas Yuningsih. “Waktu Ibu mau pulang. Kami ketemu gadis cantik di jalan, dia sama orang tuanya menumpang mobil bak kita. Cantik nian itu anak tapi juteeeek,” tuturnya kemudian terkekeh.

Harus ikut terkekeh dan jelas dia bisa menebak bahwa gadis itu tidak memasuki kriteria gadis yang diinginkan Asyrafi.

“Susah amat adikmu dapat jodoh. Usianya sekarang udah 27, semoga aja tahun ini dia menikah.” Yuningsih berbicara dengan pandangan mata yang kosong.

Hening, mereka berhenti berbicara dan sekarang malah sama-sama melamun dengan kemelut isi pikiran masing-masing.

****

Hari ini Suroso dan Rini memilih berjalan-jalan pagi untuk sedikit meringankan beban pikiran. Berharapnya begitu tetapi ternyata mereka malah dicela oleh orang-orang yang mengenal perangai mereka ketika kaya raya sebagai keluarga yang arogan dan sombong. Suroso tidak dapat membantah, dia salah, lupa diri.

“Sekarang udah miksin malah minta bantuan sama pak Muham. Nggak tahu malu, dulu kan pak Muham sama keluarganya pernah nggak dianggap waktu mereka bertamu. Saya ingat betul ceritanya,” tutur seorang pria yang sedang menaikkan satu kakinya sambil menikmati kopi.

Rini dan Suroso memilih pura-pura budek dan melanjutkan langkah entah mau ke mana.

Ketika akan melewati sebuah gang, kebetulan Asyrafi juga sedang berjalan dan Suroso langsung melebarkan senyuman.

“Eh ini yang waktu itu,” kata Suroso dengan riang.

“Hmm iya, Pak.” Asyrafi tersenyum kecil. “Ibu sama Bapak mau ke mana?” Asyrafi melanjutkan karena dia menangkap kebimbangan di wajah kedua orang tua ini.

“Ah biasa jalan-jalan saja. Di sini udaranya sejuk, masih asri.” Suroso terkekeh dan Asyrafi mangut-mangut.

“Oh iya, iya, kalau begitu saya duluan.”

“Iya silakan,” balas Suroso.

“Permisi, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Suroso dan Rini menjawab kemudian melihat punggung pemuda itu yang semakin jauh.

“Gantengnya itu anak, Pak. Mana sopan, baik,” puji Rini dan melintas rasa ingin memiliki Asyrafi sebagai menantu.

“Iya, jarang sekali kita menemukan pemuda sesopan itu di kota.” Suroso terus menatap Asyrafi dan Rini di sebelahnya menyimpul senyum. “Eh siapa ya namanya? Dua kali ketemu lupa nanya.” Suroso sedikit menyesal.

“Aku juga nggak keingetan buat nanya, Mas. Rumahnya pasti sekitaran sini,” balas Rini dan Suroso mendesah kecil lalu mengajak istrinya itu kembali berjalan pergi. Pertemuan mereka dengan Asyrafi membuat mereka mendadak lupa dengan celaan yang mereka terima.

Sementara itu, di tempat Muham dan Tantri. Mereka kedatangan Arafah yang ingin menumpang ke kamar kecil. Sayang, keduanya tidak berada di rumah, mereka sedang pergi ke pasar berjualan dan hanya ada Andin. Kedatangan Arafah jelas sekali membuat Andin terganggu, gadis itu bahkan tidak mau mengizinkan Arafah masuk.

kami“Orang tua aku lagi nggak ada. Lain kali aja datang lagi kalau emang beneran ada perlu,” ketus Andin.

“Ndin, aku cuman mau numpang ke kamar kecil. Nggak tahan kepingin anu....” Arafah berbicara dengan wajahnya yang sudah memerah.

“Nggak bisa. Di rumah kamu juga kan ada kamar kecil, ngapain numpang di sini segala? Nyusahin banget.” Andin mendelik sebal dan Arafah terbelalak mendengarnya.

“Aku mau buang hajat, Ndin. Nggak kuaaaaaat.”

“Dih! Apalagi itu. Enggak, ya, dasar jorok. Buang aja sana di kali.” Andin semakin mempererat pegangannya pada pintu, takut Arafah menerobos masuk.

“Ndin, cuman sekali ini. Aku udah nahan pengen Bab sejak kedatangan aku di kampung ini, udah nggak kuat. Tolong.” Arafah mendorong pintu dan Andin balas mendorongnya dari dalam.

“Enggak!” bentak Andin.

“Sebentar doang.” Arafah memaksa.

“Nggak, ya! Aku nggak mau, dasar nyusahin!”

Keduanya sama-sama saling mendorong, beberapa kali Arafah berkesempatan untuk masuk tapi Andin lagi-lagi berhasil mencegahnya. Memerah sudah wajah Arafah karena kebelet serta mengeluarkan tenaga untuk beradu otot dengan sepupunya itu.

“Andin!” geram Arafah dan berusaha mendorong lagi tetapi kali ini Andin mendorong wajahnya sampai dia mundur kemudian Andin membanting pintu sekeras mungkin.

“Dasar manusia pelit!” jerit Arafah dan akhirnya dia melengos pergi. Andin yang mengintip dari balik kaca jendela pun bernapas lega melihat kepergian Arafah.

Arafah menangis tersedu sembari terus berjalan menuju rumah gubuknya. Rasa kebelet yang semula menderanya mendadak sirna dan terganti dengan rasa sakit hati. Separah itu Andin sampai tidak mau menerimanya? Arafah merasa sangat sakit hati.

“Awas saja kalau hidup kami sudah kaya lagi,” ancam Arafah dan langkahnya terhenti. “Aduuhhh!” pekiknya, sandalnya putus dan dia hampir saja jatuh karena tersandung.

Arafah menjerit kesal dengan air mata pula yang terus berlelehan.

“Apes banget! Udah hidup di kampung, semuanya susah. Gara-gara ayah! Kenapa sih malah memilih hidup di kampung begini?” gerutu Arafah dan berjongkok mengambil sandalnya.

Tak bisa dia pakai lagi, terpaksa bertelanjang kaki. Kerikil tajam menusuk telapak kakinya berulang kali pun juga membuat Arafah meringis kesakitan, air matanya semakin deras dan langkahnya tak lama terhenti lagi ketika berpapasan dengan Asyrafi.

“Kamu—“ Kalimat Asyrafi menggantung, berubah pikiran untuk bertanya mengapa mata cantik gadis itu dihiasi bulir-bulir bening.

Dada Arafah kembang kempis, entah kenapa melihat pria di hadapannya, amarah di dadanya semakin mendidih.

“Apa? Kenapa hah!?” sentak Arafah dan kaki panjang pria di hadapannya sontak mundur menjauh. Bagaimana tidak, Arafah menyentak dengan mata melotot.

Arafah berkacak pinggang. “Ngapain kamu lihatin saya begitu?” semburnya lagi dan kening Asyrafi terlipat dalam-dalam, tak paham mengapa gadis ini memarahinya. “Orang-orang di sini sama aja ya ternyata. Nyebelin semua.” Arafah berbicara sambil menunduk, mengambil sandalnya yang sempat dia jatuhkan.

Asyrafi menarik napas dalam-dalam, mulai berbicara. “Saya—”

“Diam!” Arafah memotong kalimatnya, sontak bibir Asyrafi merapat kembali.

Asyrafi memijat pelipisnya, mendengar Arafah yang terus mengomel entah karena apa. Arafah kini melangkah, sengaja menabraknya. Asyrafi mengusap dadanya pelan, antara kaget dan ngilu menjadi satu. Kini, isi pikirannya dirasuki rasa penasaran, mengapa gadis itu menangis sekaligus marah-marah?

Asyrafi Where stories live. Discover now