Part 3

47 15 0
                                    


Di rumah Tantri, wanita itu kaget karena Asyrafi dan Yuningsih mengantarkan mereka bertiga. Lekas dia memanggil suaminya Tendy dan mereka bergegas mendekati.

Merek semua bergantian mengucap salam, Tantri dan Tendy menjawab dengan air muka keheranan.

“Loh, Bu Yuningsih?” ucap Tantri dan wanita yang dia sebut itu pun tersenyum.

“Saya sama As tadi lewat, ketemu sama mereka bertiga di jalan. Jadi As memberikan tumpangan, Bu,” cetus Yuningsih menjelaskan dan suami-istri itu mangut-mangut.

Tantri dan Rini saling bersalaman juga berpelukan, begitu pun Tendy dan Suroso.

Mereka mengobrol sekenanya, sementara Arafah bungkam dan dari dalam rumah kerabatnya itu seorang gadis mengamati dengan wajah menggelembung jengkel. Gadis itu tidak menyukai kedatangan mendadak Arafah dan orang tuanya, terlebih mereka bertiga akan tinggal entah sampai kapan di kampung tersebut.

“Emmm, maaf semuanya kami nggak bisa lama-lama soalnya mau ke stasiun. Takutnya Ibu tertinggal kereta,” ujar Asyrafi dan semuanya menengok padanya.

“Terima kasih banyak, ya,” kata Suroso riang.

Asyrafi dan ibunya menjawab kemudian mereka lekas undur diri. Arafah tetap saja memancarkan aura menyebalkan dan Rini hanya bisa menghela napas.

“Ayo kita masuk. Kalian pasti capek,” ajak Tantri dan Muham dengan Suroso membawa tas-tas berat itu.

Mereka semua masuk dan Arafah kini memerhatikan rumah kerabatnya tersebut. Tidak seperti yang dia bayangkan. Rumah berlantai satu itu sebenarnya lumayan untuk ukuran tempat tinggal di perkampungan, tetapi karena ekspektasi Arafah selalu tinggi, dia jadi selalu memandang rendah segalanya.

“Ndin, ini saudara kita sudah sampai. Keluar, ayo!” Muham berseru dan anaknya yang tak lain adalah Andin keluar dengan bibir cemberut.

Arafah diam, menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Sepertinya keduanya tidak akan akur.

“Ini Arafah,” kata Rini pelan.

Andin mendengus sebal.

“Mereka kerabat kita. Wajar kalau kalian nggak saling kenal, dulu terakhir kali bertemu, kalian masih sama-sama bayi.” Tantri menjelaskan sambil mengajak Andin duduk di sebelahnya.

“Mereka nggak bakalan tinggal di rumah kita, kan, Bu?” kata Andin cukup jelas dan membuat Rini langsung bertatapan dengan suaminya.

Muham dan Tantri tampak kikuk dengan celetukan Andin. Tantri akhirnya basa-basi dan pamit ke belakang untuk membuat jamuan. Tak lupa dia membawa Andin untuk dia omeli.

“Andin memang polos anaknya hehehe,” kata Muham sambil terkekeh aneh.

Rini dan Suroso paham dan hanya tersenyum. Tidak mudah untuk menerima keberadaan mereka, ditambah dengan sikap Arafah yang tidak ada sopan-sopannya.

Sementara di dapur, Andin mencak-mencak ketika tahu mereka yang di ruang tamu akan tinggal di kampung tersebut.

“Mereka kan orang kaya. Ngapain tinggal di kampung ini, Bu?” kata Andin kesal.

“Shut! Jangan kencang-kencang, kasihan mereka.” Tantri sedikit melotot. “Mereka nggak kaya sekarang, Ndin. Mereka bangkrut, mereka juga cuman beberapa malam tinggal di rumah kita. Selebihnya mereka bakalan menempati rumah tua yang sempat mau dijadikan kandang sapi sama bapakmu.”

“Ya tetep aja. Kita kan saudaranya, kalau mereka butuh sesuatu pasti mereka mintanya sama kita, Bu.” Andin merengek dan Tantri malah memberikan nampan padanya.

“Sudah bawa ini ke depan. Jangan banyak ngomong nggak jelas, nanti mereka denger bisa sakit hati. Nggak ada salahnya saling membantu, ayo sana,” tegas Tantri dan Andin semakin cemberut.

Setelah mengantarkan kudapan ke hadapan para tamu, Andin memilih kembali ke kamarnya dan mengunci pintu supaya tidak ada alasan untuk salah satu tamu itu memasuki kamarnya. Dia berniat untuk segera tidur saja. Gelagat tidak suka yang diperlihatkan Andin membuat Arafah misuh-misuh dalam hati.

Semulanya Andin dan Arafah akan dibuat tidur sekamar pun tidak jadi. Karena, berulang kali Tantri mengetuk pintu, putrinya itu tidak memberikan jawaban sampai kemudian Rini mengatakan bahwa Arafah akan tidur dengannya di ruang tamu saja.

Kamar di rumah tersebut memang hanya ada dua, satu di tempat Tantri dan Muham dan satunya lagi ditempati oleh Andin.

“Masa kita tidur di ruang tamu begini, Bu?” kata Arafah sinis.

“Kita, kan, memang tamu.” Santai Rini menjawab.

Arafah mendesis kesal.

“Katanya mereka ini kerabat kita. Masa sama kerabat sendiri tega?” keluh Arafah dan ayahnya yang sudah setengah tertidur pun kembali membuka mata.

“Pandai-pandai saja melihat situasi. Sudah untung kita ini ada yang menampung,” ketus Suroso dan Arafah mengerucutkan bibirnya. “Tidur dan jangan banyak berkomentar. Hargai yang punya rumah, mereka juga butuh istirahat.” Suroso menyambung dengan lebih tegas dan istrinya lekas menarik Arafah untuk segera berbaring di sebelahnya.

Arafah hanya bisa pasrah sekarang, sembari menatap langit-langit ruangan itu.

Beralaskan tikar, mereka tidur melepas penat setelah seharian di perjalanan. Mereka harus banyak istirahat untuk besok memiliki tenaga agar bisa membereskan tempat tinggal baru mereka. Entah Arafah akan berkomentar apa, yang jelas Suroso dan Rini sudah yakin anak mereka itu hanya akan mengomel.

****

Jangan lupa like dan komen sebagai bentuk dukungan dan apresiasi....

Asyrafi Where stories live. Discover now