9

39 13 2
                                    

****

“Apa di pasar ini gampang cari kerjaan, Mbak?” tanya Rini kepada Tantri yang sedang menghitung uang hasil penjualan sayurnya.

Tantri menoleh sekilas. “Mau jadi tukang panggul?” dia menjawab sambil tersenyum iseng.

“Ya bukan kuli panggul juga, Mbak.” Rini menunduk kecewa.

“Paling-paling toko yang biasanya butuh karyawan. Kerjaannya menimbang, membungkus terigu dan semacamnya atau mengangkut barang yang baru datang ke dalam toko.”

“Kalau jadi kasir apa bisa, Mbak?” Mata Rini berbinar penuh harap.

Tapi gelengan kepala dari Tantri membuat bahunya melemah seketika. “Bagian kasir dipegang sama yang punya toko. Karyawan nggak ada yang disuruh pegang-pegang duit kecuali keluarga mereka. Ini di kampung, bukan di kota.” Dia menjelaskan sambil sesekali melirik wajah hampa Rini.

“Oh begitu,” kata Rini begitu lemas.

Tantri menghitung beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Rini. Rini hanya memandang, dia niat membantu bukan untuk bekerja. Tapi di samping itu, kebutuhan rumahnya sangat utama.

“Ini buat kamu.” Tantri meletakkannya dengan sedikit memaksa ke dalam tangan berkeringat Rini.

“Tapi aku benar-benar niat bantuin, Mbak.”

“Kamu butuh uang, aku tahu. Tapi aku nggak bisa kasih banyak, makasih karena beberapa hari ini kamu gantiin suamiku. Ambil, kalian kan pasti butuh makan dan yang lainnya. Uangnya memang sedikit, mungkin nggak berarti buat kamu yang hidupnya pernah kaya raya,” ujar Tantri sambil menatap dalam dan Rini menggeleng keras.

“Terima kasih banyak, Mbak. Nggak nyangka aja Mbak memikirkan kami sampai begini,” ucap Rini kemudian menunduk karena mendadak saja kedua matanya berair serta perih.

Tantri mendekat, menangkap bahu Rini yang semakin kurus. “Aku tahu ini nggak mudah buat kalian. Sabar, namanya juga hidup, kadang di atas dan kadang di bawah.”

Rini mengangkat wajahnya, mengangguk dengan sepenuh hati. Uang sebesar lima puluh ribu yang diberikan Tantri sangat berarti baginya karena persediaan beras di rumahnya memang sudah habis.

****

Pukul lima sore, Asyrafi baru saja sampai di halaman rumahnya. Memutuskan pulang hari ini juga setelah obrolan seriusnya dengan Pak Kyai tadi pagi, sejak itu dia merasa bertambah canggung jika berlama-lama di sana. Pekerjaannya juga sangat banyak dan harus segera dia urus.

Asyrafi membuang napas kasar, mengusap wajahnya pelan kemudian melangkah dan duduk di sebuah kursi kayu di teras rumahnya. Dia melamun sangat jauh sampai-sampai Adam yang mendekat pun tidak dia sadari keberadaannya.

“Udah pulang, Mas?” seru Adam yang memang selalu berbicara dengan suara tinggi.

Asyrafi langsung bangkit saking kagetnya dan berucap istigfar sambil menyentuh dada.

“Loh, kenapa, Mas?” Adam bingung.

Asyrafi mengerjapkan matanya.

“Kamu ini bikin kaget saja,” gerutu Asyrafi dan Adam malah tertawa.

“Mas, Mas. Ngelamunin apa sampai-sampai ada orang yang datang aja nggak engeuh?” kata Adam sambil terus cekikikan.

Asyrafi menggeleng, enggan bercerita.

“Semuanya aman, Dam?” tanya Asyrafi mengalihkan pembicaraan. Dia melepas jaketnya.

Adam masih tertawa geli. “Aman, aman. Eh tapi ada pencuri.”

“Hah! Pencuri?” Asyrafi kaget dan menggulung jaket di tangan kirinya. “Gudang kita kebobolan?” tanya Asyrafi lagi.

Adam menggeleng cepat, “Bukan, Mas. Ada yang nyuri sayur, aku kejar eh nggak dapet. Mana pernah ada yang begitu sebelumnya.”

Asyrafi merasa lega mendengarnya. “Kirain gudang kebobolan. Kalau sayur paling cuman sedikit, biarin aja. Mungkin yang kepingin tapi mau izin sungkan.”

“Yaaa nggak bisa begitu, dong, Mas. Harusnya tetep izin dulu,” kukuh Adam jengkel. “Awas aja kalau keulang lagi.”

“Biarin aja, Dam. Cuman sayur sedikit jangan sampai jadi ribut, sudah jangan terus dibahas.” Asyrafi berdiri, melangkah ke arah pintu.

“Alah Mas As ini. Dasar terlalu baik,” kata Adam dan Asyrafi tidak menanggapi. Asyrafi masuk ke dalam rumahnya. “Kayaknya yang nyuri sayur itu perempuan, Mas. Kelihatan dari perawakannya.” Adam berbicara cukup keras tapi Asyrafi tidak peduli.

*****

Jangan lupa tinggalin jejak....
Ig: Melaheyko

Asyrafi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang