Part 8

52 13 1
                                    

“Di zaman sekarang ini banyak sekali yang saya khawatirkan, khususnya untuk soal pendamping anak bungsu saya Hafshah.” Suaranya melemah, punggungnya bersandar pasrah pada bahu kursi yang ia duduki. “Banyak sekali kekhawatiran bahwa nantinya Hafshah tidak menemukan pria yang tepat. Hafshah anak perempuan kami satu-satunya, setelah mengirimnya jauh menuntut ilmu, saya berserta Bu Nyai ingin dia secepatnya menikah sekarang.”

Asyrafi menarik napas dalam, ini obrolan yang sangat berat baginya. Apa pak Kyai memintanya merekomendasikan salah satu ustadz di pondok tersebut?

Pak Kyai tersenyum lebar sekarang, menatap pemuda gagah dan tampan di hadapan dengan penuh saksama.

“Semoga Ning Hafshah mendapatkan pendamping yang terbaik, Pak Kyai. Yang mampu dan bisa menyayanginya sekaligus menyayangi pondok pesantren ini,” ujar Asyrafi dan Pak Kyai menggeleng.

“Saya mau kamu yang menjadi pendamping Hafshah, As.” Pak Kyai tersenyum dan Asyrafi mengembuskan napas berat. “Jaga dan bimbing anak bungsu kami, kami percaya sama kamu. Mungkin juga bisa dan kalian mau, kalianlah yang akan saya amanatkan untuk menjaga pondok pesantren ini.”

Asyrafi meremas kedua tangannya di bawah meja, sama sekali tidak terpikir di benaknya sekilas pun bahwa Pak Kyai akan memilihnya untuk menjadi pendamping sosok Ning yang sekarang sedang menjadi incaran banyak pria itu.

“Bagaimana, As?” tanya Pak Kyai ingin jawaban sekarang juga dan Asyrafi menoleh ke sembarang arah sebentar untuk menemukan jawaban baik di pikirannya yang mendadak berkecamuk.

“Anu, saya—“ Asyrafi terhenti saking bingungnya.

“Saya berharap banyak sama kamu, As.”

Keduanya saling bertukar tatapan.

Sementara di dalam rumah, tepat di kamarnya, Hafshah sedang diam menunggu dan berharap jawaban dari pria yang sedang bersama ayahnya itu bukanlah sebuah penolakan.

****

Pagi ini, Arafah ditinggal sendiri.

Ayahnya kembali sibuk entah melakukan apa, membuatnya kesal saja. Sementara ibunya memilih ikut Tantri ke pasar untuk berjualan. Rini sudah melakukannya beberapa hari ini, demi sesuap nasi.

Karena bosan, Arafah memilih berjalan-jalan. Perutnya juga lapar, hanya nasi goreng satu piring yang dibagi dengan orang tuanya yang dia makan dan itu sama sekali tidak membuatnya kenyang. Itu hanya cukup untuk mengganjal agar penyakit magnya tidak kambuh.

Dari arah berlawanan ada Munir yang memang sengaja mencari-cari Arafah. Ingin berkenalan dan sekarang dia sudah berpakaian rapi demi tampil di hadapan Arafah. Gadis ini berhasil membuatnya tak berhenti dibayangi wajah cantiknya sampai-sampai dia tidak bisa tertidur nyenyak.

“Eh.” Munir sengaja menabrakkan tubuhnya kepada Arafah.

“Apaan, si? Minggir!” Ketus Arafah dan Munir malah menyengir.

“Kamu ini sepupunya Andin, ya?” tanya Munir basa-basi, Arafah menatap kesal tetapi dia mengangguk mengiyakan. “Pindahan dari mana? Kenapa bisa nyasar ke kampung begini?” sambungnya sambil terus menatap mata coklat memikat milik Arafah, semakin coklat terang warnanya ketika tersapu sinar matahari pagi.

Kulit beningnya pun terlihat ikut bersinar.

“Jangan sok akrab, deh!” Kesal Arafah kemudian berlalu pergi dan Munir berkacak pinggang, menatap kepergian Arafah sambil mesem-mesem.

“Agak sulit didekati kayaknya,” kata Munir bergumam.

Arafah terus berjalan dan sesekali memasukkan kedua tangannya ke saku baju, merasa kedinginan. Udara pagi di kampung Seluyur memang sejuk, tapi untuk pendatang seperti dirinya, dia tidak tahan.

Tak jauh darinya, Andin sedang berjalan sendirian, menenteng kantong plastik berisi telur. Semakin dekat, keduanya sudah beradu delikan mata tajam dan akhirnya Andin memilih melipir ke jalan lain ketimbang harus berhadapan dengan sepupunya itu.

“Dasar nggak jelas,” kecam Arafah dan mempercepat langkah.

Arafah pergi ke arah perkebunan, dan tak sengaja dia melewati kebun milik Asyrafi. Melihat sayuran segar, itu benar-benar menggugah seleranya yang sangat suka sayuran dan sejak datang ke kampung tersebut selalu saja diberi makan telur atau mie oleh ibunya.

Terlintas untuk memetik satu atau dua, tetapi berarti dia mencuri. Tapi dia juga ingin makan enak.

“Aku mau dan sepertinya memetik satu atau dua nggak bakalan disadari sama yang punya kebun ini.” Arafah memutar tubuh, mengamati sekitar yang kebetulan sangat sepi. Arafah tersenyum lebar dan tangannya mulai iseng memetik mentimun, berjalan lebih jauh dia tergoda dengan sayuran bernama Pakcoy, dia mengambil lagi dan begitu seterusnya dan dia buat bajunya menjadi kantong dadakan.

“Ini bagus,” katanya sambil tersenyum sembari membayangkan akan dimasak apa sayuran itu, atau dia makan mentah saja dengan sambal. Arafah merasa ngiler dan tidak terasa sayuran yang dia ambil sudah banyak.

“Heh MALING!” jerit seorang pria, itu Adam dan terus berteriak sambil berjalan cepat ke arah Arafah.

“Aduh! Sial banget.” Arafah ketakutan, menutupi kepala dengan Hoodie jaketnya. Dia berlari menghindar, beberapa kali hampir terjatuh, tidak peduli dengan pria yang terus meneriakinya.

Adam terus mengejar tapi Arafah yang terus berlari akhirnya berhasil menghindarinya. Adam merasa heran karena tidak pernah ada orang kampung asli disitu yang suka mencuri di kebun milik Asyrafi, jika ingin pun mereka sering basa-basi untuk membeli dan ujung-ujungnya Asyrafi memberikannya secara gratis.

“Dasar maling pagi-pagi buta!” kesal Adam kemudian mengelap keringatnya di dahi. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan terus memerhatikan orang yang berlari kocar-kacir sambil membawa sayuran curiannya.
****

Bersambung.....

Asyrafi حيث تعيش القصص. اكتشف الآن