10/

75 17 3
                                    

*****

Setelah dari pasar dan membelanjakan uang pemberian Tantri, Rini pulang dengan kantong plastik besar berisi bahan makan. Kebetulan Arafah juga ada dan sedang membersihkan sayuran hasil curiannya. Rini masuk pun tidak dia jawab ucapan salamnya, Arafah hanya melirik dan sekarang Rini terus-terusan memandanginya dengan tatapan penuh keheranan.

“Dari mana kamu dapat sayuran sebanyak itu, Ra?” tanya Rini kemudian duduk, pinggangnya terasa ngilu.

“Beli,” singkat Arafah. Menoleh singkat sambil tersenyum.

“Kamu masih punya uang?” tanya Rini lagi dan Arafah mendadak menghentikan aktivitasnya.

Arafah menatap ibunya. “Ya, ya, ya, punya.” Jawabannya terdengar meragukan.

“Syukurlah kalau kamu masih punya. Pakai saja buat kebutuhan kamu, untuk urusan makanan dan kebutuhan yang lainnya biar Ibu sama ayah yang urus,” ujar Rini tak tega karena biasanya Arafah hanya sibuk mengurusi penampilannya. "Ibu bantu, ya, Ra."

Arafah menggeleng.

“Aku bosen, Bu. Nggak apa-apa sekali-sekali ngurusin sayuran begini,” katanya sambil melanjutkan memilah daun sayuran dan Rini tersenyum. Rini merasa bangga karena merasa Arafah sudah mulai bisa bersahabat dengan kenyataan hidup.

Arafah dan Rini menoleh ketika Suroso pulang. Wajah pria kusut, karena berhari-hari belum juga mendapatkan pekerjaan. Dia malah ditawari pekerjaan yang baginya menjijikkan yaitu jadi kuli panggul karung-karung berisi kotoran ternak untuk pupuk.

“Tadi mbak Tantri ngasih aku uang, Mas. Katanya sebagai upah karena aku bantuin dia, lumayan buat beli beras tiga kilo dan sisanya buat beli mie sama telur,” kata Rini begitu riang, Suroso tersenyum bangga dan mengayunkan lengan ke bahu istrinya. Mengusap penuh sayang dan kelembutan..

“Malah kamu yang mencari uang. Sementara aku, pekerjaan juga belum dapat,” kata Suroso serak.

“Jangan merasa rendah, Mas. Kita lewati semuanya sama-sama,” kata Rini sambil tersenyum dan Suroso membalas senyumannya.

Arafah menggeleng kepala, ingin sekali dia mengomel perihal kepayahan ayahnya yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal, bukan kurang berjuang, Suroso hanya belum mendapatkan pekerjaan yang baginya cocok dengan kemampuannya saja.

“Bagus, bagus,” ucap Arafah dalam hati. Sudah tak sabar ingin menyantap barang curiannya, tapi mengingat dia hampir saja tertangkap, itu membuatnya merinding dan takut. Bagaimana jadinya seorang gadis secantik dirinya ketahuan maling, pikir Arafah.

****

Langit malam yang gelap gulita, segelap isi pikiran Asyrafi setelah kepulangannya dari pesantren dua hari lalu. Kegalauan yang sedang dia hadapi bahkan disadari oleh Adam, Adam jelas melihat sahabatnya itu murung tidak seperti biasanya.

Keduanya sedang berjalan di kebun, memeriksa situasi setelah terus-terusan kebun disatroni pencuri yang memetik sayuran sembarang sampai meninggalkan jejak berantakan.

“Ada masalah ya, Mas?” tanya Adam, ia dan Asyrafi bertukar tatapan sejenak.

Asyrafi menggeleng, terus melangkah sambil membawa lampu senter di tangan kanannya.

“Bingung.” Suara Asyrafi sangat pelan.

“Bingung kenapa, Mas?”

Asyrafi mendesah, apa perlu dia menceritakannya untuk sedikit meringankan beban pikiran? Tetapi sahabatnya Adam juga pasti sedang banyak yang dipikirkan karena pernikahannya semakin dekat.

“Jangan dipendam, Mas. Nanti jadi penyakit.” Adam cengar-cengir dan Asyrafi mendelik.

“Pak Kyai memintaku supaya mau menikah dengan anak bungsunya. Ning Hafshah,” kata Asyrafi jelas dan Adam membelalakkan mata.

“Beruntung, dong, Mas. Setahuku Ning Hafshah itu cantik.” Adam cengengesan dan Asyrafi menggeleng kepala, merasa menyesal karena mengemukakan apa yang sedang dia pikirkan.

“Kalau membahas soal cantik, yang lebih cantik banyak. Masalahnya untuk menolak pun aku mana berani, sungkan. Tapi untuk menerima juga rasanya nggak mungkin, Ning Hafshah itu aku tahu kecilnya, sudah aku anggap kayak adik sendiri dan aku hormati karena dia putri pak Kyai.” Asyrafi mengarahkan senter ke sembarangan arah, memeriksa keamanan kebunnya. “Mana ada rasa aku sama Ning Hafshah, Dam.”

Adam mangut-mangut, memahami.

“Sulit juga ya, Mas.” Ungkapannya membuat Asyrafi semakin tertekan.

“Secepatnya, pak Kyai mau aku memberikan jawaban.” Asyrafi mendengus dingin. Kedua alis tebalnya mengerut ketika mata tajamnya menangkap sesuatu yang tak jauh dari keberadaan mereka.

“Yaaaaa, eh Mas.” Adam menyeru, berlari menyusul Asyrafi yang kocar-kacir entah hendak menangkap apa.

Adam terus berlari menyusul, bibirnya menyeringai ketika Asyrafi berhasil menarik baju orang yang sedang mencuri sayur.

“Tertangkap kamu sekarang!” geram Asyrafi, lengan besarnya dia letakkan di bawah dagu si pencuri kemudian menarik tubuhnya, si pencuri tercekik tetapi enggan untuk menjerit. Dalam benaknya, hanya melarikan diri bagaimana pun caranya.

“Jangan dilepasin, Mas. Kasih pelajaran dulu, biar kapok!” Adam melepaskan tinju dari tangan kanan ke telapak tangan kirinya. Sudah sangat jengkel dengan pencuri tersebut.

Si pencuri yang tak lain adalah Arafah itu menahan diri untuk tidak meringis. Lehernya semakin kuat dicekik oleh Asyrafi karena dia berusaha melepaskan diri. Arafah juga mempertahankan Hoodie jaket yang menutup kepalanya, dia tidak mau mereka tahu bahwa itu adalah dirinya. Malu dan takut terkena masalah berkepanjangan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Asyrafi Where stories live. Discover now