Part 4

58 16 3
                                    

Misi....cuma mau ngingetin, sambil/setelah baca jangan lupa komen+like ya....

****

Esok harinya, di kebun milik Asyrafi, pria itu sedang duduk berdua dengan Adam. Menikmati segelas kopi hitam dan camilannya singkong goreng. Keduanya asyik membicarakan perihal panen dan kebun yang mereka urus bersama.

“Mas As apa belum ada niatan untuk menikah?” kata Adam membelokkan percakapan secara brutal. Sontak, Asyrafi menoleh dan menatap nanar.

“Kenapa jadi ke situ pembahasannya, Dam?” selidik Asyrafi.

Adam tiba-tiba terkekeh pelan.

“Mas As soalnya kayak terusik setelah melihat Amelia lagi. Kalau seumpamanya Mas As cepat-cepat menikah, kan, mungkin nggak bakalan begitu.” Adam tersenyum lebar dan Asyrafi membalas dengan senyuman kecut. “Pasti kemarin Bu Yuningsih membahas tentang pernikahan juga, kan?”

Asyrafi menghirup napas dalam-dalam.

“Orang tua saya juga sering menyinggung tentang menikah, Mas. Alhamdulillah sebentar lagi saya kan melepas masa bujang, tinggal Mas As nih.” Adam sedikit pamer dan Asyrafi mendengus sebal.

“Nggak mudah menemukan sosok perempuan yang cocok, Dam.”

“Gadis di kampung kita ini banyak, Mas. Di kampung tetangga juga, masa nggak ada satu pun yang memikat setelah Amelia?”

“Berisik kamu, Dam. Amelia terus yang kamu sebut-sebut,” ketus Asyrafi dan Adam menyengir kuda.

Hening, obrolan mereka terhenti dan Asyrafi menyesap kopi hitamnya perlahan-lahan sampai tiba-tiba Adam menepuk pundaknya kuat-kuat.

“Siapa itu, ya, Mas? Bening banget, Masha Allah.” Adam begitu antusias dan Asyrafi mengernyit heran. “Tamunya siapa itu, ya? Kayaknya orang kota. Beningnya beda.”

Adam terus mengoceh kemudian Asyrafi meletakkan kopi hitamnya. Dia melirik ke mana Adam memandang. Seketika kening Asyrafi mengerut karena melihat gadis itu lagi, Arafah yang sedang berjalan di perkebunannya dengan ekspresi masam dan bibir komat-kamit.

“Oh itu,” ucap Asyrafi santai.

Adam menoleh padanya.

“Mas As kenal?” Adam menganga. “Pantesan nggak tertarik sama gadis di kampung ini. Udah punya gebetan orang kota ternyata, ya hahahha!”

Asyrafi refleks menoyor bahu sahabatnya itu.

“Ngawur! Nggak kenal, cuman semalam nggak sengaja ketemu di jalan. Ibu kasihan jadinya dikasih tumpangan,” jelas Asyrafi dan Adam mangut-mangut sambil melihat Arafah yang sudah berjalan jauh.

Entah mau ke mana gadis itu, Asyrafi tidak peduli dan malah Adam yang sangat penasaran.

“Kamu sebentar lagi menikah, Dam. Jangan aneh-aneh,” tegur Asyrafi yang sudah bangkit. Adam pun berhenti memerhatikan Arafah dan ikut-ikutan berdiri sambil cengar-cengir.

****

“Arafah pergi ke mana, Mas? Aku takut dia kesasar, coba kamu susul.” Rini sangat cemas dan Suroso tetap sibuk membersihkan langit-langit rumah yang akan menjadi tempat tinggal barunya mulai sekarang. Sangat kotor dan itulah yang membuat Arafah memilih minggat ketimbang membantu. Arafah menyebut rumah baru mereka seperti kandang dan tidak layak dihuni oleh manusia. Tetapi Suroso dan Rini tidak bisa berbuat apa-apa, jika tidak di rumah berlantaikan tanah tersebut, mereka mau ke mana lagi? Terus menumpang di rumah Tantri dan Muham tidak mungkin. Jelas-jelas Andin pun tidak menyukai keberadaan mereka.

“Nanti kalau lapar pun pasti dia pulang.”

“Wajar anak kita itu sulit menerima. Rumah ini memang nggak layak buat kita tempati, Mas.” Rini berkeluh dan Suroso menatapnya.

“Lantas maunya bagaimana?”

Rini menghela napas dalam-dalam, tak bisa memberikan jawaban.

“Daripada terus berkeluh tentang rumah. Mending kita mikir gimana caranya kita makan buat sehari-hari,” kata Suroso dan Rini menunduk dengan air mata yang berlinang. Tak pernah terbayangkan bahwa kehidupan mereka akan berubah sedramatis ini.

Melihat istrinya bersedih, Suroso memilih diam karena untuk menghibur pun malah akan membuatnya juga ingin ikut menangis.

Waktu berlalu, rumah berlantai tanah itu sudah benar-benar rapi. Sarang-sarang laba-laba sudah tak terlihat lagi, mereka hanya perlu memikirkan sisa masalah mereka sekarang yakni mencari ke mana dan bagaimana sumber penghasilan ketika hidup di pelosok kampung begitu.

“Ke mana Arafah, Mas?” Rini yang sejak tadi berdiri di ambang pintu sudah tak tenang hatinya.

“Biar aku cari dia. Takut juga dia kesasar,” kata Suroso, bagaimana pun anaknya, dia juga sangat takut anak semata wayangnya yang cantik nian itu di apa-apakan orang.

Akan tetapi mendadak Rini mendesah ketika melihat kedatangan putrinya.

“Kamu dari mana saja, Nak?” katanya sambil mendekati Arafah.

Arafah bungkam dan menyelonong begitu saja.

“Aku mau mandi,” ketus Arafah sambil mengeluarkan handuk dari dalam tas.

“Sedikit-sedikit airnya. Ayah capek harus menimba dan membawa air bolak-balik dari rumah tetangga,” kata Suroso lemah lembut dan Arafah menghentakkan kakinya. Enggan banyak berkomentar, tidak akan mengubah keadaan.

Suroso dan Rini saling memandang dan Rini berinisiatif memasak.

Tantri memberikan peralatan rumah tangganya seperti kompor beserta gas dan beberapa alat makan yang sangat berguna untuk mereka saat ini. Tantri juga memberikan sekilo telur dan sepuluh bungkus mie. Rini sangat berterima kasih dan juga bersyukur, masih ada kerabat yang peduli setelah kerabat yang lain terang-terangan menertawakan kemiskinan yang dia hadapi sekarang.

Setelah Rini selesai memasak mie dan telur dadar, mereka bertiga duduk beralaskan tikar untuk menikmati makan malam bersama. Arafah tetap saja manyun melihat yang terhidang.

“Apa nggak ada yang lain, Bu? Mie sama telur terus, bisulan aku nantinya!” kata Arafah jengkel.

“Ini juga dikasih. Bersyukur saja.” Suroso yang menjawab.

“Harusnya ayah cepetan cari kerja lagi. Mau sampai kapan kita hidup miskin? Lihat! Kita hidup di kandang begini,” ketus Arafah dan Suroso melirik Rini yang langsung menekuk wajahnya dalam-dalam.

“Ayah janji bakalan cepat dapat kerja lagi. Tapi kalau untuk menjanjikan kehidupan kita yang sebelumnya, ayah nggak bisa,” tutur Suroso serak dan kedua mata Arafah membola.

“Aku nggak mau tahu, ya, Ayah! Yang jelas aku nggak mau hidup kayak begini lebih lama.”

“Arafah,” tegur Rini lembut dan Arafah tidak menggubrisnya.

“Harusnya Ayah kerja yang bener. Karena kesalahan Ayah, kita semua juga kena.”

Bahu Suroso naik turun mendengar celana dari anaknya tersebut. Arafah mendengus dan menyendok nasi, seharian luntang-lantung di kebun orang membuat perutnya lapar keroncongan.

“Biar aku siapin, Mas.” Rini mengambil alih piring dari tangan Suroso. Senyuman lebar mengembang di bibir pria tua itu, sudah lama Rini tidak pernah melayaninya ketika makan. Kemiskinan tidak terlalu buruk ternyata, justru mereka menjadi lebih dekat meskipun banyak kekurangan.

Asyrafi Where stories live. Discover now