Part 2

63 15 0
                                    

****

Yuningsih mengunyah makanannya lembut, terus-terusan dia menatap Asyrafi yang menikmati masakannya begitu lahap.

“Malang sekali nasibmu, As. Umur segini masih membujang,” celetuk Yuningsih dan Asyrafi langsung tersedak.

“Uhukkkkk.....!”

Yuningsih cepat-cepat memberikan segelas air, Asyrafi meneguknya perlahan.

“Ayo, cari istri. Ibu jadi was-was ninggalin kamu kalau kayak begini, kamu pasti jarang makan masakan enak.” Yuningsih tersenyum simpul, Asyrafi membuang napas kasar. “Menikah, ya, Nak.”

Asyrafi menggeleng kepala.

“Bu, kalau sudah waktunya pun aku pasti akan menikah. Doakan saja, semoga istri aku nanti seperti yang Ibu mau.” Dia tersenyum dan kembali menyendok nasi dari bakul.

“Eitsss!” Yuningsih menolak keras dan Asyrafi mengernyit bingung.

“As, Ibu bukan mau menantu yang seperti keinginan Ibu. Ibu mau menantu yang memang kamu inginkan dan kamu butuh kan, kalau Ibu punya keinginan seperti itu, mungkin sudah Ibu jodohkan kamu dari dulu-dulu.”

Asyrafi terkekeh-kekeh pelan.

“Ibu memang Ibu terbaik. Doakan saja, semoga nanti Ibu kembali ke sini di waktu As sudah mendapatkan calon istri.”

“Aaamiin, ya Allah.” Yuningsih mengamini dengan begitu riang. Sementara anaknya hanya tersenyum meskipun lagi-lagi bayangan Amelia melintas di pikirannya.

Setelah menghabiskan makanannya, Asyrafi kembali ke kebun sementara Yuningsih berkemas karena nanti malam dia akan kembali ke tempat anak keduanya. Haris tidak bisa menjemput, diantarkan oleh Asyrafi pun Yuningsih menolak. Wanita paruh baya ini bersikeras untuk pergi sendiri asalkan Asyrafi mengantarkannya sampai Stasiun kereta saja, selebihnya ada orang kepercayaan Haris yang sudah menunggu untuk menemani dan menjaganya.

Kedua anaknya itu sibuk dan pasti lelah, Yuningsih tak mau terlalu menyulitkan.

****

Setelah menempuh perjalanan jauh, bercucuran keringat dan berdesak-desakan di angkutan umum. Akhirnya, Arafah dan kedua orang tuanya sampai di kampung Seluyur.

Suroso yang sudah tua dan terus batuk harus bersusah payah membawa dua koper besar milik Arafah. Barang-barang Suroso dan Rini sedikit sementara barang anak mereka begitu banyak. Arafah tidak mau menyisakan kenangannya semasa kaya raya dalam jumlah sedikit, bahkan jika bisa, dia ingin membawa semuanya.

“Rumahnya yang mana, sih? Gubuk semua!” kesal Arafah menggerutu.

“Shutttt! Jangan sembarangan bicara kamu! Kalau ada yang mendengar, mereka bisa tersinggung.” Dengan tegas Suroso menegur, Arafah berhenti melangkah dan menatap ayahnya itu sinis.

“Arafah, ayo.” Rini yang tak tega melihat wajah penat suaminya itu pun langsung menarik Arafah agar kembali berjalan.

Mereka bertiga sesekali berhenti, merasakan linu di kedua kaki. Arafah terus ngedumel, mencak-mencak dan beberapa kali melemparkan dua tas besar yang dia bawa.

“Ayah sudah bilang, jual barang-barang kamu ini daripada harus dibawa. Di kampung begini juga nggak bakal terlalu berguna,” kata Suroso sambil mengusap telapak tangannya yang memerah karena beban yang dia bawa.

“Apalagi yang harus aku jual, Ayah? Ini cuman sisa,” sahut Arafah dan Suroso mendengus.

“Jangan berisik, rumah mbak Tantri masih jauh. Ketimbang ribut, mending ayo, ini sudah malam.” Rini melerai dan Suroso yang duluan melangkah penuh nafsu, emosi sekaligus ingin lekas merebahkan tubuhnya yang pegal-pegal.

Di lajur yang sama, sebuah cahaya menyembur menyirami tubuh ketiganya. Arafah menoleh dan baru pertama kali dia melihat kendaraan yang lewat di kampung sunyi sepi itu, meskipun hanya kendaraan bak terbuka bukan kendaraan roda empat mewah seperti di kota. Dia mungkin tidak akan pernah melihat kehidupannya lagi yang seperti kemarin-kemarin.

Dari dalam mobil, itu adalah Asyrafi dan Yuningsih. Keduanya keheranan melihat ketiganya, tampak asing sampai keduanya pun penasaran.

“Siapa mereka?” kata Yuningsih pelan, terus memerhatikan.

“Kayaknya mereka orang jauh. Mungkin dari kota,” celetuk Asyrafi.

“Kasihan mereka, As.” Yuningsih mengayunkannya tangan, mengusap lengan anaknya.

“Nanti Ibu telat ke Stasiun,” kata Asyrafi.

Yuningsih melihat jam di tangannya kemudian menggeleng kepala.

“Nggak bakalan, As. Mereka juga searah, kasihan, kamu juga tahu di sini nggak bakalan ada angkutan umum.”

Asyrafi mendesah kemudian melambatkan laju kendaraannya. Arafah dan kedua orang tuanya terdiam, saling menatap sampai Suroso memberanikan diri mendekat kaca jendela mobil sebelah sopir.

Asyrafi menurunkan kaca mobilnya.

“Mau ke mana, Pak?” tanya Asyrafi.

Suroso tersenyum, “Mau ke rumahnya pak Muham, istrinya itu saudara saya.”

Asyrafi mangut-mangut, dia mengenal nama itu.

“Bapak mau menumpang? Kita searah, di sini nggak bakalan ada angkutan umum,” tawar Yuningsih dan Suroso merasa lega mendengarnya.

“Beneran boleh, Bu?” tanyanya memastikan.

“Iya, Pak. Silakan.” Asyrafi yang menjawab dan Suroso berlari kecil mendekati istri dan anaknya.

Asyrafi keluar dan Arafah menatapnya dengan tatapan penuh curiga.

“Aneh banget ada orang yang iseng nawarin tumpangan. Jangan-jangan rampok?” Arafah bergelut dengan isi pikirannya. Dia menggeleng-geleng dan ragu untuk ikut sementara orang tuanya sudah naik ke atas Bak mobilnya Asyrafi.

“Arafah!” Panggil Suroso sambil mengayunkan tangan, Arafah tetap mematung dan Asyrafi memandang ke arahnya.

“Biar saya yang bantu,” kata Asyrafi dan melangkah mendekat.

“Nggak usah!” tegas Arafah menampar tangan Asyrafi yang hendak meraih kopernya.

Asyrafi sontak mundur, tangannya terkepal, beberapa detik kemudian berkeringat dingin. Apa barusan, gadis ini bersentuhan kulit dengannya? Asyrafi merasa ingin menampar dirinya sendiri.

“Saya bisa,” ketus Arafah dan Asyrafi mendelik.

Asyrafi membiarkannya, berbalik dan pergi sementara Arafah dengan langkah terseok-seok keberatan beban barang-barangnya berusaha sekuat tenaga. Mendengar deru napas lelah gadis itu, seulas senyuman terukir di sudut bibir Asyrafi. Bisa-bisanya ada orang yang jelas tidak mampu tetapi enggan untuk dibantu, pikir Asyrafi.

“Duh, ini anak.” Suroso yang melihat sikap jutek Arafah pun turun lagi dari bak mobil Asyrafi, mendekati Arafah dan mengambil alih tas berat anaknya tersebut. Arafah hanya manyun meskipun ayahnya itu jelas sempat memelototinya.

Yuningsih yang melihat sikap songong Arafah terheran-heran. Gadis cantik itu sempat menarik perhatiannya, tetapi ketika kasar menanggapi Asyrafi, Yuningsih menjadi ikut-ikutan jengkel.

Sekarang Asyrafi masuk, kendaraannya kembali melaju. Yuningsih melihat kaca spion kemudian berbisik.

“Anak itu cantik tapi kok kasar banget, ya, As. Kamu cuman mau bantuin dia aja kok sikapnya begitu amat,” ucap pelan Yuningsih yang langsung ditanggapi oleh Asyrafi.

“Diam, Bu. Biarin aja.”

Yuningsih menghela napas panjang kemudian dia diam sampai lima menit kemudian mobil Asyrafi berhenti. Dia turun begitu juga dengan Yuningsih, Asyrafi membantu Suroso menurunkan barang. Lagi, Arafah melayangkan tatapan sinis kepada Asyrafi.

🌼🌼🌼🌼

Bersambung........

Asyrafi Where stories live. Discover now