Part 6

64 15 4
                                    

****

Jarum jam terus berdetak, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sudah larut tapi Arafah belum juga bisa memejamkan mata. Bukan hanya sesak dan seadanya, rumah gubuknya sekarang benar-benar dihuni banyak binatang. Kecoa, tikus, nyamuk apalagi. Arafah tidak bisa menghiraukan gigitan para nyamuk yang menyiksa kulit mulusnya, kulit mulus yang banyak bekas nyamuknya.

Merasakan geliat anaknya, Rini terbangun. Arafah pun menoleh ke arahnya dan keduanya bersemuka dalam diam selama beberapa saat.

“Kenapa kamu belum juga tidur?” tanya Rini.

“Banyak nyamuk,” pekik Arafah dengan bibir gemetar. Rini lekas bangun, tangannya berayun mengambil lotion anti nyamuk.

“Duduk, biar Ibu oleskan,” kata Rini lembut dan Arafah menurut. Saat melihat kedua lengan dan betis anaknya, Rini meringis. Begitu banyak bekas gigitan di sana, dia tak tega, tapi mau bagaimana? Dia sendiri pun mengalami hal yang sama. “Tadi Ibu ketemu sama Andin di jalan. Kata dia kamu ke rumahnya, memaksa, apa maksud Andin?” tuturnya bertanya, meminta penjelasan.

Arafah langsung mendengus mendengar Andin mengadukannya.

“Aku cuman mau ikut ke kamar kecil. Nggak dibolehin, kami ribut sebentar. Aku udah nggak kuat, jadi terpaksa aku memaksa.” Penjelasannya diakhiri dengan wajah yang ditundukkan. “Aku diusir, Bu. Aku malah disuruh ke kali, mana aku mau jauh-jauh ke kali. Kalau ada buaya juga di sana gimana?” sambungnya dengan nada kesal.

Rini menghirup napas panjang, “Sabar.” Kalimat singkat ini menjadi sering terdengar di telinga Arafah, dan dia sudah bosan mendengarnya.

“Apa kehidupan kita nggak bakalan kayak kemarin lagi, Bu? Uang banyak, fasilitas, makanan enak. Apa itu semua nggak bakalan kita dapet lagi? Apa nggak ada jalan atau cara lain supaya kita bisa kembali lagi ke ibukota?” tuturnya dengan kedua mata yang basah, keluhan yang terlontar untuk ke sekian kalinya jelas-jelas akan mendapatkan jawaban seperti sebelumnya. Akan tetapi Arafah masih berharap semuanya bisa terkendali, dan kehidupannya yang mewah bisa kembali.

“Kalau ada kesempatan untuk diperbaiki. Mana mungkin kita mendatangi kampung ini sekarang, Ra?” ucap Rini serak dan Arafah menunduk dalam, ia menangis.

“A-ku nggak mau—” Suara Arafah terputus-putus.

Melihat anaknya begitu, Rini pun tak kuasa membendung tangisannya yang selalu dia tahan.

“Aku nggak bisa. Aku capek, aku nggak sanggup, Bu. Ayo balik ke tempat kita sebelumnya, aku nggak mau di sini.” Arafah menggoyangkan lengan ibunya.

“Arafah, dengerin Ibu.” Rini menangkap bahu Arafah kuat-kuat, menahannya dan keduanya bersitatap dengan mata sama basah. “Sadar, ini realitanya. Walaupun hidup kita sekarang begini, Ibu sama Ayah bakalan tetap berusaha untuk yang terbaik buat kamu. Kamu satu-satunya harta kami, sabar, Nak.”

Rini memeluk Arafah erat-erat, dan Arafah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Ibunya.

Dalam situasi menyedihkan itu, mereka tidak menyadari bahwa Suroso belumlah terlelap. Ia mendengar segalanya, bahkan ikut menangis meskipun tanpa suara dan sejujurnya, itu ada tangisan yang paling sakit. Suroso merasa bersalah, merasa perlu bertanggungjawab agar semuanya berjalan seperti sebelumnya. Jika pun tidak, setidaknya hidupnya berserta anak dan istrinya tidak menyedihkan seperti saat ini.

****

“Toko saya cuman toko kecil di kampung pelosok. Jangankan memperkerjakan karyawan, untuk kebutuhan keluarga saya aja masih mepet,” ujar pemilik sebuah toko, menjelaskan kepada Suroso yang berniat melamar pekerjaan.

Benar apa yang dikatakan pemilik toko. Di kampung bukanlah di kota, mereka bisa menjaga toko atau warung mereka sendiri karena minimnya pembeli.

Suroso tersenyum canggung, kepayahan menelan ludah. Dia malu karena kenapa dia tidak sadar juga bahwa sekarang dia hidup di kampung.

Suroso tersenyum lagi. “Iya, Bu, saya paham. Kalau begitu saya permisi.” Suroso memundurkan langkahnya.

“Tapi orang-orang kampung sini kebanyakan kerja di sawah atau di kebun. Salah satu pemilik perkebunan besar di sini namanya Asyrafi, coba Bapak ke sana saja. Mana tahu ada pekerjaan yang bisa Bapak dapatkan,” usul pemilik toko, mata Suroso berbinar, kepercayaan dirinya terbangkitkan kembali.

“Di mana rumahnya, Bu? Saya mau ke sana aja sekarang, mudah-mudahan benar, di sana ada pekerjaan untuk saya.” Suroso begitu antusias.

Pemilik toko itu pun keluar, mengarahkan tangannya ke jalan yang harus dilewati Suroso kemudian menunjuk sebuah rumah bercat putih. Cukup besar dan pemilik Toko itu juga menjelaskan bahwa sosok pemilik kebun bernama Asyrafi itu tinggal sendirian dan masih sendiri.

Setelah berucap terima kasih, Suroso melenggangkan kaki untuk segera menemui Asyrafi.

Sesampainya di depan pagar rumah Asyrafi, Suroso celingak-celinguk. Dia berseru mengucapkan salam, tetapi tak ada jawaban. Suasananya sangat sepi, sepertinya si empunya rumah sedang tidak ada.

Suroso mengembuskan napas dalam, cukup kecewa karena tidak bisa berjumpa dengan tujuannya. Akhirnya dia berbalik untuk pergi tapi kebetulan dia berpapasan dengan Adam.

Adam tersenyum ramah, “Cari siapa, Pak? Saya lihat tadi Bapak manggil-manggil yang punya rumah ini.” Adam menengok sekilas ke arah rumah Asyrafi.

Suroso tersenyum samar. “Saya Suroso, mau ketemu yang punya rumah. Benar ini rumah yang punya kebun?”

Adam mengangguk-angguk.

“Kira-kira Mas tahu nggak, ya, beliau di mana? Karena kelihatannya rumahnya kosong, mungkin beliau sedang pergi.” Suroso terus menebarkan senyuman.

“Keperluan Bapak apa, ya? Pemilik rumah ini Mas As. Tapi sekarang lagi nggak ada, lagi pergi ke Pondok gurunya. Kayaknya Mas As pulang hari Minggu,” tutur Adam dan Suroso menghela napas.

Hari Minggu? Sementara sekarang saja baru hari Selasa, batin Suroso kecewa.

“Oh begitu, nanti lah kalau beliaunya sudah pulang saya balik lagi. Permisi.” Suroso berlalu, Adam memerhatikan pria berumur yang begitu asing di matanya tersebut.

“Siapa itu, ya? Ngapain cari mas As?” gumam Adam.

Asyrafi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang